FTV Indosiar Suara Hati Istri menjadi perbincangan lagi. Tayangan favorit emak-emak, dengan segala adegannya yang dilebih-lebihkan, tidak lupa lagu "ku menangis membayangkan" yang selalu disisipkan dalam setiap episodenya.

Satu adegan yang tak boleh terlupa.

Sesuai judulnya, FTV ini menceritakan prahara rumah tangga dari sudut pandang seorang istri. Ceritanya tidak bersambung seperti sinetron pada umumnya, jadi satu cerita habis dalam satu episode. Cerita yang diambil juga bermacam-macam, dari pelakor hingga suami yang tak tahu diri. Namun, episode terbarunya mengundang rasa penasaran saya untuk menonton acara ini lagi.

Berjudul "Game Online adalah Istri Kedua Suamiku", episode ini menceritakan tentang suami yang terus-terusan bermain gim dan melalaikan tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah dari anaknya.

Warganet beramai-ramai memberikan pendapatnya akan episode ini. Mereka sudah tahu, episode FTV ini akan seperti acara televisi lainnya yang sudah-sudah: melakukan framing pada mereka yang hobi bermain game sebagai orang yang lalai. Ada yang marah, membandingkannya dengan Jess No Limit yang tajir melintir dari bermain game. Ada pula yang santai, sembari melanturkan lawakan khas gamers.

Setelah menonton episode ini, saya mempunyai beberapa sudut pandang baru akan isu-isu yang kerap melanda kita sebagai kaum milenial. Ya, framing terhadap gamers dalam acara ini jelas masih terasa. Namun, ada beberapa isu yang juga diutarakan dalam episode ini, tapi tenggelam karena framing tersebut.

Pernikahan yang Tak Seperti Pernikahan

Episode ini dimulai dengan pernikahan. Pernikahan antara Edo, anak pemilik hotel ternama, dan Qory (tidak pakai gore), sang protagonis. Setelah acara pernikahan, Edo langsung bergegas pergi dan bermain game bersama temannya, melewatkan malam pertama yang sudah dinantikan sang istri.

Qory jelas kecewa. Kecewa karena sang suami sama sekali tak peduli kepadanya, dan hanya sibuk mabar dan push rank. Tidak hanya itu, ia baru tahu bahwa suaminya bukanlah benar-benar 'pengusaha' seperti yang ia bayangkan. Seluruh urusan perhotelan dijalankan oleh ibunya Edo, sedangkan Edo tidak melakukan apa-apa.

Penderitaan Qory masih berlanjut. Tidak hanya ditelantarkan oleh suaminya, sang mertua juga tak kalah jahatnya. Ia malah membenarkan tindakan anaknya sendiri. "Jangan mengganggu kebahagiaan anak saya. Lagipula, Edo tak main perempuan dan berjudi", ujar sang ibunda Edo. Setiap ada hal buruk yang menimpa mereka, Edo dan sang ibu selalu menjadikan Qory sebagai kambing hitam.

Anak yang Dimanja, Anak yang Tak Dewasa

Sudah sering rasanya kita membahas tentang orang tua yang otoriter. Orang tua yang terus menerus memaksakan kehendaknya dan tak memberi ruang untuk diskusi, meskipun sang anak punya pemikirannya sendiri. Namun, jarang ada yang membahas sebaliknya. Orang tua yang terlalu memanjakan anaknya, menghasilkan apa yang orang sebut sebagai anak mami.

Sesuai namanya, anak mami adalah anak yang terlalu bergantung kepada orang tuanya sendiri, biasanya ibunya. Sang anak menjadi manja dan tidak mandiri, tak dapat mengambil keputusannya sendiri. Ia harus selalu bergantung pada orang tua, mulai dari kebutuhan finansial hingga pengambilan keputusan.

Edo tetap asyik bermain game, bahkan ketika sang istri butuh perhatiannya.

Dari cerita yang disajikan, Edo jelas masuk dalam kriteria ini. Sang ibu mengurus jalannya bisnis perhotelan, sekaligus memberikan kebutuhan finansial untuk sang anak. Edo terus bermalas-malasan, bahkan ketika sudah beristri, karena sang ibu juga yang nanti akan membantunya.

Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang menjadi anak mami, atau spoiled child. Pola asuh orang tua adalah hal utama dalam kasus ini (Vidya Bhushan Gupta (1999). "Spoiled Child Syndrome". Manual of Developmental and Behavioral Problems in Children. Inform Health Care. pp. 198–199.). Orang tua ingin menjauhkan sang anak dari penderitaan dunia. Mereka menuruti dan memberikan segala hal yang diinginkan sang anak, asalkan dia senang.

Sayangnya, pemenuhan segala kebutuhan anak tak dibarengi dengan pengetahuan yang ia butuhkan saat dewasa nanti. Jadilah sang anak tidak dewasa, egois, dan sulit mengontrol emosinya. Hal ini juga terlihat dalam sifat Edo, saat ia mengabaikan panggilan istrinya demi bermain game.

Dampak buruk dari spoiled child syndrome ini baru terasa ketika Edo turun tangan dalam urusan bisnis, itu pun setelah disuruh oleh Qory. Edo, yang tak tahu apa-apa soal bisnis perhotelan, melakukan kelalaian dan membuat usahanya rugi besar. Ditambah dengan ganasnya pandemi COVID-19, usaha hotel keluarga Edo seakan tak berdaya. Edo tak mampu mengambil keputusan, dan kembali menyerahkan semuanya kepada sang ibunda.

Tak lama kemudian, hotel yang telah mereka dirikan bangkrut, menyisakan banyak utang. Keluarga Edo tak lagi punya pemasukan, sehingga harta mereka satu persatu dijual. Sang ibu tertekan dan jatuh sakit.

Istri sebagai Objek, Anak sebagai Investasi

Edo memang lalai dan tidak mandiri. Namun, sesungguhnya yang lebih membuat kesal adalah Lisa, ibu dari Edo. Khas sinetron lokal, Lisa dalam cerita ini dibuat murni jahat dan tak berhati. Meskipun demikian, orang seperti Lisa ini kerap kali kita temui di dunia nyata.

Lisa sudah tahu betul anaknya tak bisa diharapkan. Dia sangat menginginkan cucu laki-laki untuk meneruskan usahanya, terlepas dari keinginan sang cucu nanti. Oleh karena itu, ia mendadak peduli saat Qory hamil, mengharapkan anak yang keluar adalah laki-laki.

Habis manis sepah dibuang. Perumpamaan yang tepat bagi Qory dalam cerita ini.

Sayangnya, sang bayi adalah perempuan, sesuatu yang tak diinginkan sang mertua. Akibatnya, Qory langsung ditelantarkan, tak lagi bisa diharapkan oleh sang mertua. Qory dan Edo juga akan bersiap cerai setelah sang buah hati lahir.

Sering rasanya melihat hal-hal seperti ini terjadi di sekitar kita. Masyarakat yang lebih mengharapkan anak laki-laki dibanding perempuan, yang kemudian dijadikan alat untuk meneruskan ambisi orang tuanya. Jika sang anak ternyata tak memenuhi ekspetasi orang tua, ia akan direndahkan.

Sang menantu hanya dianggap sebagai pasangan untuk menciptakan buah hati yang sesungguhnya. Kalau ternyata tak sesuai harapan, tinggal diceraikan dan cari menantu baru. Padahal, mereka juga punya hati yang juga bisa tersakiti.

Cacat Cerita yang Itu-Itu Saja

Meskipun episode kali ini sedikit berbeda dari FTV sejenis, ada beberapa hal yang tak dapat kita resapi begitu saja, yang membuat pesan moral yang ada di acara ini tak tersampaikan. Bahkan, kecacatan cerita khas sineas lokal masih terasa kuat di sini.

Pertama, sifat pasrah protagonis, dalam hal ini sang istri. Formula ini kerap kali digunakan dalam sinetron Indonesia, dengan tujuan menggugah emosi audiens mereka. Protagonis dibuat malang nasibnya, dan ia tak bisa berbuat apa-apa, setidaknya sampai sang antagonis ketiban sial.

"Apakah ini pertanda cintaku sama mas Edo sudah berakhir?", ujar Qory saat cincinnya jatuh.

Sayangnya, trope seperti ini cenderung tak disukai kawula muda, yang lebih menginginkan protagonis yang kuat. "Kalo saya jadi dia, mending saya cerai dari awal", seperti itulah kira-kira. Tapi ya namanya cinta, siapa yang tahu. Meskipun harus sampai overthinking saat cincin jatuh dari jemari.

Kedua, saya sempat bingung dengan beberapa bagian dalam episode ini. Orang-orang memang cenderung tak peduli dengan adanya kejanggalan ini, tapi hal ini cukup mengganggu bagi saya yang ingin mengambil intisari dari episode ini. Kenapa Edo memilih untuk menikah, padahal ia lebih peduli dengan gamenya? Kenapa Qory bisa sampai tak tahu sifat asli Edo, meskipun sudah pacaran lama? Kenapa Qory mau kembali dengan Edo, hanya karena sang mertua jahat sakit keras? Entahlah. Hanya Tuhan dan tim kreatif FTV yang tahu.

Tidak hanya judul episodenya, perangkat gaming yang ia gunakan pun turut menjadi bahan olokan.

Ketiga, dan yang paling penting, adalah bagaimana episode ini menguatkan stigma yang teramat nyata terhadap gamers. Orang yang bermain game diwatakkan sebagai orang yang kecanduan, pemalas, clueless, anak mami, dan lebih peduli dengan game dibanding orang tersayang. Saat Edo sudah berubah pun, ia memilih untuk menjual laptopnya dan menjauhi game sepenuhnya, semakin menggaungkan stigma yang ada.

Melihat framing yang dilontarkan dalam FTV ini, terlihat jelas bahwa acara ini bukanlah untuk kita, melainkan untuk target pasar mereka, emak-emak yang antipati dengan game yang "merusak" anak mereka.

Mungkin saja, episode ini juga ditujukan agar kita tersinggung dan memviralkannya. Bad exposure is still exposure, tapi tetap tak mengubah tendensi acara ini yang menggunakan isu game online hanya sebagai plot device, menenggelamkan pesan moral yang seharusnya bisa disampaikan.

Akhir kata, sama seperti sinetron lokal lainnya, episode "Game Online adalah Istri Kedua Suamiku" ini jauh dari kata sempurna. Alur cerita yang masih khas sinetron dan framing terhadap gamers semakin membuat acara ini menjadi bahan olokan. Akan tetapi, tak ada salahnya kita meresapi acara ini dari sudut pandang lain, agar kita tak menjadi Edo, Qory, atau Lisa selanjutnya.