Kita semua sudah tahu betapa hebat bahkan gilanya perkeretaapian di Jepang. Mulai dari banyaknya jaringan kereta api di seluruh penjuru Jepang, hadirnya petugas oshiya untuk mendorong penumpang masuk ke kereta yang sudah sesak, hingga kereta Shinkansen yang kecepatannya mampu melebihi 300 km/jam.
Tentu hal itu akan mendorong kita untuk berpikir betapa hebatnya Jepang dalam pengembangan perkeretaapiannya melalui perusahaan seperti Japan Railways (JR) yang dikenal oleh masyarakat dunia sebagai simbol perkeretaapian nasional Jepang. Apalagi, rasa penasaran akan kehebatan JR itu bisa bertambah karena kita sering melihat banyak kereta eks-JR lalu lalang di lintas KRL Jabodetabek dan juga sering mengantar kita untuk pergi ke acara jejepangan di Jabodetabek.
Namun, hal ini mungkin akan mengagetkan Anda. Sedemikian hebatnya perkeretaapian di Jepang, pemerintah Jepang tidak ikut campur (atau hanya sedikit saja) dalam urusan perkeretaapian di negaranya. Selain itu, JR bukanlah satu perusahaan utuh, melainkan kelompok yang terdiri dari sembilan perusahaan yang berbeda. Hal tersebut akan menjadi semakin rumit jika kita menemukan fakta lainnya, bahwa terdapat ratusan perusahaan swasta lainnya yang mengontrol dunia perkeretaapian di Jepang, baik yang besar maupun yang kecil.
Mengetahui fakta-fakta tersebut, tentunya akan membuat kita sangat bingung. Dengan kehebatan perkeretaapian yang sedemikian rupa, bagaimana mungkin Jepang tidak memiliki perusahaan kereta api sentral yang membawahi segala urusan perkeretaapian? Bahkan JR yang merupakan simbol yang dikenal luas saja “tidak diurus” oleh pemerintah dan “terpecah” ke dalam sembilan perusahaan, berbeda dengan Indonesia yang hanya memiliki satu perusahaan kereta api sentral milik pemerintah (PT KAI).
Oleh karena itu, mari kita bahas bagaimana Jepang dapat menjadi negara dengan perkeretaapian yang luar biasa, meskipun tanpa perusahaan kereta api sentral dan campur tangan pemerintah. Untuk kasus ini, saya akan mengambil contoh dari JR, karena statusnya sebagai simbol perkeretaapian Jepang dan menguasai lebih dari dua pertiga jalur kereta api di Jepang.
Dominasi 100 Tahun Kereta Api Jepang
Kereta api di Jepang dimulai saat jalur kereta api pertama yang menghubungkan Tokyo dengan Yokohama dibuka pada tahun 1872. Pada masa itu, kereta api digunakan sebagai alat untuk melakukan sentralisasi kekuasaan di Jepang yang saat itu masih memiliki banyak sisa feodalisme sebelum Restorasi Meiji. Kereta api saat itu juga digunakan untuk kepentingan militer, di mana hal tersebut membuat perkeretaapian di Jepang — khususnya di jalur kereta api utama —didominasi oleh Tetsudō-shō (Kementerian Kereta Api) dan digunakan untuk kepentingan strategis hingga Perang Dunia II berakhir.

Setelah Perang Dunia II berakhir, Tetsudō-shō kemudian berubah menjadi Japanese National Railway (Kokutetsu) atau disingkat menjadi JNR. Di era JNR inilah, perkeretaapian Jepang berkembang secara signifikan. Kereta uap mulai digantikan oleh kereta diesel dan listrik. Jumlah penumpang komuter meningkat pesat. Dan yang terpenting, dioperasikannya kereta cepat Shinkansen yang mempersingkat waktu tempuh Tokyo—Osaka hingga setengah waktu perjalanan kereta konvensional.
Kehadiran Shinkansen juga merupakan kebanggaan tersendiri, di mana pemikiran bahwa kereta api akan segera digantikan oleh pesawat terbang yang lebih cepat dapat dipatahkan oleh Shinkansen yang revolusioner.
Runtuhnya Dominasi JNR
Namun, perubahan yang diciptakan oleh JNR ternyata tidak mampu menyesuaikan perubahan zaman. Dekade 1960-an memperlihatkan peningkatan penggunaan pesawat terbang dan kendaraan bermotor secara drastis, di mana JNR untuk pertama kalinya mengalami defisit keuangan pada tahun 1964 — yang ironisnya merupakan tahun peluncuran Shinkansen.
Selain itu, persaingan dengan perusahaan swasta menyebabkan JNR mengeluarkan banyak biaya untuk mendukung fasilitas agar tetap bisa bersaing. JNR juga mengoperasikan banyak rute lokal yang cenderung tidak menguntungkan, sehingga memperbesar pengeluaran. Hal tersebut makin diperparah oleh konflik antara manajemen dengan buruh kereta api, kakunya birokrasi di JNR, serta anggapan bahwa JNR tidak akan pernah rugi karena selalu ada campur tangan pemerintah, meskipun memiliki anggaran yang defisit dan performa yang buruk.
Kondisi tersebut menyebabkan utang JNR membengkak hingga mencapai lebih dari ¥25 triliun atau sebesar Rp 3,8 kuadriliun (berdasarkan kurs dan inflasi 2019). Utang yang membengkak menyebabkan JNR harus menaikkan harga tiket kereta api setiap tahunnya untuk menutupi utang tersebut — yang pada akhirnya menyebabkan jumlah penumpang semakin menurun. JNR juga menutup banyak jalur kereta api yang tidak menguntungkan untuk menutupi kerugian.
Namun, usaha-usaha tersebut tetap tidak dapat memberikan surplus keuangan bagi JNR, sehingga utang terus menerus meningkat. Dengan demikian, pupus sudah harapan untuk mempertahankan eksistensi JNR. Privatisasi atau pelepasan perusahaan ke swasta dianggap merupakan jalan terbaik bagi keberlangsungan JNR dan perkeretaapian Jepang secara keseluruhan.
Peralihan JNR ke Swasta
Pada tahun 1987, JNR akhirnya dilepas menjadi milik swasta dan berubah bentuk menjadi Japanese Railways Group (JR Group). JNR juga dipecah menjadi tujuh (kemudian sembilan) perusahaan: JR Hokkaido, JR East, JR Central, JR West, JR Shikoku, JR Kyushu, dan JR Freight. Selain itu, kepemilikan pemerintah dikurangi di perusahaan tersebut secara bertahap.

Pegawai yang bekerja di JNR sebelumnya juga dipangkas, dari 277.000 menjadi 200.000 saja. Sayangnya, pemangkasan jumlah pegawai menyebabkan konflik di antara manajemen dengan buruh tetap terjadi, di mana banyak anggota serikat buruh ditekan untuk keluar dari perserikatan jika tidak ingin menjadi korban pemangkasan pegawai.
Privatisasi JNR ternyata menjadi jalan yang baik untuk meningkatkan kualitas perkeretaapian di Jepang. Kompetisi yang meningkat dan prinsip mengejar keuntungan menyebabkan JR Group melakukan revitalisasi kereta api untuk meningkatkan jumlah pengguna. Hasil positif pun diraih oleh JR yang berhasil meningkatkan jumlah pengguna pada 1993 menjadi 20%, lebih besar dibandingkan tahun 1986 ketika masih berupa JNR. Harga tiket kereta api pun juga menjadi lebih stabil di era JR dan tidak rutin meningkat tiap tahun seperti di masa JNR.
Selain itu, status JR sebagai perusahaan swasta juga dapat membuat mereka dapat berekspansi di bidang usaha non-kereta api seperti hotel, real estate, atau pusat perbelanjaan dengan lebih mudah, di mana sektor-sektor tersebut berkontribusi terhadap setengah dari pendapatan JR. Shinkansen pun juga terus dikembangkan agar kecepatannya meningkat sehingga mampu berkompetisi dengan pesawat terbang. Hal-hal tersebut pada akhirnya mampu meningkatkan penggunaan perkeretaapian di Jepang dan (tentu saja) kembali memajukannya.
Hikmah dari Privatisasi
Kita dapat melihat bagaimana Jepang dapat menjadi negara yang memiliki perkeretaapian yang maju, meskipun tanpa adanya perusahaan sentral dan kontrol pemerintah. Perusahaan JR yang dianggap sebagai simbol perkeretaapian Jepang dapat terdiri atas sembilan entitas yang berbeda tanpa kontrol pemerintah. Hal ini berbeda jauh dengan pendahulunya, JNR, yang terjebak dalam “zona nyaman”, kakunya birokrasi, dan kesulitan untuk bersaing dengan perubahan zaman.
Meskipun demikian, keputusan pemerintah Jepang untuk melepas kepemilikan perusahaan kereta api kepada pihak swasta ternyata membantu menyelamatkan perkeretaapian di Jepang. Perusahaan-perusahaan JR dapat berinovasi dan melebarkan sayapnya di sektor lain untuk membantu memajukan perkeretaapian dan meningkatkan posisi di persaingan bisnis kereta api.
Terakhir, kita dapat memetik pelajaran dari privatisasi perusahaan kereta api di Jepang: kompetisi serta inovasi merupakan sarana yang dapat mendorong kita untuk maju.