Karin Novilda berulah lagi, sebab itulah bagian dari media sosial tempat kita berada sekarang. Sejak ia ikutan gelombang-gelombang aktivisme beberapa minggu silam, ia mengalami fase-fase ‘pencucian nama’. Sebgaiamana kita mudah untuk mengutuk, kita juga mudah untuk memaafkan. Ia dianggap telah memperbaiki diri, dan kita memberikannya jalan.
Suatu perkara membuat kita paham bahwa ia sama sekali tak pernah berubah.
Nadiyah Rizki adalah seorang mahasiswi, mungkin seperti saya dan Anda. Dan mungkin seperti saya dan Anda juga, ia senang untuk menunjukkan kreasinya, melalui gambaran-gambarannya, komik-komiknya yang ia gambarkan dengan hati-hati untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. Sebagaimana para penulis dengan tulisannya, atau cosplayer dengan cosplay-nya.
Maka apa yang menjadi pelanggaran terhadap hak kreator lain bukan hanya urusan orang itu, tapi juga bisa menjadi urusah Nadiyah dan kita semua.
Babak I: Pembersihan Nama yang Terhambat
Karin sedang membangun diri sebagai mereka yang sadar diri atas isu-isu nasional, melakukan gerakan-gerakan sosial sampai-sampai melabeli diri sendiri sebagai ‘aktivis’. Dalam usahanya membentuk persona baru itu, kita yang sangat mudah memaafkan tentu saja membuka jalan untuk Karin Novilda yang baru, bukan Karin yang penuh drama, intrik, dan kasus-kasus tidak penting.
Dalam usaha yang berat itu, Nadiyah merasa ada urusan yang belum selesai. Ada kasus serius yang belum diperbaiki. Ketika Karin, beberapa tahun yang lalu, tidak mengakui pemilik karya resmi dari apa yang ia unggah di akun sosial medianya. Tuntutannya sederhana: tolong akui kesalahan anda.
Tetapi masalah ini tidak berakhir dengan sederhana
Babak II: Pengacara, Pengadilan, dan Privilese Lainnya
Dalam pesan tertutup, Karin melakukan rentetan ancaman: bahwa ia familiar dengan proses pengadilan dan segala biayanya. Dengan kesadaran bahwa Nadiyah, seorang mahasiswa tahun ketiga, tak akan punya waktu dan sumber daya untuk menghadapi pengadilan. Suatu ancaman diajukan: hapus segala twit-twit yang menyertakan namanya, maka ia tak akan membawa perkara ini ke pengadilan.
Karin sepenuhnya sadar kekuatan yang ia miliki dan tak dimiliki oleh Nadiyah. Ia mempunyai dana yang cukup, waktu yang berlimpah, dan mampu memakai pengacara-pengacara mumpuni. Ia juga bisa mengendalikan suara dan sentimen massa. Oleh sebab ini juga maka kita selalu memaafkannya.
Pada akhirnya seorang mahasiswi yang hanya bermodal niat baik tak mampu melawan seorang yang mampu menggerakkan massa dan aliran uang. Nadiyah menyerah: dalam kepanikannya yang dituntut pengacara dan pengadilan, ia menghapus seluruh cuitannya.
Tetapi kali ini, Karin tak sadar bahwa ia tak seharusnya berusaha untuk mengeksploitasi sekaligus mendapuk diri sebagai aktivis. Mereka yang benar-benar aktivis angkat suara. Segala macam bantuan hukum, waktu, dan sumber daya, segala macam pengacara bisa dan akan dikerahkan untuk Nadiyah. Pesannya jelas: Karin harus sadar bahwa ia tak bisa menggunakan privilesenya untuk mengancam orang lain, apalagi menggunakan hukum sebagai alat.
Pada akhirnya, kita sama-sama tahu bahwa apa yang dilakukan Karin bukanlah satu kesalahan masa lalu yang diungkit-ungkit kembali, melainkan ia memang mempunyai tendensi untuk mengambil hasil karya orang lain tanpa menyertakan sumber–praktik yang terus ia lakukan sampai beberapa bulan yang lalu (kronologi lengkap dapat anda lihat di utasan ini).
Maka, keliru jika menganggap Nadiyah hanya mencari-cari kesalahan masa lalu atau cari sensasi. Ia, sebagaimana ilustrator lainnya, tak menyukai keributan. Ia langsung dengan cepat menjelaskan perkara, sekaligus mengajak kita semua untuk tidak merundung Karin. Ia juga menggunakan kesempatan ini untuk mempromosikan para ilustrator lokal, mereka yang lebih butuh didengar daripada Karin.
Babak III: Minta Maaf dan Bahasan yang Terlalu Cepat Berakhir
Masalah memang sudah berakhir, tetapi ada pelajaran penting yang patut dipahami agar masalah yang sama tak terulang. Ada permasalahan struktural di sini. Karin tidak memahami bahwa apa yang ia lakukan adalah eksploitasi terhadap mereka yang lebih lemah daripada ia. Dalam permintaan maafnya–yang kemudian diakhiri dengan victim blaming paling busuk: membawa kesehatan mental–ia mengatakan bahwa ia ‘sudah meminta mediasi’ dan ‘berbicara baik-baik’.
Ada dua kemungkinan: pertama, ia tak paham bahwa meminta mediasi dengan membawa-bawa pengacara menimbulkan perbandingan kuasa yang jomplang, kedua, dia sedang melakukan gaslighting.
Gaslighting itu sederhana. Anda mungkin pernah menjadi korbannya. Ketika anda menjadi suatu korban (seperti Nadiyah), maka pelaku (seperti Karin) akan membentuk narasi sedemikian rupa sehingga kesalahan-kesalahan anda ditonjolkan dan posisi anda bisa menjadi pelaku, sedangkan sang pelaku sebenarnya mem-framing diri sebagai korban.
Hal ini, kemudian kita lihat terus-menerus: Nadiyah dianggap cari sensasi, terlalu cepat marah, memperkeruh suasana, memperburuk nama orang, menjelek-jelekkan tindakan baik orang lain, dan masih sebanyaknya. Padahal ada masalah yang lebih serius di sini: persoalan mengenai bagaimana kreator dihargai dan dimuliakan.
Konklusi: Hak Milik Bukan Urusan Sepele!
Maka menjadi wajar ketika tak satu dua yang ikutan angkat suara mendukung Nadiyah. Manajer Visual dan Grafis tirto.id, Sabda Armandio, dengan tegas menyatakan: urusan kreator bukan cuma urusan uang, dan “Anda, para desainer, punya nilai tawar lebih tinggi daripada para pemodal”.
Ini juga urusan Anda. Meskipun Anda cuma penggemar yang senang menonton anime atau membaca manga, atau melihat cosplayer dan fanart kesukaan anda, semua orang-orang itu adalah pekerja kreatif yang berhak mendapatkan ganjaran dari apa yang mereka berikan ke kita, dan persoalan tersebut tak melulu soal uang.
Hal ini semakin penting melihat bahwa jika salah satu influencer (saya benci sekali mengatakan kata itu) terbesar negeri ini saja tidak paham bahwa urusan desain grafis bukan urusan sepele, maka bagaimana para ilustrator dapat hidup dengan gambarannya? Bagaimana para desainer dapat tercukupi dengan desain-desain grafisnya?
Ini urusan kita yang senang meinkmati maupun menciptakan karya-karya kreasi dari subkultur Jejepangan maupun subkultur-subkultur lain. Tanpa adanya rasa hormat, empati, dan pemahaman mendasar, sulit untuk para cosplayer untuk nyaman ber-cosplay, untuk para lingkarya mendaftarkan diri di Comic Frontier, dan untuk kita semua yang ingin menikmati karya-karya mereka.
Problem yang dihadapi Nadiyah, pada akhirnya, dialami oleh pekerja kreatif lainnya. Mengutip Serikat Pekerja SINDIKASI, setiap problem yang menyangkut hak pekerja kreatif merupakan problem pekerja kreatif lainnya, dan “sesama pekerja kreatif tentu harus saling mendukung dan bersolidaritas atas hak-hak pekerja”
(Ilustrasi Thumbnail milik Nadiyah sendiri. Jika anda ingin mengenal lebih lanjut karya-karya Nadiyah dan bagaimana ia menyampaikan narasi dengan ilustrasi, silakan kunjungi situsnya di sini)