Cosplay atau permainan kostum ini sudah menjadi hal yang lumrah di dalam dunia kultur Jepang terkhusus dari segi anime maupun permainan populer.
Bahkan di sebagian negara seperti Amerika Serikat, Indonesia, Tiongkok ataupun Thailand yang memiliki penikmat kultur dengan jumlah yang masif, cosplay menjadi sebuah hal yang meluas, sehingga tidak sering dalam pameran atau perlombaan cosplay mancanegara tidak pula luput dari kehadiran cosplayer dari keempat negara tersebut.
Tidak hanya itu, di Jepang yang merupakan negara asalnya pun, cosplay menjadi sesuatu yang umum, bahkan seringkali kehadirannya mendapat dukungan dari merek-merek ternama untuk melakukan kerjasama dalam promosi produk, maupun pemerintah Jepang juga mendukung dalam bidang promosi Jepang kepada mancanegara.
Dukungan tersebut diwakilkan dalam satu kegiatan kompetisi cosplayer seluruh dunia bertajuk "World Cosplay Summit 2015" dengan kedatangan Menteri Luar Negeri Jepang Kiuchi Minori yang tengah menjabat saat itu. Minori dalam kesempatan tersebut mengatakan kehadiran cosplay sangat begitu penting dalam mendukung meluasnya kultur pop Jepang.
Telebih, belum genap setahun setelah penunjukkan Enako sebagai duta Cool Japan oleh Kabinet Jepang yang diwakilkan Shinji Inoue, secara tersirat pemerintah Jepang menekankan cosplay menjadi salah satu ciri khas budaya pop remaja Jepang yang meranah skala internasional.
Pemerintah Jepang berencana meninjau aturan hak cipta untuk mencegah kemungkinan pelanggaran hukum oleh para cosplayer karena jumlah orang yang berkostum dari sebuah anime dan gim yang terus bertambah.
Meskipun mengenakan kostum dari suatu karakter tidak melanggar hak cipta itu sendiri, pelanggaran dapat terjadi jika seseorang dibayar untuk melakukannya, seperti tampil di suatu acara terutama yang bersifat promosional.
Shinji Inoue, menteri yang bertanggung jawab atas strategi Cool Japan untuk mempromosikan budaya pop Jepang di luar negeri, mengatakan pada hari Jumat lalu bahwa pemerintah berencana untuk meninjau aturan hak cipta komersial mengenai penggunaan wajar terhadap cosplay pada akhir tahun fiskal pada bulan Maret 2021 mendatang.
"Dalam mempromosikan kultur cosplay, perlu adanya sebuah kondisi di mana orang-orang merasa nyaman dan dapat bersenang-senang tanpa ada rasa takut." pungkas Inoue.
Pemerintah tidak berencana merevisi undang-undang hak cipta karena khawatir peraturan yang lebih ketat akan membuat orang menjauh dari cosplay. Alih-alih, ia berencana untuk membagikan contoh spesifik situasi di mana cosplayer mungkin diminta untuk membayar biaya hak cipta untuk meningkatkan kesadaran atas sebuah hak cipta.
Pemerintah Jepang juga telah mendengar dari para kreator serta cosplayer, termasuk Enako, yang telah ditunjuk sebagai duta pemerintah Jepang bertema Cool Japan terkait masalah ini. Beberapa cosplayer telah menunjukkan perlunya kerangka kerja yang memungkinkan mereka menghubungi pemegang hak cipta untuk mendapatkan izin.
Taro Yamada, anggota Komisi Penelitian Strategi Kekayaan Intelektual Partai Demokrat Liberal yang berkuasa dalam Kabinet Jepang telah mengusulkan pembuatan sebuah daftar basis data untuk memungkinkan orang dengan mudah mengidentifikasi pemegang hak cipta.
Hal ini juga ditegaskan oleh pengacara tersohor, Fukui Kensaku, yang menyatakan bahwa faktanya, karena ekosistem kreator primer dan sekunder berfungsi dengan baik, tanggapan untuk menginginkan mereka tetap seperti itu tidaklah kecil.
Menanggapi hal ini, tim kerja Badan Urusan Kebudayaan telah membuat rencana yang cukup cerdas bagi Badan Urusan Kebudayaan untuk menarik kesimpulan tentang "terapi konservatif" saat ini. Pemerintah harus memperhitungkan ini terlebih dahulu agar tidak terjadi keambiguan dalam penanganan pelanggaran hak cipta.
Konfirmasi tersebut dikeluarkan setelah muncul pemberitaan terkait pelarangan penggunaan kostum yang kemudian ditampilkan di media sosial ataupun hal-hal yang menyatakan bahwa sekadar penggunaan kostum akan terkena sanksi hak cipta dari pemegang.