Selamat datang di Retro Corner, sebuah rubik gaming yang membawa kalian untuk menelusuri hal yang berhubungan dengan video game lawas. Minggu lalu kita sudah membahas sebuah konsol gim generasi pertama, yaitu Magnavox Odyssey. Pada hari ini kita akan membahas konsol gim generasi kedua dan sejarah kehancuran video game pada tahun 1983.

1976, Mulainya Era Video Game Generasi Kedua

Dari kiri atas kebawah kanan, Faichild Channel F, Atari 2600, Magnavox Odyssey 2, Intellivision, ColecoVision, Atari 5200

Generasi kedua ini merupakan era dimana pertama kalinya sebuah konsol menampilkan grafis dan suara. Generasi ini diperkenalkan pertama kali oleh konsol Fairchild Channel F, yang menggunakan cartridge yang lebih jelas identitasnya daripada Magnavox Odyssey, dengan dipakaikannya selubung agar lebih aman saat dipegang dan dipasang-cabut dari konsol. Awal mulanya, Fairchild mencoba menciptakan sebuah inovasi hiburan yang lebih menarik lagi dalam dunia konsol gim dengan kode nama VES (Video Entertainment System). Namun, demi menghindari copyright dari nama VCS (Video Computer System) milik Atari 2600, maka Fairchild mengganti nama tersebut dengan Channel F.

Sayangnya, pada tahun 1977 Fairchild Channel F memasuki moment dimana konsol gim sudah tidak terlalu menarik perhatian lagi untuk para pencari sarana hiburan. Namun, saat itu munculah pesaingnya yaitu Atari 2600. Konsol ini jauh lebih laris manis daripada Fairchild Channel F, sebab Atari memiliki pustaka gim yang menupuk dan gameplay yang lebih interaktif, dibantu oleh beberapa port (pengalihan gim Arcade ke konsol) dari gim seperti Space Invader yang laku keras selaku port gim Arcade pertama untuk konsol. Kemudian, Magnavox mengeluarkan konsol terbarunya, Magnavox Odyssey 2 pada tahun 1978 dilanjutkan oleh varian konsol lainnya seperti ColecoVision, Intellivision, Atari 5200, dan beberapa varian konsol lainnya.

1983, Masa Terpuruknya Bisnis Video Game

Pada tahun 1983, ketika video game masih berada pada generasi kedua, terjadi sebuah kejadian besar yang menimpa industri gim, yaitu terpuruknya penjualan video game pada tahun 1983 atau disebut Video Game Crash of 1983. Pendapatan dari bisnis konsol gim sudah mencapai sekitar $3,2 miliar pada tahun 1983, turun drastis sekitar 97% menjadi $100 juta pada tahun 1985.

Kehancuran tersebut menghapus kepercayaan pasar kepada industri gim yang sedang berada di puncaknya. Akibatnya, beberapa perusahaan produsen konsol gim di wilayah tersebut mengalami kebangkrutan atau dengan cepat mengalihkan produksi ke arah lainnya. Raksasa gim dan pelaku utama crash ini tak lain adalah perusahaan gim dan komputer dengan pertumbuhan tercepat di Amerika Serikat, Atari.

Mengapa Bisnis Video Game Terpuruk?

Dari banyak sekali faktor yang membuat bisnis video game ini terancam berakhir begitu saja, penyebab utamanya adalah kejenuhan pasar (oversaturation) yang menerima terlalu banyak gim berkualitas buruk tanpa jumlah pembeli yang memadai, dimulai sejak tahun 1985. Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi penyebab kejadian ini.

Pasar Video Game Yang Terlalu Dibanjiri Oleh Beragam Konsol

Generasi 2 merupakan generasi yang dibanjiri oleh berbagai varian konsol gim

Didorong oleh keberhasilan Atari 2600, maka para perusahaan berlomba-lomba untuk membuat konsolnya sendiri. Baik dari Atari dan perusahaan lain, bermunculan konsol seperti Atari 5200, ColecoVision, Odyssey 2 dan Intellivision, belum lagi beberapa konsol lainnya yang mampu menjalankan gim Atari dan ColecoVision sekaligus. Masing-masing konsol memiliki pustaka gimnya sendiri yang diproduksi oleh pembuat konsol itu sendiri. Namun, lebih banyak memiliki pustaka gim yang diproduksi oleh pengembang dari pihak ketiga.

Sejak tahun 1982, para analis telah memperingatkan adanya kejenuhan pasar dari industri gim yang sedang ‘booming’ itu, akibat terlalu banyaknya varian konsol. Jumlah gim baru yang dijual tidak begitu sukses. Pedagang konsol gim sudah kehabisan ruang untuk menyimpan stok konsol gim, dan penurunan harga untuk komputer rumahan (PC) memperparah keruntuhan industri video game.

Persaingan Dengan Komputer Rumah

Atari 800, komputer rumah terlaris pada masanya

Pada tahun 1979, Atari merilis komputer mereka Atari 400 dan 800, yang dibangun dengan chipset yang awalnya digunakan untuk konsol gim. Selanjutnya, pada 1982 desain komputer rumahan baru pada umumnya menyediakan grafis dan suara warna yang lebih baik daripada konsol gim. Komputer juga memiliki lebih banyak memori dan prosesor yang lebih cepat daripada konsol. Mereka juga bisa digunakan untuk tugas seperti pengolah kata dan akuntansi dasar.

Gim komputer juga lebih mudah diduplikasi, karena bisa dikemas dalam disket dan kaset, ketimbang cartridge. Media penyimpanan yang digunakan memungkinkan gamer untuk melakukan save-game, sebuah fitur yang belum ada pada era tersebut. Tidak lama kemudian, terjadi perang harga antar industri komputer, dimana mereka saling menurunkan harga perangkat mereka hingga semurah konsol gim. Orang-orang pada masanya banyak melontar pertanyaan, “Mengapa saya harus membeli konsol gim disaat komputer sudah bisa memainkan gim dan melakukan hal yang lebih banyak lagi? Siapa yang mau membayar $200 hanya untuk perangkat yang hanya bisa dipakai untuk main gim?”

Kebanjiran Gim Third-Party Atau Pihak Ketiga Hingga Publikasi Yang Hilang Kendali

Pada tahun 1979, Activision menjadi developer third-party pertama dalam dunia industri video game. Perusahaan ini didirikan oleh beberapa programmer dari Atari yang keluar dari perusahaan karena Atari tidak mengizinkan nama mereka muncul di kredit dalam gim yang mereka buat dan tidak membayar royalti kepada karyawan berdasarkan penjualan.

Sampai tahun 1982, beberapa developer third-party bermunculan selain Activison. Imagic dan Games by Apollo menunjukan cartridge Atari 2600 mereka sendiri pada bulan Januari 1982, kemudian Coleco juga mengumumkan beberapa gim untuk Atari 2600 dan Intellivision. Perusahaan – perusahaan baru membuat Atari mengurangi pangsa pasar cartridge gim mereka sendiri dari 75% di tahun 1981 menjadi kurang dari 40% di tahun 1982.

Pada paruh kedua tahun 1982 jumlah gim berkembang dari 100 pada bulan Juni menjadi lebih dari 400 pada bulan Desember. Activision, Atari, dan Mattel, semua memiliki programmer gim handal. Namun, banyak perusahaan baru yang bergegas bergabung dengan pasar gim tidak memiliki keahlian untuk menciptakan gim berkualitas. Belum lagi dengan banyaknya platform konsol gim membuat segala quality control pembuatan gim ini sulit terjaga.

Maka, dikejar oleh keuntungan gampangan, produksi gim pihak-ketiga digiatkan tanpa kualitas yang baik, bertumpuk memenuhi pasar yang tak ingin membelinya. Keruntuhan industri yang menggiurkan bagi pasar ini, lalu, mulai terasa.

Dampak Dari Terpuruknya Bisnis Video Game

Sebuah guncangan industri besar lantas mulai terjadi. Magnavox berhenti dari bisnis produksi konsol gim. Imagic menarik IPO-nya, lalu ambruk dan bangkrut. Salah satu dampak yang paling dominan terjadi pada Atari.

Pada tahun 1982, Atari telah merilis sejumlah besar gim Atari 2600 yang mereka perkirakan laris, seperti Pac-Man dan adaptasi dari film E.T. Extra-Terrestrial. Namun, Pac-Man versi Atari memiliki kualitas sangat buruk dibandingkan versi Arcade-nya, apalagi E.T Extra-Terrrestrial dengan grafiknya yang kacau balau. Sebagian besar gim tersebut tidak laris manis, proyeksi profit tak tercapai, dan Atari terpaksa mengubur tumpukan kaset-kaset gim tersebut.

E.T, sebuah gim Atari yang dinobatkan sebagai gim terburuk pada masanya

Penguburan Cartridge Atari 2600

Beberapa gim Atari yang ditemukan saat dilakukan penggalian pada tahun 2014

Pada bulan September 1983, pihak Atari mengubur sebagian besar stok berlebih dari beberapa gimnya di TPA dekat Alamogordo, New Mexico. Penguburan gim Atari menjadi urban legend terbesar didunia video game, dengan statement bahwa jutaan cartridge telah dikuburkan di sini. Meskipun begitu, pihak eksekutif Atari mengatakan pada tahun 2014, di samping penggalian TPA sebagai dokumentasi, bahwa hanya sekitar 700.000 cartridge yang dikuburkan di sana.

Munculnya NES Sebagai Penyelamat Kehancuran Video Game

NES, sebuah konsol generasi 3 yang menyelamatkan industri konsol gim

Sedangkan Atari terpuruk, Nintendo baru akan memulai masa kejayaannya. Setelah crash 1983 yang melelahkan, pada 1985 perusahaan keluarga Jepang tersebut mengeluarkan konsol NES (Nintendo Entertainment System) yang merupakan terobosan dari berbagai lini pada masanya. Ketika diedarkan di pasar Amerika Serikat, penjualan konsol gim ini mencapai $5 Miliar pada 1989, melampaui puncak penjualan sebelumnya yaitu $3 Miliar pada 1982. Sebagian besar pasar industri video game lantas dikendalikan oleh Nintendo, hingga muncul pesaingnya seperti Sega dan Atari yang kembali ikut serta dalam menyaingi kesuksesan Nintendo.

Atari, bagaimanapun juga, meredup melewati titik balik. Perusahaan gim pelopor dan terbesar pada masanya tersebut dengan cepat menghilang dari pasaran, dan kini hanya dipandang sebagai figur sejarah dengan masa kejayaan yang sudah tidak ada.

Kesimpulan

Berdasarkan artikel ini, dapat disimpulkan bahwa jumlah konsol gim saat ini sangat sedikit dan mahal dibanding konsol gim dimasa lampau. Mengapa demikian? Karena jika tidak, dunia industri video game ini akan dibanjiri gim murah namun kualitasnya tidak terjamin. Terlebih lagi terlalu banyak varian konsol gim bisa menyebabkan berkurangnya konsumen video game ketimbang diberi tiga pilihan varian konsol yang berunjung konsumen bisa membeli ketiganya.

Selalu ada juga quality control di setiap platform baik konsol maupun platform di PC seperti Steam, Origin, dan lain sebagainya, karena setiap platform memiliki optimalisasi yang berbeda untuk setiap gim tersebut dijalankan.

Itulah beberapa info terkait dari Retro Corner hari ini. Pada Retro Corner selanjutnya, kita akan membahas bagaimana NES bisa mengakhiri terpuruknya bisnis video game ini. Adakah teman-teman Riscomrades sekalian yang punya masukan dan saran untuk bahasan Retro Corner berikutnya? Seperti biasa, silakan sampaikan pendapat kalian pada kolom komentar di bawah ini, ya!

Sampai ketemu di Retro Corner berikutnya!

Tulisan ini adalah opini pribadi dari penulis, tidak mencerminkan pandangan umum Risa Media. Penulisan oleh Ivan Mahendrawan.
Penyuntingan dan penulisan tambahan oleh Muhammad Naufal Hanif.