Hai, hai, Riscomrades! Kembali lagi bersama Fella. Kali ini Fella ingin memberi tahu kalian sebuah fakta yang menarik tentang Jepang, yaitu: Jepang memang adalah negara yang maju, tetapi bukan berarti mereka semua melek teknologi, terutama teknologi informasi. Eits, ini bukan clickbait. Dibaca dulu ya sampai habis!

Bagi orang Jepang, tidak mempunyai PC ataupun laptop merupakan hal yang wajar.

Pertama kali mengetahui hal ini, sebagai orang Indonesia yang sehari-harinya hidup dekat dengan laptop, Fella cukup terkejut. Sebelumnya memang Fella tahu, untuk kebutuhan gaming bagi masyarakat Jepang, mereka lebih mengutamakan console. Yang lebih menarik, ternyata alasannya dekat dengan culture dan pola pikir hidup mereka! Kurang lebih beginilah jabarannya:

Sistem Pembuangan Sampah Elektronik

Di Jepang, pembuangan sampah adalah sebuah hal yang cukup ketat, di mana sampah sehari-hari harus dipisahkan antara organik dan non-organik, botol plastik, dan sebagainya. Lain dari itu, pembuangan sampah yang berukuran besar (soudai gomi) mempunyai tata cara sendiri, Mereka harus mengontak perusahaan yang mengurusi sampah ukuran besar, membeli tiket dari minimarket, dan terakhir meletakan sampah itu di depan apartment (bila ukurannya masih wajar untuk diangkat). Kurang lebih prosedurnya akan sama untuk pembuangan sampah elektronik, jadi tidak bisa sembarang buang.

Ribet-nya hal ini dan harus ada biaya yang dikeluarkan untuk membuang sampah menjadi salah satu pertimbangan mereka untuk membeli barang elektronik seperti PC ataupun laptop.

Tidak Butuh, Tidak Beli

Hal ini ditanamkan ke pola pikir orang Jepang kebanyakan sedari dini. Mereka akan membeli barang yang tidak begitu dibutuhkan di toko 100 yen, tetapi untuk barang ukuran besar mereka akan berpikir berulang kali untuk membelinya.

Rumah di Jepang kebanyakan ukurannya tidak begitu besar, sehingga tempatnya terbatas untuk meletakkan barang-barang yang ukurannya cukup besar. Tentunya dengan alasan ini juga mereka tidak mau sembarangan membeli barang besar yang tidak begitu berguna untuk mereka (setidaknya di saat itu).

Ponsel lipat masih umum digunakan di Jepang.

Alasan ini juga yang menjadikan Jepang serasa “terjebak di dekade 80-an”, setidaknya begitulah tanggapan para gaijin. Musik J-Pop masih dijual melalui media CD, alih-alih situs musik online semacam Spotify. Beberapa orang Jepang masih menggunakan ponsel lipat yang bisa browsing via 4G dan menonton TV. Perkembangan teknologi informasi di Jepang yang seakan tertinggal ini memiliki julukannya sendiri: Galapagos Syndrome, mengacu pada sebuah pulau di Pasifik yang memiliki spesies uniknya sendiri.

Ruang Publik yang Memadai

Fella teringat lagi, mengapa, sih, di Indonesia kita banyak yang membeli laptop. Salah satu alasan yang terpikirkan Fella adalah: untuk kebutuhan sekolah. Tentunya di Jepang juga ada tugas untuk membuat makalah dan presentasi, di mana kita semua biasa membuatnya di rumah dengan PC pribadi. Namun, di Jepang mereka terbiasa untuk meminjam ruangan komputer sekolah, sehingga tidak ada keharusan untuk membeli PC di rumah.

sadowara_img02.jpg
Komputer sekolah dapat digunakan hingga larut malam untuk mengerjakan tugas.

Lingkungan transportasi dan/ataupun keamanan yang memadai pun juga ikut membantu mereka dalam urusan ini. Kereta yang praktis beroperasi hingga larut malam (sekitar jam 12) dan keamanan Jepang di mana hampir tidak ada pencuri, membuat para orangtua juga aman bila anaknya harus pulang malam demi tugas sekolah.

Jepang yang Mulai Terbuka

Isolasi dari dunia luar bukanlah hal baru dari negeri matahari terbit ini. Kabar baiknya, Jepang perlahan-lahan mulai terbuka akan teknologi informasi dari belahan bumi lainnya.

Salah satu contohnya adalah penggunaan smartphone yang kian marak di Jepang. Hal ini terlihat dari anime rilisan 2016 ke atas yang mulai menampilkan karakternya menggunakan smartphone alih-alih flip phone. Kebutuhan akan media sosial, Internet, dan pesan singkat membuat anak muda mengganti ponsel lamanya dengan smartphone. Hal yang sama juga terjadi dalam industri musik, di mana idol Jepang seperti Love Live mulai berekspansi melalui Spotify.

Karakter-karakter di anime terbaru sudah menggunakan smartphone.

Begitulah ringkasan Fella saat menanyai teman Jepang soal mengapa kebanyakan dari mereka tidak mempunyai PC. Culture shock? Iya, mungkin itu yang bisa menggambarkan perasaan Fella. Terutama ketika mengetahui tidak ada teman main untuk bermain game Steam. Namun ketika berpindah negara memang sewajarnya kita tahu akan ada perbedaan antara negara satu dengan negara lainnya.

Tulisan ini adalah opini pribadi dari penulis, tidak mencerminkan pandangan umum Risa Media. Penulisan oleh Dewi Pannadhika.