Dunia gaming kembali meradang. Seorang gamer asal Hong Kong mendapati akunnya diblokir, setelah menyuarakan dukungannya terhadap demonstran Hong Kong di Hearthstone, salah satu game dari Blizzard. Dampaknya, Activision Blizzard mendapatkan kecaman dan boikot dari warganet seluruh dunia. Masih soal Hong Kong, hari ini Risa Media akan membahas tentang Hong Kong 97, sebuah game yang melegenda di kalangan gamer retro. Bukan karena bagusnya, justru melainkan karena buruknya game ini.

Cara Bermain Hong Kong 97

Game ini berlatar belakang pada tahun 1997, saat Hong Kong masih berada di tangan Inggris. Pada tahun ini pula, Hong Kong akan diserahkan kembali ke Tiongkok, buah dari perjanjian 99 tahun lalu. Jutaan penduduk Tiongkok daratan, atau juga disebut “ugly reds” dalam game ini, berbondong-bondong menyerbu Hong Kong. Akibatnya, tingkat kejahatan meroket.

Dalam situasi genting ini, pemerintah Hong Kong (diwakili oleh Chris Patten) memanggil Chin, saudara Bruce Lee yang tengah lama hilang. Ia ditugaskan untuk membantai seluruh 1,2 miliar penduduk Tiongkok daratan. Di lain pihak, pemerintah Tiongkok juga menyiapkan senjata pamungkasnya, membangkitkan Tong Shau Ping (parodi dari Deng Xiaoping) dari kuburnya, bersiap menggagalkan misi Chin.

Salah satu bagian dari gameplay Hong Kong 97.

Cara mainnya cukup mudah, kurang lebih mirip Space Invaders. Pemain bermain sebagai Chin, menembaki penduduk Tiongkok daratan yang ada di layar, dan tidak boleh menabrak mereka. Jika gagal, game akan berakhir dan memunculkan tulisan “Chin is dead”, lengkap dengan footage korban tewas tertembak. Terkadang, beberapa mobil muncul dari sudut layar. Jika Chin sampai tertabrak, game juga akan berakhir dan kalian harus memulainya kembali dari awal.

Jika pemain sudah berhasil membantai 30 orang, sang “final boss” Tong Shau Ping akan muncul. Ia berukuran besar dan lebih sulit dikalahkan. Berhati-hatilah, ia sering membuat gerakan-gerakan yang mengejutkan, tentu saja membuat Chin tewas seketika.

Selain gameplay yang menarik, pemain juga disuguhi dengan berbagai gambar-gambar yang sangat menggambarkan Tiongkok. Ada Mao Zedong, poster propaganda partai komunis, sampai logo Coca-Cola pun ada. Lagu yang digunakan dalam game ini adalah I Love Beijing Tiananmen, sebuah lagu era Revolusi Kebudayaan. Lagu itu diulang terus menerus selama permainan, merasuki otak mereka yang memainkannya.

Wujud Protes Terhadap Industri Game

Orang di balik ketenaran game ini adalah Yoshihisa “Kowloon” Kurosawa, seorang jurnalis underground asal Jepang. Sejak kecil, ia sudah diperkenalkan dengan teknologi, sesuatu yang ia gemari hingga besarnya. Ia sering berkelana ke Hong Kong dan Asia Tenggara, mengamati kehidupan sosial di sana, sekaligus melihat-lihat serta berbelanja komputer dan perangkat elektronik lainnya.

Kowloon Kurosawa, orang di balik game Hong Kong 97. (Foto: SCMP)

Dalam salah satu kunjungannya di Hong Kong, ia menemukan sebuah perangkat yang unik. Bertajuk Magicom, alat ini dapat menyalin data game dari cartridge Super Famicom (SNES) ke dalam disket 3,5″. Dengan alat ini pula, kalian bisa bermain game Super Famicom bajakan dari disket. Mengingat game untuk Super Famicom pada saat itu sangat mahal (sekitar $90), Magicom dapat menjadi alternatif yang menggiurkan untuk gamer yang ingin bermain game Super Famicom dengan harga murah. Kurosawa kemudian mengimpor alat ini dan menjualnya di Jepang. Sayangnya, Nintendo mencegatnya dengan memberikan surat peringatan, membuatnya harus menghentikan penjualan Magicom.

Pil pahit inilah yang membuat Kurosawa semakin frustrasi dengan Nintendo, bahkan industri game secara keseluruhan. Industri game dimonopoli oleh nama-nama besar. Semua game yang hendak dipublikasi harus melewati tahap kurasi oleh vendor. Konten-konten tertentu dibatasi, atau bahkan dilarang sama sekali. Bagi industri, ini adalah bentuk quality control. Bagi Kurosawa, ini jelas merupakan pengekangan kebebasan berekspresi.

Kondisi inilah yang membuatnya kembali menatap Hong Kong, yang kebetulan memiliki persamaan nasib. Kebebasannya akan segera direnggut oleh kekuatan yang lebih besar. Hal itu akan terjadi dalam waktu dekat, tahun 1997.

Dibuat, Dilupakan, Akhirnya Melegenda

Atas dasar inilah, Kurosawa mulai membuat game ini di tahun 1995. Ia mengajak salah satu karyawan Enix (kini Square Enix) untuk merancang gamenya, yang selesai dalam waktu dua hari saja. Foto-foto yang ada dalam game diambil dari beragam poster film dan VHS. Musiknya didapat dari kepingan LaserDisc bekas. Semua itu dikemas dalam sebuah disket, untuk kemudian dijual lewat surat.

Magicom, perangkat yang memungkinkan Super Famicom bermain game bajakan.

Masalahnya, menjual game indie di zaman pra-Internet bisa dikatakan sulit. Hampir tidak ada toko yang mau menerima game ilegal, terlebih dengan tema yang ofensif. Lagipula, Kurosawa sendiri tidak berharap banyak dari penjualan game ini. Penjualan game ini hanya bertahan selama beberapa bulan, kemudian berhenti begitu saja.

Setelah sekian tahun, kemunculan Internet dan emulator Super Famicom membuat game ini kembali naik daun. Dipopulerkan oleh Angry Video Game Nerd, warganet terheran-heran sekaligus terkesima dengan kualitas game yang bisa dikatakan “burik” ini. Mengingat game ini hanya dijual dalam waktu singkat, keberadaan fisik dari game ini bisa dikatakan langka. Warganet kemudian menemukan akun Facebook-nya dan membombardirnya dengan beragam pertanyaan. Hal ini sangat mengganggu kehidupannya.

Kondisi inilah yang membuat Kurosawa, yang saat itu sudah menetap di Kamboja, akhirnya buka mulut pada tahun 2018 setelah diwawancara oleh South China Morning Post. Ia menjawab sejumlah latar belakang dan spekulasi yang beredar. Ia memang sengaja membuat game tersebut sejelek-jeleknya, sebagai wujud protes akan industri game di masa itu. Ia juga tak menyangka game buatannya ini digemari, bahkan melegenda.

“Sejujurnya, saya lebih ingin orang melupakan game ini selamanya,” ujar Kurosawa di akhir wawancaranya.

Kekhawatiran Kurosawa, Masihkah Relevan?

Setelah 24 tahun game Hong Kong 97 rilis, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab terkait dengan game ini. Apakah kekhawatiran yang dirasakan Kurosawa di 1995 masih relevan di masa sekarang? Apakah industri game yang bebas sudah terwujud? Apakah protes dalam wujud game meruapakan sesuatu yang etis? Bagaimana dengan Hong Kong?

Sampai saat ini, kami pun masih belum masih belum menemukan jawabannya. Satu hal yang pasti, Kurosawa telah selesai dengan tugasnya, membuat sebuah game yang “meledek” industri. Surat peringatan dari Nintendo dijawabnya dengan santai: Hong Kong 97.