Berabad-abad silam, manusia masih sibuk mencari kode etika yang ‘pas’. Bentham dan Mills menawarkan solusi tahan-lama: utilitarianisme. Sistem etika itu sederhana: tindakan jadi benar ketika ia memberikan manfaat paling tinggi untuk jumlah orang yang paling banyak.

Maka anda tak boleh hanya memikirkan diri sendiri atau orang lain. Anda harus memikirkan semua orang. Hanya dengan pilihan yang menguntungkan sebanyak mungkin orang, tindakan anda menjadi dapat dibenarkan.

Dalam perjalanannya, muncul tantangan yang cukup menohok. Jika, misal, anda seorang pelancong yang tiba-tiba menemui sepasang penculik dan 12 orang tahanan. Sang penculik memberi pistol pada anda, dan berkata: jika anda tembak kepala dua orang ini, 10 sisanya akan bebas. Secara utilitarian, jika anda memutuskan untuk menembakkan pistol itu, anda benar: anda menyelamatkan 10 orang. Tetapi apakah mencabut nyawa orang lain adalah tindakan yang bermoral? Apakah membunuh dua orang dibenarkan, sebab dengan itu anda membebaskan lebih banyak orang?

Bagi beberapa orang, hak manusia untuk hidup merupakan hak yang semurni-murninya, yang tak dapat dicabut oleh orang lain. Oleh karena itu, ia tak boleh diganggu.

Hodaka Morishima setuju.

Mengapa pula ia dan Hina perlu memikirkan kepentingan kolektif jika taruhannya adalah nyawa? Mengapa pula ia, yang terlunta-lunta di kejamnya metropolitan Tokyo, harus ikhlas kehilangan orang yang paling menyayangi dirinya untuk kepentingan orang lain? Orang-orang lain itu pun belum tentu memedulikan mereka berdua. Hina harus hidup. Ia harus tetap ada di samping Hodaka. Ini bukan egoisme: Hodaka percaya, seperti halnya PBB dan Amnesty International, bahwa nyawa berada di atas segalanya. Hak tersebut hadir ketika bahkan seseorang belum lahir sekalipun.

Sepanjang perjalanannya, Hodaka memang tak terlalu memedulikan hal-hal yang berada di luar sistem ‘kebenaran’-nya sendiri. Apa yang menjadi hak dirinya dan orang-orang yang disayanginya, seperti hak untuk mengurus diri sendiri, hak kasih sayang, maupun hak untuk hidup, merupakan harga mati.

Standar Moral yang Tak Bisa Diganggu

Sejak awal Hodaka Morishima memang keras kepala.

Makoto Shinkai memang tak memberitahu mengapa Hodaka sangat keras kepala untuk tak kembali ke rumahnya, namun prinsip itu ia pegang teguh: ia tak akan kembali. Seorang siswa SMA baru, tanpa KTP ataupun kartu pelajar, harus hidup dengan gaji yang layak di tengah metropolitan paling suram seantero dunia: Tokyo. Maka ia mencari dan terus mencari pekerjaan.

Tetapi tak seperti manusia-manusia di sekeliling kita, ia punya standar moral yang tetap tak bisa diganggu. Bahkan ketika ia adalah pemuda yang kelelahan dan kurang makan dengan fisik yang lemah. Ia tetap harus melindungi orang lain, ia harus melindungi seorang perempuan yang sedang berada di tengah-tengah proses human trafficking dan perdagangan seks di bawah umur.

Ia tahu ada yang salah. Seseorang wanita (dibawah umur?) yang digiring dalam klub esek-esek untuk ditawarkan ‘pekerjaan’, dalam industri yang penuh dengan eksploitasi. Ada yang salah? Jelas. Meskipun ia tak punya bukti apa-apa, suatu bentuk paksaan pasti ada dalam Hina, langsung maupun tidak langsung.

Tentu saja Hodaka Morishima melawan dengan segala yang ia miliki. Termasuk: melanggar hukum dengan benar-benar menodongkan dan menembakkan senjata api ke arah seseorang. Ini, di banyak negara termasuk Jepang, merupakan pelanggaran serius yang akan menyulitkannya di lain hari.

Hina selamat. Sisanya adalah masa-masa yang terlihat akan indah selamanya, dimana Hodaka tak perlu lagi bersikap heroik dan vigilan terhadap orang-orang terkutuk di lorong-lorong sumpek perkotaan.

Krisis dan Moral Hodaka Morishima yang Bertahan

Tentu saja mereka yang bertahan dengan moralitas yang mereka miliki akan selalu bertabrakan dengan orang lain, di dunia itu, di dunia ini.

Kondisi dengan cepat menjadi kacau. Ia masuk daftar pencarian orang dan tersangka kepemilikan senjata api illegal. Hina ternyata memalsukan identitasnya, dan ia pun hidup kelayapan tanpa orangtua maupun wali. Di tengah suasana yang mencekam itu, hujan yang akan menghancurkan dunia nyata kita jika ia benar-benar terjadi terus mengguyur Jepang, membanjiri seluruh kota.

Hodaka akan segera menemui krisis eksistensialnya: ketika hak hidup dari orang yang paling ia cintai akan direnggut demi kepentingan umum.

Ya, Hina harus lenyap. Agar cuaca kembali menjadi normal dan urusan duniawi tetap berjalan seperti biasanya, seseorang harus dikorbankan. Mirip-mirip seperti realisme magis yang pahit milik Gabriel Garcia Marquez, keajaiban ada, di dunia yang banal itu, namun ia juga tragis dan tak melupakan kerasnya dunia yang tak ajaib itu. Langit yang cerah tak akan terus-menerus terjadi, kecuali Hina membiarkan dirinya sendiri pergi untuk kebahagiaan jutaan orang lain. Ini adalah konsekuensi logis, bahkan dengan adanya keajaiban dan takdir yang tak logis.

Hodaka Morishima tak bisa menerima itu.

Maka Manusia Berhak Hidup, Bebas, dan Bahagia

Manusia dilahirkan berhak atas tiga hal secara mutlak: ia berhak hidup (tak diancam nyawanya), bebas (tak diperbudak), dan mengejar kebahagiaannya (self-determination: mengatur diri sendiri). Setidaknya itu yang dipercayai Thomas Jefferson dan para pendiri negara adidaya Amerika Serikat. Hodaka, sedikit banyak, memahat prinsip itu dalam-dalam di hatinya.

Baginya kepolisian boleh sampai kapanpun mengejar dirinya, tapi ia tak boleh dipisahkan dari Hina dan Nagi, dan ia tak mau dikembalikan ke pulau asal tempat tinggalnya. Penjelasan tak dibutuhkan: keajaiban tak punya tempat di kepala polisi yang teratur dan terpatri oleh hukum-hukum duniawi yang jelas. Maka ia harus mencari jalannya sendiri, apapun itu: ia (dan Hina) berhak untuk hidup, bebas, dan saling mengejar kebahagiaannya.

Hanya dengan alasan itulah ia berani berteriak: lebih baik kita kabur bersama, jadi buronan seantero negeri, daripada kita berpisah dan kembali menjalankan dunia ‘seperti semestinya’.

“Aku Memilihmu Daripada Langit yang Cerah!”

Baginya juga: Tokyo boleh tenggelam. Ia mendeklarasikan manifestonya secara tegas: sebelum seseorang berpikir untuk mengorbankan dirinya sendiri, nyawanya sendiri, untuk orang banyak, ia harus memikirkan dirinya sendiri, nyawanya sendiri, untuknya sendiri. Maka buku pelajaran geografi bisa diubah dan masyarakat maju Jepang bisa menyesuaikan diri, tetapi Hina tak boleh mati.

Langkahnya hampir dihentikan oleh skeptis terakhir dalam film itu, Keisuke Suga. “Mengapa repot-repot melakukan semua ini?” pikirnya. Serahkan dirimu ke polisi, kembalilah ke keluargamu, biarkan Hina kemanapun ia berada. Begitulah semestinya hal-hal bekerja, dan hal-hal seperti itu harus ditaati.

Tetapi Suga segera disadarkan oleh Hodaka. Bukankah ia pun hidup untuk sesuatu yang ia sangat inginkan, seseorang yang sangat ia sayangi? Ia ingin bertemu dengan anak perempuannya sebagaimana Hodaka ingin bertemu Hina. Ada hal-hal yang perlu diperjuangkan, jika perlu sampai mati, dan jikapun ia gagal, ia harus gagal ketika sedang mengejar impian itu.

Suga sepakat. Ia memberi Hodaka waktu. Dalam klimaks film itu, Hodaka dan Hina bertemu kembali, dalam ruang-ruang imajinasi yang sangat riil dan keajaiban-keajaiban yang sangat nyata.

Misinya telah selesai. Apapun yang harus ia bayarkan, akan ia bayarkan: ditahan polisi, dikembalikan ke keluarganya, dipisahkan dari Hina selama tiga tahun, di tengah Tokyo yang kini tenggelam seperti berabad-abad yang lalu.

Namun, kali ini, Hina akan tetap hidup, dan Hodaka sewaktu-waktu dapat menemuinya kembali. Ia tak lagi perempuan untuk dikorbankan: ia manusia merdeka yang nyawanya tak dapat digantikan apapun.

Para Pemuda Akan Terus Berjuang untuk Misinya

Berapa kali kita sering mendengar bahwa orang-orang harus mempunyai prinsip moral yang teguh dan harus memperjuangkan dunia yang ia anggap ideal?

Tentu saja orang-orang itu sedang mengatakan omong-kosong, sebab orang-orang yang tetap menjalankan apa yang mereka percayai tak pernah dianggap sebagai pahlawan, melainkan orang dungu yang kekanak-kanakan. “Jadilah dewasa.” kata Suga. Tetapi tentu saja di hari ini dan abad-abad sebelumnya, selalu ada mereka yang tak ingin menjadi dewasa.

Selalu ada orang-orang yang melawan: demi dunia yang lebih baik, maka tak ada prinsip lain yang lebih penting, bukan para tetua, bukan kebijaksanaan umum, dan bukan hukum negara sekalipun. Demi hidup yang lebih sejahtera, tak ada yang bisa menghalang-halangi, bahkan mereka yang berkuasa dan hidup dari menghalang-halangi kesejahteraan orang lain. Selalu ada mereka yang tanpa tedeng aling-aling menyatakan: ini saya, inilah apa yang saya yakini, dan anda tidak dapat menghalang-halangi saya.

Mudah-mudahan, ketika Hodaka Morishima kembali ke masa SMA, ia mempelajari apa yang terjadi di Sorbonne, Paris pada Mei 1968, ketika orang-orang turun ke jalanan untuk mempertahankan apa yang merupakan hak bagi mereka.

Ia mungkin akan klop dengan slogan populer pada zaman itu, zaman ketika para anak muda dituntut untuk ‘realistis’ dan lebih ‘moderat’: soyez realistez, demande l’impossible. Jadilah realistis, mintalah hal yang mustahil!