“Cinta adalah memberikan sesuatu yang tidak seseorang miliki…kepada mereka yang tidak menginginkannya,” ujar Jacques Lacan atas cinta.

Pelekatan Narsistik

Dalam bentuknya sendiri, menurut Lacan, cinta memiliki struktur yang narsistik. Sebab apa yang seseorang cintai dalam sebuah hubungan sebetulnya bukanlah sang pasangan itu sendiri, melainkan fantasi atas sang pasangan yang muncul di dalam dirinya.

Anda tidak mencintai seseorang, misal, sebab ia merupakan perwujudan nyata dan objektif dari kecantikan murni, melainkan karena anda melekatkan sifat ‘cantik’ pada unsur-unsur yang pasangan anda miliki—semisal gigi gingsulnya atau rambutnya yang terurai sebahu (lihat fetish corner kami untuk informasi lebih lanjut)—di mana proses pelekatan (atau penandaan, lebih tepatnya) ini didasari sepenuhnya atas fantasi dari benak anda. Contoh lain: berbagai macam subgenre fetish yang ada dalam anime, misalnya.

Hal ini terjadi sebagaimana digambarkan dalam kisah Narcissus, di mana Echo yang mencintainya tidak pernah hadir melainkan hanya sebagai bayangan Narcissus di permukaan danau, dan yang dicintai olehnya pun sebenarnya bayangan dirinya sendiri, bukan Echo. Perihal ini (narsisme cinta) dapat dipahami, mudahnya, karena keinginan untuk mencintai hadir bersamaan dengan keinginan untuk dicintai. Namun, pemahaman lain yang kemudian juga bisa kita dapatkan adalah bahwa figur sang pasangan tidak pernah memiliki tempat yang murni di dalam struktur cinta anda. Anda sama sekali tidak memiliki cinta yang murni untuk diberikan, dan ketika anda mencintai seseorang, maka apa yang anda berikan sebetulnya adalah ”kekosongan yang tidak terisi” itu tadi.

Yang perlu anda pahami selanjutnya adalah pelekatan fantasi anda terhadap figur pasangan anda—pacar betulan ataupun 2D—tidak berhenti hanya pada fitur-fitur fisik yang ia miliki melainkan juga mencakup bagaimana ia secara utuh hadir di hadapan anda. Bagaimana ia berekspresi dan mengutarakan perasaannya melalui kata-kata, semua itu anda interpretasikan dengan fantasi anda sebagai moda utama untuk menerjemahkan bagaimana pasangan anda menginginkan diri anda untuk bersikap.

Penyesuaian Fantasi?

Maka yang terjadi selanjutnya adalah proses penyesuaian diri anda untuk bersikap sesuai dengan fantasi anda terhadap permintaan pasangan anda. Pemenuhan permintaan ini kemudian dapat pula disadari sebagai hal yang tidak murni, sebab apa yang kita penuhi adalah fantasi kita, bukan permintaan itu sendiri.

Apa yang kita berikan, karenanya, bukanlah apa yang benar-benar diinginkan pasangan kita.

Tentu, kita dapat melihat bagaimana permintaan itu tercukupi, dan kemudian pasangan kita mungkin terpuaskan, tapi ketercukupan tidak sama dengan keterpenuhan. Ada ruang-ruang ketidaksempurnaan yang mungkin tidak terisi dalam ketercukupan, dan sebagaimana yang kita sering dengar, ketidaksempurnaan ini hadir karena kita hanya manusia.

Namun, walaupun cinta yang kita jalani adalah sebuah kecacatan, hanya dari kecacatan itu pula kerisauan dan spontanitas dari cinta dapat kita rasakan. Cinta yang menggairahkan karenanya seringkali hadir dalam ketidaksempurnaan konstan yang, naasnya, senantiasa diupayakan dan kesempurnaan cinta yang terpenuhi justru seringkali berakhir pada kedataran yang dianggap menjemukan. Sebagaimana Bruce Fink ungkapkan: anda tidak dapat menginginkan kembali apa yang sudah anda miliki–dan karenanya cinta sarat ditandai dengan “lackness“, yang mungkin dapat kita anggap pula sebagai hal yang menjelaskan kenapa orang-orang seringkali bercerita bahwa mereka jatuh cinta justru terhadap yang tidak dapat mereka miliki (baik secara figuratif maupun harafiah).

Marilah kita tidak membatasi diri dalam membahas persoalan cinta ini sebagai hal di antara dua insan manusia tiga dimensi. Dalam dunia yang dipenuhi tanda (sign) dan penandaan (signification), kita dapat menemukan orang-orang yang larut sekaligus secara aktif bertindak dalam fenomena penandaan ini, yaitu otaku.

Tentu, hal yang akan penulis paparkan selanjutnya dapat dilekatkan kepada orang-orang yang secara umum bergerak di bidang animasi, namun penulis memilih untuk menggunakan otaku sebagai contoh semata untuk menyiratkan adanya fetisisme terhadap suatu produk kultural.

Manifestasi Penandaan

Para otaku secara signifikan berkarya dalam proses penandaan melalui penciptaan karya-karya baru, atau replikasi berbentuk parodi (doujin dan parodi AV termasuk di dalamnya) dan homage, atau proses brikolase—penciptaan dari berbagai macam hal—dari hal-hal lumrah yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari ke dalam sebuah karya yang digambarkan dalam istilah ‘anime-fikasi’ atau ‘moe-fikasi’.

Misal, dari foto black hole yang sungguh blur itu, ditambah fantasi para kreator, dapat menjadikan hal-hal luar biasa yang anda lihat kemarin. Atau bumi, bowser, sel darah merah, platelet…

Namun, kemampuan mereka (para otaku–red) untuk menciptakan karya yang merupakan manifestasi dari fantasi mereka seringkali menyebabkan mereka berujung larut di dalamnya, sama seperti Narcissus yang pada akhirnya tenggelam ke dasar danau. Narcissus hanya tenggelam sendirian, sementara karya yang terpublikasi juga ikut menenggelamkan para otaku yang tergolong “hanya penikmat” ke dalam fetisisme terhadap manifestasi dari fantasi para pembuat konten. Maka hadirlah: fenomena waifu dan husbando.

Fenomena kemunculan figur istri dan suami imajiner ini uniknya tidak dapat serta merta disamakan dengan percintaan yang hadir di antara dua insan manusia, walaupun secara struktur memiliki hal-hal yang kurang lebih sama: subjek, fantasi, kekosongan, dan objek.

Hal ini dikarenakan dari segi kenampakan, ada budaya gamblang yang mudah diidentifikasi: bahwa ketertarikan seseorang terhadap figur istri atau suami imajiner yang dicintainya (tersirat dari penggunaan istilah “waifu” dan “husbando“) tidak pernah disertai dengan keinginan gamblang untuk berkomitmen, dan karenanya, para otaku seringkali dengan mudah mendeklarasikan banyak karakter sekaligus sebagai “pasangannya”, atau dengan cepat berganti dari satu karakter ke karakter lainnya.

Di mana hal ini, yang terjadi di antara hubungan manusia dengan karakter animasi, masih tergolong tabu apabila terjadi dan diutarakan secara gamblang dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia.

Konsekuensi dari Fantasi Anda

Dalam dunia nyata anda tidak bisa ganti pasangan tiap season, menyenangi karakter-karakter Wataten akan melandaskan anda di penjara, dan mempunyai harem akan menyamakan anda dengan orang-orang yang berpoligami untuk tujuan lain-lain.

Selanjutnya, tentu kita akan bertanya, apakah keberanian untuk melintasi batasan tabu dalam struktur sosio-kultural ini menandakan bahwa para otaku terdiri atas orang-orang yang tidak beradab?

Kemungkinan akan hal tersebut tentu tetap ada, namun dengan menggunakan Lacan sebagai pisau analisis, penulis menawarkan kemungkinan lain: bahwa keberanian untuk melintasi batasan tabu ini hadir karena para otaku terlempar ke dalam jurang teritori kultural yang tidak pernah terjamah/tersadari hingga saat ini, karena fantasi, yang mereka canangkan dalam hubungan antara diri mereka dan figur animasi yang mereka “cintai”, untuk menjaga batin mereka tidak mampu mereka pertahankan.

Hal ini dikarenakan ucapan, yang merupakan manifestasi dari keinginan terdalam suatu individu, tidak pernah hadir dalam tokoh animasi: ucapan sang tokoh yang dicintai selalu merupakan ucapan orang lain, entah itu sang penulis maupun para aktor suara. Oleh karenanya, tatkala seorang otaku menyesuaikan dirinya demi memenuhi keinginan tokoh yang dicintainya, ia dihadapkan pada kenyataan pahit: yang ia laksanakan bukanlah keinginan sang tokoh sebagai “the significant other” melainkan keinginan orang lain di baliknya, dan karenanya, kebahagiaan tokoh animasi yang ia cintai tidak pernah ada.

Frustrasi akan ketidakmungkinan sang tokoh yang dicintai untuk bahagia, mendorong para otaku untuk mencari tokoh lain untuk dicintai. Pada akhirnya, cinta (love) berubah menjadi hasrat (desire) yang tak akan pernah terpuaskan. Maka waifu selalu diganti, doujin selalu cepat bermunculan, karakter tahun lalu menjadi membosankan dan perlu di-‘gambarkan-ulang’ kembali.

Sebagaimana kata Lacan, “What does it matter how many lovers you have if none of them gives you the universe?”

Namun demikian, sebagai penutup, Lacan sendiri berargumen bahwa tidaklah mungkin bagi seseorang untuk mengatakan apapun yang berarti dalam kaitannya tentang cinta, karena tepat di saat seseorang membicarakan cinta, seseorang jatuh dalam kedunguan. Yah, mau bagaimana lagi, seperti kata Ali dePraxis dari situs humor mojok.co: “Perihal cinta kita semua pemula. Perihal rindu kita semua pecandu.”

Ditulis oleh R. Achmad Yusuf dengan catatan dari Naufal Hanif.