Apa jadinya kalau kita hidup di sebuah dunia hanya dengan ditemani satu orang, kita tidak tahu bagaimana asal mula dunia ini, hanya ada peninggalan dari orang-orang setelah kita untuk kita tahu bagaimana sejarah dunia ini? Secara singkat, itulah logline dari salah satu anime musim gugur 2017 yang berjudul Shoujo Shuumatsu Ryokou (Girl’s Last Tour).

Saat artikel ini diturunkan, anime ini baru mencapai episode 11. Mengisahkan tentang Chito dan Yuuri; sepasang prajurit wanita yang kegiatannya hanya jalan-jalan di dunia yang nyaris tak berpenghuni. Perjalanan mereka dihiasi tapak tilas panjang untuk melihat sudah sejauh mana peradaban manusia berkembang—atau dalam kasus ini… sudah berhasil menghancurkan diri mereka sendiri.

Dalam beberapa titik perjalanan mereka, mereka bertemu dengan beberapa orang lain; seperti seorang pengembara yang punya tujuan hidup untuk menciptakan peta yang berisikan gambaran rinci tempat mereka hidup saat ini. Mereka juga bertemu dengan seorang insinyur yang ingin membuat satu unit pesawat berdasarkan cetak biru yang ditemukannya agar ia bisa meninggalkan kota di mana ia berada menuju kota di seberang lautan. Selain itu, Chito dan Yuuri juga bertemu dengan satu unit robot peternak satwa yang tugasnya melindungi seekor ikan terakhir dalam fasilitas yang ia jaga. Jadi… tidak hanya dari bangunan-bangunan tak berpenghuni peninggalan peradaban manusia yang Chito dan Yuuri temukan, tapi juga karakter-karakter yang sedikit demi sedikit memberikan mereka gambaran; seperti apa manusia sebelum mereka.

Seperti itulah garis besar cerita Shoujo Shuumatsu Ryokou. Namun di sini, saya bukan ingin mereview anime ini secara keseluruhan. Melainkan, saya ingin memberikan alasan kenapa saya pikir episode 11 dari anime ini—mungkin—adalah salah satu episode terbaik dalam secara per-anime-an.

Mengingat kita akan membahas bagian cerita yang berada di tengah siaran anime ini, saya harus memberi peringatan keras; akan ada beberan bagian cerita besar di mulai dari titik ini. Saya sarankan untuk menonton anime ini terlebih dahulu sebelum lanjut.

Masih baca? Sudah nonton, kan?

Yakin? Peringatan terakhir!

Oke. Mari kita LANCH!!

Di episode 11, Chito dan Yuuri kejatuhan satu unit robot penghancur—kejatuhan, kayak kena Colony Drop. Nah, tapi Chito dan Yuuri ga tahu kalau robot itu robot penghancur. Dibantu dengan Nuko yang mereka temukan di episode sebelumnya, Chito dan Yuuri bisa mengoperasikan robot penghancur tersebut. Yuuri yang pada dasarnya memiliki sifat penasaran iseng-iseng menekan-nekan tombol-tombol dalam robot tersebut. Tombol pertama yang Yuuri tekan membuat robot ini melepaskan rudal yang meledakkan satu bagian kota. Meskipun memang tidak ada siapa-siapa di kota ini, tetapi Chito tidak suka dengan perbuatan Yuuri. Tapi meski demikian, Yuuri masih iseng menekan tombol lain. Tombol ini melepaskan tembakan laser yang meluluh-lantakkan bagian kota yang lebih besar lagi—menciptakan lautan api yang membara.

Oke, sampai sini… mungkin kalian akan berkomentar. “Alaah, yang kayak begitu biasa di anime. Nafas Chakranya Naruto dalam mode Jinchuuriki hybrid aja jauh lebih dahsyat!” Dan memang iya.


Tapi… adegan semacam itu di anime lain jarang ada yang membahas sisi lain dari efek kehancuran semacam itu. Di Shoujo Shuumatsu Ryokou, ada pesan filosofis yang membuat adegan ini menggugah sisi kemanusiaan penontonnya.

Mari lanjutkan.


Setelah lautan api menjalar, Chito tampak takjub dengan seberapa menakutkan kekuatan penghancur robot ini. Namun di sisi lain, Yuuri justru tertawa puas bisa melihat seberapa dahsyat robot ini. Chito yang makin tidak suka dengan tingkah Yuuri akhirnya kalap. Chito pun memukul Yuuri hingga tersungkur.


Setelah jadi lebih tenang, Yuuri akhirnya meminta maaf atas perbuatannya.

Apa yang bisa kita lihat di sini?

Pertama-tama… kita rumuskan posisi Chito dan Yuuri. Chito adalah seorang pasifis. Sepanjang perjalanan, Chito seringkali menolak memakan binatang yang mereka temukan. Sementara Yuuri… lebih adalah persona yang dibawa instingnya; apa yang mau ia lakukan ia lakukan, yang penting senang.

Nah, di adegan di atas, Chito menunjukkan empati yang kuat; bukan hanya ia membayangkan bagaimana seandainya jika tembakan laser yang dilepaskan robot penghancur itu mengenai orang lain, namun ia juga sudah berulang kali menunjukkan kalau ia menaruh value yang besar pada jejak manusia lain sebagai satu spesies, misalnya pada buku. Itulah yang mendorong Chito memukul Yuuri.

Sekarang… kita bahas inti dari adegan ini.

Begitu Yuuri menerima pukulan Chito, Yuuri sempat terdiam beberapa saat. Menahan sakit? Mungkin. Tapi ia juga bergumam cukup lama. Ia berpikir. “Kenapa Chito semarah itu?” Chito juga menonton Yuuri saat ia berpikir; Chito ingin Yuuri berpikir dengan jernih di sini. Hingga akhirnya Yuuri meminta maaf atas perbuatannya.

Maaf dari Yuuri menandakan satu hal; ia sudah mengerti kenapa perbuatannya salah.

“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.” — John Emerich Edward Dalberg Acton (1887)

Pukulan dari Chito adalah sebuah skala perbandingan untuk menunjukkan seberapa besar kekuatan robot penghancur ini. Tinju Chito dirasakan telak oleh Yuuri yang berulang kali meraba-raba pipinya yang nyeri dipukul Chito. Yang pernah berkelahi, pasti tahu bagaimana rasanya kena pukulan. Seberapa sakit hasil pukulan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kerusakan yang dihasilkan tembakan laser yang ia lepaskan.

Adegan ini memanusiakan keduanya secara halus dan subliminal.

Bravo, Tsukumizu.

Setelah apa yang terjadi pada episode ini, saya mengharapkan momen-momen subliminal lain lagi. Pertanyaannya sekarang, kapan ada Nobel Peace Prize untuk anime?!