"Haha Sayu lonte"
- Wibu anonim, 2021

Serial Hige wo Soru. Soshite Joshikousei wo Hirou yang menceritakan kisah persahabatan antara lelaki patah hati dengan anak SMA yang kabur dari Hokkaido telah menjadi hype di kalangan wibu Indonesia.

Namun, yang menjadi fenomena bukanlah perkembangan cerita dari animenya, melainkan salah satu protagonis bernama Sayu Ogiwara. Hal yang disoroti juga bukan kemampuan pembuat Higehiro menampilkan karakter Sayu di cerita, melainkan latar belakang tokohnya sebagai perempuan yang bekerja sampingan sebagai “pelayan” lelaki hidung belang..

Ya, di dalam cerita, Sayu memang diceritakan sebagai JK (joshi kousei, gadis SMA) yang mencari uang dengan menjajakan tubuhnya kepada laki-laki hidung belang. Dalam awal cerita pun ia mencoba menawarkan dirinya kepada protagonis utama, Yoshida, untuk berhubungan seks.

Langsung saja wibu-wibu "menghakimi" Sayu dengan berbagai macam hinaan yang berkaitan dengan latar belakangnya sebagai pekerja seks komersial. Dari semua hinaan, ada satu kata yang paling sering keluar dari mulut wibu terhadap Sayu : "Lonte."

Dengan kata ajaib tersebut, Sayu ditempatkan sebagai manusia hina yang hidup untuk memuaskan penis laki-laki semata. Kata tersebut juga seakan menjadi justifikasi bagi sejumlah oknum wibu untuk melihat Sayu "pantas" untuk digagahi atau bahkan diperkosa. Jika diingatkan untuk bersikap tidak berlebihan, mereka akan berkilah, "ah hanya bercanda" atau "lonte kok dibela."

Padahal, di balik hinaan yang ada, perempuan-perempuan "lonte" juga manusia seperti kita. Mereka harus berjuang untuk mencari makan di tengah tekanan ekonomi, sosial, hingga kesehatan." Yang pasti, jika kita paham bagaimana "lonte" hidup, sebutan "lonte" pun tidaklah menjadi sehina apa yang selalu wibu pikirkan berulang kali.

Sayu dan Hidup yang Ia Hadapi

Seperti yang sudah disampaikan di dalam plot Higehiro, jalan hidup Sayu merupakan jalan yang tidak mudah.

Pada awalnya, pernyataan tersebut akan sangat mengherankan jika kita melihat latar belakang ekonominya sebagai anggota dari keluarga berada di Hokkaido. Kakaknya bahkan merupakan CEO di salah satu perusahaan makanan ternama di Jepang.

Namun, kondisi ekonomi yang berada tersebut tidak berarti apa-apa bagi tekanan psikologis yang Sayu alami. Teman terdekatnya di Hokkaido bunuh diri setelah menjadi korban perundungan terus-menerus. Bahkan, ia juga merasa "takut" kepada kakaknya yang menjadi CEO tersebut.

Apapun yang terjadi, hal tersebut turut menjadi faktor pendorong Sayu untuk kabur dari Hokkaido dan datang ke Tokyo. Setibanya di Tokyo, ia mengalami hal yang umum terjadi kepada kaum pengangguran sedunia: kehabisan uang untuk hidup dan tidak memiliki tempat tinggal.

Kondisi tersebut memaksanya untuk memanfaatkan satu-satunya aset yang ia punya: dirinya. Ya, ia tahu banyak lelaki bejat yang rela mengeluarkan uang dan materi lain kepada perempuan agar bisa melakukan silaturahmi kelamin atau bahkan injeksi mani. Dengan demikian, demi hidup di ibukota, Sayu pun harus merelakan dirinya dijamah oleh banyak penis lelaki hidung belang.

Hidupnya baru berubah ketika bertemu Yoshida, lelaki pertama yang tidak memiliki niat mesum terhadapnya. Seakan dongeng, hidup Sayu pun mulai berubah ke arah yang lebih baik setelah tinggal bersama Yoshida, meninggalkan ke-"lonte"-annya.

"Lonte": Sebuah Tragedi

Hidup yang dialami Sayu serupa dengan yang dialami oleh lonte-lonte di dunia. Namun, menjadi lonte bukanlah jalan hidup yang menyenangkan.

Adalah rahasia umum bahwa banyak perempuan terpaksa menjadi lonte karena paksaan ekonomi. Mancuso dan Postlethwaite (2020) memperlihatkan bahwa mayoritas penyebab perempuan menjadi pekerja seks komersial adalah karena faktor ekonomi, salah satunya demi memenuhi kebutuhan hidup. Di Jepang sendiri, keinginan untuk mendapatkan kesetaraan ekonomi di lingkungan sosial yang didominasi kuasa lelaki mendorong perempuan untuk menjadi pekerja seks komersial (Wakabayashi, 2003).

Setelah hidup dalam paksaan ekonomi, lonte pun juga harus menghadapi kesulitan lain: bahaya penyakit menular seksual (PMS) dan stigma masyarakat. Menurut Center for Disease Control and Prevention, risiko penyebaran HIV dan PMS lainnya sangat tinggi di antara pekerja dan pengguna seks komersial. Mereka juga harus hidup di bawah bayang-bayang label "prostitusi" atau "lonte" yang berkonotasi negatif serta hidup di bawah diskriminasi masyarakat akibat persepsi tertentu, seperti "tukang zina" atau "ingin uang cepat dengan mengandalkan fisik."

Mengapa mereka harus terjun ke dalam jurang tragedi tersebut? Tentu saja karena ada pengaruh dari kondisi yang ada. Ya, kondisi alamiah manusia untuk bertahan hidup yang dikombinasikan dengan kondisi masyarakat yang didominasi kebejatan laki-laki menyebabkan perempuan terpaksa menjadikan dirinya objek pemuas penis agar bisa hidup melalui "transaksi" dirinya dengan uang. Tidak adanya dukungan dari pihak luar pun menjadikan mereka tidak berdaya dan terus menggantungkan hidupnya pada model bisnis eksploitatif ini.

Mungkin mereka yang cukup religius akan bertanya, “mengapa para lonte tidak bekerja halal saja?” Sebenarnya, banyak pekerja seks komersial yang sadar bahwa pekerjaan yang dilakukannya itu tidak halal. Namun, paksaan untuk mencari uang demi bertahan hidup di tengah persaingan kerja “halal” yang ketat menyebabkan mereka—sekali lagi—untuk bekerja di sektor non-halal. Intinya, kondisi ekonomi yang keras “terpaksa” mendahului urusan moral.

Lonte adalah tragedi: ia harus hidup dengan menjadi "terhina" dan itu terpaksa dilakukan agar ia bisa tetap hidup di tengah dominasi kebejatan pria; Sayu beruntung karena ada pria yang menyelamatkannya dari tragedi.

Bagaimana Wibu (Masih) Salah Kaprah dan Menghinakan Perempuan

Pesan sudah jelas: Sayu dan banyak perempuan lain terpaksa hidup menjadi "lonte" karena tekanan kondisi ekonomi dan dominasi pria. Masalahnya: banyak wibu yang menonton Higehiro masih salah kaprah terhadap cerita dan Sayu bahkan menghinakannya.

Seperti yang sudah disampaikan di bagian awal, banyak wibu yang cenderung mempersalahkan Sayu karena statusnya sebagai lonte. Bagi mereka, kondisi pribadi Sayu yang mendukung per-lonte-an (ukuran payudara yang besar dan kemampuan merayu laki-laki) membuatnya "sukarela" untuk menjadi seorang pekerja seks komersial agar mendapatkan uang dengan mudah.

Tuduhan "sukarela" tak berdasar tersebut tentu memojokkan Sayu (dan banyak perempuan lain) yang terpaksa berjuang di jalan hina yang dibentuk oleh kuasa penis laki-laki. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Sayu benar-benar terpaksa menjadi lonte karena kondisi yang terdesak. Setelah bertemu dengan Yoshida pun, Sayu mulai berhenti sebagai lonte dan berusaha berubah menjadi seorang perempuan "baik-baik".

Di sisi lain, wibu-wibu tersebut juga cenderung memuji Yoshida yang menolak ajakan seks dari Sayu, seperti sebutan "chad". Saya pribadi setuju bahwa sikap Yoshida yang menolak ajakan dari orang asing patut diacungi jempol. Namun, kalau pujian tersebut tidak diikuti dengan perubahan perilaku, pujian tersebut akan sia-sia. Toh, wibu-wibu tersebut masih banyak yang berpendapat "Kalau diajak sih, nggak bakal nolak," berbeda dari pola pikir yang dimiliki Yoshida.

Yang terparah, sejumlah wibu bahkan sampai bercita-cita untuk "berhubungan seks dengan JK" setelah melihat Sayu. Perlu diketahui: JK merupakan anak SMA di bawah 18 tahun sehingga ia tetap digolongkan sebagai anak-anak dan berhubungan seks dengan anak-anak (meskipun suka sama suka) tetap dihitung sebagai pemerkosaan. Dilansir dari Anime Sweet, Penulis Higehiro bahkan sampai mewanti-wanti di akun Twitter-nya agar pembaca Higehiro itu tidak meniru tindakan yang ada di dalamnya.

Pada akhirnya, Sayu Ogiwara merupakan perwujudan tragedi bagaimana lonte hidup dan dilihat oleh orang lain. Ia terpaksa menjual tubuhnya demi bisa hidup di ibukota, menundukkan diri di bawah kebejatan lelaki, dan menerima dirinya sebagai manusia hina; Kisah Higehiro sendiri pun juga dihadirkan untuk memperlihatkan realitas hidup dan tragedi tersebut. Sayangnya, yang diperhatikan oleh sejumlah pembacanya adalah Sayu yang terus-terusan dianggap sebagai objek seks yang penuh hina dan cela.