Saya tidak percaya para otaku Indonesia yang memiliki sentimen anti-Tiongkok dan anti-Partai Komunis Tiongkok sepenuhnya memahami apa yang terjadi dan latar belakang dari kejadian-kejadian yang mereka komentari.
Pada umumnya, meskipun sentimen-sentimen ini menjengkelkan, tetapi cenderung tidak berbahaya. Sekumpulan meme edgy yang belagak 'membela kebebasan berpendapat' melawan 'rezim diktator Tiongkok' tentu saja tidak perlu diseriusi, meskipun kalau mau jujur lama-lama menyebalkan juga. Tapi, tentu saja, sebagaimana permasalahan seputar anime dan manga, masalah-masalah seperti ini memiliki dimensi yang riil, politis, dan sulit dimengerti. Sesuatu yang tidak ingin dipikirkan banyak orang yang hobi copypasta Tiananmen Square atau share meme Winnie the Pooh.
Contoh yang akan digunakan di artikel ini adalah kasus Kayano Ai dan Kuil Yasukuni, yang terjadi beberapa minggu yang lalu. Namun, pada umumnya, poin-poin yang diterangkan di sini dapat digunakan untuk membahas fenomena yang lebih luas.
Apa yang mau dibahas, jadinya, kalau sentimen-sentimen ini sekadar menyebalkan? Bahwa akhir-akhir ini sudah mulai muncul gejala-gejala sentimen ini tidak 'sekadar'. Dalam kasus perasaan anti-Cina ini, kita dapat melihat bahwa ketika dihadapkan dengan masalah yang lebih besar dari cuma urusan sepele di antara anime dan manga kesukaan mereka. Masalah ini, yang sama sekali tidak sepele, dilihat dari pola pikir yang dangkal dan serampangan.
Dengan kata lain: sejarah panjang imperialisme Jepang yang belum selesai sampai hari ini, hubungan bilateral Tiongkok-Jepang, serta politik domestik Jepang dilihat hanya sebagai 'Jepang yang kusuka' melawan 'Tiongkok yang tidak aku suka'. Dalam kasus Kayano Ai, hal ini berarti 'seiyuu kesukaan' melawan 'orang-orang yang tidak suka seiyuu itu'. Konflik puluhan tahun yang belum selesai sampai hari ini dan relasi politik yang kompleks disederhanakan menjadi sekadar fans dan haters.
Kita akan mencoba menelusuri pola pikir ini melalui lima tahap. Pertama, otaku Indonesia cenderung gagal memahami isu. Kedua, mereka gagal memahami kerangka yang lebih besar dari sekadar fans vs haters. Ketiga, mereka salah menempatkan masalah dari yang kompleks menjadi yang (terlalu) sederhana. Keempat, mereka dangkal dan memikirkan konflik secara biner (A vs B) alih-alih berbagai dimensi yang dimilikinya. Kelima, sebagai akibat, mereka cenderung reaksioner. Respon dulu, tuduh dulu, buat teori sendiri, benar atau tidak bisa jadi urusan belakangan.
Sepertinya kami perlu memberikan disclaimer dulu bahwa kami juga seringkali tidak suka perilaku berantakan banyak otaku yang kebetulan berasal dari Tiongkok, di mana kasus Haachama-Coco tempo hari adalah salah satunya. Namun, jika apa yang ada di benak Anda setelah membaca bagian pengantar di sana adalah bahwa kami 'membela' atau 'dibayar' atau 'simpatik' terhadap Tiongkok, artikel ini tepat untuk Anda: kami mengajak anda untuk tidak serampangan mengambil kesimpulan, tarik napas, dan coba untuk berpikir terlebih dahulu.
Di akhir, kami memberikan pilihan: berkomentar sesuai dengan kapasitas keilmuannya atau diam. Sebab, kami percaya, media sosial bukan tempat sampah untuk narasi-narasi buruk. Pendapat buruk soal alur cerita Horimiya atau VTuber masih bisa ditolerir, tapi narasi buruk yang menyangkut manusia di dunia nyata—jutaan di antara mereka, dengan segala rasa sakit yang dikandung di dalamnya—perlu ditangkal seperlunya.
Sejarah Kelam Penuh Dendam
Sebelum masuk ke pembahasan utama, alangkah baiknya kalau Anda melihat faktor yang sangat mendasari keberingasan warganet Tiongkok terhadap Jepang : sejarah mereka yang kelam karena ulah sang imperialis.
Semua berawal ketika Tiongkok di bawah Dinasti Qing harus menelan kekalahan yang memalukan dalam Perang Candu melawan Inggris pada 1842. Kekalahan tersebut memaksa Tiongkok harus membuka negaranya untuk dieksploitasi oleh orang-orang Eropa. Dengan itu, dimulailah masa penindasan Tiongkok oleh "orang asing" entah itu Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan lainnya.
Memasuki akhir abad ke-19, muncul satu negara yang ingin ikut menindas Tiongkok: Jepang. Ya, negara yang berkembang pesat pasca-Revolusi Meiji ini menginvasi Tiongkok dalam Perang Sino-Jepang I pada 1894-1895. Jepang kemudian mencaplok Shandong setelah Perang Dunia I dan memaksa Tiongkok menuruti "21 permintaan" yang sangat memberatkan sebelum dibatalkan akibat Gerakan 4 Mei yang dilakukan oleh mahasiswa Tiongkok.

Sekarang dekade 1930-an, Tiongkok makin kacau balau akibat perang sipil, dan politik Jepang mulai didominasi oleh kaum militer yang fasis dan doyan perang. Personel militer Tentara Kwantung Jepang, bertindak tanpa perintah dari markas pusat di Tokyo, merekayasa pengeboman rel kereta api di Manchuria untuk menjadi alasan kuat menginvasi wilayah di timur laut Tiongkok tersebut.
Selesai menginvasi, mereka menobatkan Puyi (Kaisar Qing terakhir) sebagai pemimpin boneka di Manchukuo, negara boneka Jepang di Manchuria. Apa yang Jepang lakukan di sana? Menyulap Manchuria menjadi sarang kriminal, kekacauan, dan produksi candu. Tidak lupa, Jepang juga mendirikan Unit 731 yang terkenal akan eksperimen manusianya yang sadis.
Apakah Jepang sudah cukup kenyang dengan semua kekacauan yang ia buat? Tidak. Jepang kembali menginvasi Tiongkok daratan pada tahun 1937 dalam Perang Sino-Jepang II. Kalau Anda paham sejarah, anda pasti sudah tahu kebengisan apa saja yang Jepang lakukan dalam perang ini.
Dua contoh bagi Anda yang belum paham: Pembantaian dan Pemerkosaan Nanking, ketika Jepang membantai hampir 300 ribu penduduk Nanking dan memerkosa ribuan wanita tanpa belas kasihan. Contoh lainnya lagi adalah Sankou Seisaku (Kebijakan tiga-semua): bakar semua, jarah semua, bunuh semua. Pada akhirnya, saya juga tak sampai hati harus menjelaskan semuanya.
Untunglah Jepang akhirnya berhenti menggila di Tiongkok setelah dua kotanya dicekoki nuklir dan tentaranya digilas Soviet di Manchuria. Tiongkok pun merdeka dan berubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok (RRT/PRC) pada 1949. Meskipun demikian, semua masalah belum berakhir : Jepang menolak untuk memohon maaf secara resmi atas kebengisan yang ia perbuat pada masa-masa biadab itu.
Sampai sini, bisa anda bayangkan betapa dendamnya masyarakat Tiongkok terhadap Jepang: tanah mereka dijajah, rumah mereka dibakar, ayah kakek mereka dibantai, ibu nenek mereka diperkosa, tetapi sang pelaku bahkan tidak mau setidaknya meminta maaf atas semua kekejian tersebut?
Yasukuni: Puncak Amarah Tiongkok terhadap Jepang
Saya asumsikan bahwa Anda yang langsung "melindungi" Ai Kayano ketika ia dicemooh karena kunjungannya ke Yasukuni pasti belum mengetahui informasi soal kuil tersebut secara detail dan mendalam.
Yasukuni-jinja adalah sebuah kuil yang didedikasikan kepada mereka yang mati berperang "untuk Kaisar Jepang". Kuil ini, seperti tujuannya, memang dibangun untuk menghormati korban peperangan yang dilalui Jepang sejak Restorasi Meiji, hampir serupa dengan TMP Kalibata yang dibangun untuk menghormati dan memakamkan veteran perang RI.
Posisinya sebagai kuil penghormatan martir yang relatif tenang mulai berubah pada 1970-an. Saat itu, pejabat setempat menyatakan bahwa perwira militer atau politisi yang didakwa sebagai Penjahat Perang Kelas A (kategori penjahat perang paling berat) oleh Tokyo Tribunal setelah Perang Dunia II dapat disucikan di Yasukuni.

Beberapa dari penjahat perang tersebut adalah:
- Hideki Tojo
Anda tentu sudah kenal sebagai Perdana Menteri Jepang ini. Sebagai perdana menteri, ialah orang yang membawa Jepang ke dalam Perang Dunia II. Selain itu, sebagai komandan tertinggi seluruh tentara Jepang, ia bertanggung jawab atas seluruh kekejaman tentaranya di Tiongkok dan bahkan Indonesia.
- Iwane Matsui
Komandan tertinggi Jepang terlibat dalam Pembantaian dan Pemerkosaan Nanking. Meskipun marah atas pembantaian yang terjadi, ia tidak berbuat banyak untuk mencegahnya sehingga turut bertanggung jawab atas kekejaman tersebut.
- Kenji Doihara
Jenderal yang menjadi figur intelijen terkemuka Jepang di Tiongkok, terutama Manchuria. Di bawah kendalinya, ia mengubah Manchuria menjadi sarang kriminal dengan dirinya menjadi bos gangster dan preman di sana. Daerah itu juga diubahnya menjadi tempat penanaman opium yang merusak kehidupan orang-orang di Tiongkok.
Tidak butuh waktu lama untuk menunggu negara korban penjajahan Jepang seperti Tiongkok bereaksi keras terhadap penyucian "para pendosa" ini. Sejak 1985, Tiongkok dan Korea rutin mengecam kunjungan Perdana Menteri Jepang ke Yasukuni.
Coba Anda rasakan bagaimana sakitnya masyarakat Tiongkok di titik ini: Â leluhurnya dibunuh, tanahnya dijajah, negara pelakunya tidak mau minta maaf, dan sekarang pelakunya malah dihormati dan disucikan layaknya seseorang yang tidak pernah berdosa?
Sebuah selingan: mereka yang dihormati di Yasukuni, kan pada hakikatnya adalah mereka yang "mati untuk Kaisar". Ironisnya, Kaisar Jepang tidak pernah mau datang lagi ke Yasukuni setelah Penjahat Perang Kelas A disucikan di kuil tersebut.
Gelap Mata (Banyak) Wibu Indonesia
Serangan terhadap warganet Tiongkok yang mengkritik kunjungan Ai Kayano ke Yasukuni membuktikan betapa gelap matanya (banyak) wibu di Indonesia begitu idolanya dihina. Kalian langsung menghardik Tiongkok secara membabi buta, dari sekadar mencela hingga mengganti nama "Tiongkok" dengan "Taiwan Barat", apapun alasannya.
Kami mengerti bahwa sentimen terhadap warganet Tiongkok masih sangat panas mengingat insiden "Taiwan"-nya Haachama beberapa bulan lalu. Namun, terdapat perbedaan yang sangat jelas dan dari alasan kemarahan warganet Tiongkok: insiden Haachama dilandasi masalah politis (Taiwan vs RRT), tetapi indisen Ai Kayano dilandasi nilai prinsip dan trauma akan pengalaman kekejaman Jepang yang sangat menyayat hati warga Tiongkok. Reaksi yang berlebihan dari kalian juga membuktikan bahwa kalian belum bisa memahami dimensi dari kejadian ini secara luas dan malah langsung menghubungkannya dengan Tiongkok yang komunis vs Jepang yang "penuh harapan".
Selain itu, Masalah yang harus diamati bukanlah reaksi pro kontra terhadap Ai Kayano. Yang harusnya diamati adalah mengapa seiyuu tersebut mengunjungi kuil tersebut. Apakah ada urgensi tertentu atau agenda ultranasionalisme yang menyebabkan ia mengunjungi kuil yang "menghinakan" leluhur Tiongkok itu? Memang bisa dianggap kurang kerjaan, tetapi itu jauh lebih baik daripada sekadar menyampah di sosial media.
Sifat-sifat yang ignoran tersebut membuat kami tidak heran kalau kalian gampang sekali membuat postingan-postingan "West Taiwan"/"Winnie The Pooh" tanpa tahu konteks luasnya. Kami yakin begitu ada yang menegur kalian, kalian pasti akan berkilah, "ah itu hanya bercanda saja". Namun agak kurang meyakinkan jika kita menganggap bahwa sentimen-sentimen ini semuanya bersifat ironis dan tidak dianggap sebagai kebenaran dalam tingkat tertentu. Tidak ada survei ekstensif tentang sikap otaku Indonesia terhadap Tiongkok atau orang beretnis Tionghua, tetapi ini bukan berarti tulisan seperti ini tidak dibutuhkan: hanya butuh seorang Robert Aaron Long untuk membunuh delapan orang di Atlanta, semuanya warga Amerika keturunan Asia Timur atau Tenggara, misalnya.
Tentu saja kami tidak menyatakan bahwa mereka yang tertawa dan menyebarluaskan meme seputar Xi Jinping ikut berpengaruh terhadap, misalnya, kekerasan kebencian terhadap etnis Tionghoa. Apa yang kami lakukan—menggunakan kasus Kuil Yasukuni sebagai ilustrasi kuat—berakar dari pemahaman dasar bahwa meme, sebagaimana artifak popkultur daring lainnya, seringkali mencerminkan ideologi dan nilai-nilai yang dimiliki kelompok masyarakat tertentu, dan sebagai konsekuensi logis, kebencian otaku terhadap penduduk Tiongkok (bukan negara atau Partai Komunis Tiongkok) yang didasari oleh kesukaannya pada elemen-elemen popkultur Jepang adalah sesuatu yang paling tidak membutuhkan peringatan terus menerus.
Singkatnya, tujuan artikel ini adalah untuk mengajukan pertanyaan bagi anda: seberapa jauh anda bercanda? Seberapa jauh Anda mempercayai narasi daring yang anda lihat tentang hubungan Tiongkok-Jepang? Dan dari apa yang Anda percaya, sejauh mana Anda mendasarinya pada pemahaman yang memadai tentang relasi kedua negara tersebut?
Referensi:
- Bix, Herbert. Hirohito and the Making of Modern Japan. New York: Perennial, 2001.
- Duus, Peter, dan John Whitney Hall. The Cambridge History of Japan: The Twentieth Century. Cambridge: Cambridge University Press, 1989.
- Levene, Mark and Penny Roberts. The Massacre in History. Oxford: Berghahn Books, 1999.
- Luo, Zhitian. "National Humiliation and National Assertion: The Chinese Response to the Twenty-One Demands." Modern Asian Studies 27, No. 2 (May 1993): 297-319.
- Sieg, Linda. "Japan's Yasukuni shrine a symbol of haunting wartime legacy." Reuters. Diakses 23 Maret 2021. reuters.com/article/uk-ww2-anniversary-yasukuni-explainer-idUKKCN25003Z.
- "Japan PM Shinzo Abe marks war criminal ceremony." BBC. Diakses 23 Maret 2021. https://www.bbc.com/news/world-asia-28948501.