Akhir-akhir ini, Anda akan sering melihat sekumpulan wibu yang mulai mendengar musik K-Pop. Mengapa? Karena perlahan musik K-Pop (dari grup BLACKPINK, TWICE, ataupun idol gim LOL K/DA POP/STARS misalnya), kini mulai diterima penggemar jejepangan.

Mungkin Anda bertanya-tanya, bukannya selama wibu anti banget dengan hal-hal berbau Korea? Bukankah selama ini wibu menghina K-Pop dengan sebutan “plastik”? Bagaimana cerita K-Pop sukses menaklukkan selera kelompok yang niche ini? Atau secara garis besarnya, kenapa K-Pop mulai terlihat jauh lebih ramai peminatnya dibanding tetangganya, J-Pop?

J-Pop vs K-Pop,  Branding yang Membangun Kultur

Sebelum Anda membuat sebuah karya, tentu Anda harus menentukan terlebih dahulu bagaimana khalayak ramai mempersepsikan karya Anda, dan apa yang membedakan karya Anda dengan karya sejenis. Naruto adalah ninja. One Piece bercerita tentang bajak laut. Bang Dream adalah band rasa idol. Persepsi ini dapat dibentuk dari alur cerita, desain karakter, logo, musik, dan hal lainnya. Inilah yang kita sebut sebagai brand.

Konsep branding ini berlaku di segala lini bisnis, tak terkecuali industri musik. Baik J-Pop maupun K-Pop telah membangun brandnya masing-masing. Keduanya sama-sama mempunyai basis penggemar yang loyal, baik lokal maupun mancanegara. Perbedaan di antara keduanya baru terasa saat membandingkan konsep dan cara penyampaian pesan dari kedua jenis lagu ini.

Singkat cerita, J-Pop sulit digemari karena cara pembawaannya yang (umumnya) ekslusif. Anda harus mengerti konteks ceritanya terlebih dahulu sebelum Anda menggemari dan menyelami lagu-lagu J-Pop lainnya. Lain halnya dengan K-Pop, Anda bisa saja kepincut hanya dengan mendengarkan lagunya, tanpa perlu menyelami konteks lainnya.

Ditinjau dari sisi girlband, K-Pop membawakan lagunya dengan lebih dewasa dan cool, di mana J-Pop umumnya berkutat dengan elemen cute. Hal inilah yang juga membuat K-Pop lebih mudah diterima dalam pergaulan remaja, karena dapat membuat Anda lebih “dewasa” dan gaul di hadapan orang lain. Pergaulan memang kejam, tapi begitulah efek branding.

K-Pop, Engage, dan Inovasi

Situs belanja daring Shopee pun turut memboyong BLACKPINK ke Indonesia.

Mendengar kata engage, mungkin Anda langsung terpikirkan akan sebuah platform komik lokal. Meskipun terdengar seperti guyon, praktik engage ini amat diperlukan dalam membangun brand dan basis penggemar yang kuat, tidak terkecuali industri musik K-Pop.

Sedari awal, industri pop kultur Korea memang ditujukan untuk besar dan berpengaruh. Mereka memperhatikan minat pasar dan beradaptasi dengan zaman. K-Pop memang tidak pernah lepas dari inovasi, gaya musik baru, formasi anggota baru, koreografi baru, dan bahkan elemen visual baru. Agensi K-Pop tidak ragu untuk mengadakan konser, bekerjasama dengan brand lokal maupun mancanegara, sampai mempublikasikan MV lengkapnya secara gratis, apapun dilakukan agar penggemar baru terus menerus berdatangan.

Kerja keras rakyat Korea tidak sia-sia. Kultur pop Jepang yang dulu populer di Barat, kini mulai tergerus dengan kehadiran K-Pop. Hal ini dibuktikan melalui grafik pencarian Google di bawah.

Grafik pencarian Google, K-Pop vs J-Pop

Jepang Saja Cukup

Jika K-Pop semakin hari semakin “internasional”, J-Pop justru sebaliknya. Produk industri kreatif Jepang sedari dulu hanya ditujukan untuk pasar dalam negeri. Jika ada penggemar dari luar negeri, mereka hanya menganggap itu sebagai bonus. Hal serupa turut menjangkiti industri J-Pop.

Musik J-Pop, sama halnya dengan manga dan anime, memang punya potensi. Penggemar J-Pop juga datang dari luar negeri, dan seharusnya hal ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Sayangnya, sejumlah agensi malah tutup mata akan potensi ini. Mereka menganggap pasar domestik sudah cukup menghidupi industri.

Di Jepang, CD masih menjadi media utama distribusi lagu.

Satu hal yang dikeluhkan penggemar J-Pop dari luar negeri adalah sulitnya mendapatkan lagu dan merchandise J-Pop secara legal. Album J-Pop hanya tersedia dalam bentuk CD, di saat masyarakat dunia sudah beralih ke layanan musik daring YouTube dan Spotify. MV lagu J-Pop di YouTube terkadang tidak utuh. Tidak jarang album CD hanya tersedia di Jepang saja. Keberadaan lagu Jepang di Spotify masih kalah jumlah dibanding tetangga sebelah. Tidak sampai di situ, Jepang juga sangat protektif dengan karyanya. Tidak jarang lagu J-Pop gubahan (cover) penggemar ditarik dari peredaran daring, membuat distribusi menjadi semakin terbatas dan penggemar J-Pop terpaksa mengunduh lagu secara ilegal.

Selain masalah distribusi, penggemar J-Pop merasa jenuh akan lagu yang “gitu-gitu aja”. Kejenuhan ini juga merupakan efek dari J-Pop yang hanya peduli akan pasar Jepang saja, dan cenderung mengabaikan penggemar potensial di luar sana.

J-Pop Mulai Mengejar, K-Pop Mencari Celah

Meskipun K-Pop telah menguasai lini musik Asia, bukan berarti Jepang sama sekali tidak bertaji. Sejumlah produsen telah menyadari kendala distribusi yang menghambat penyebaran musik J-Pop, sehingga mereka turut menyediakan lagu-lagunya di situs streaming Spotify.

Anggota JKT48 generasi pertama. Pada awal kemunculannya, JKT48 membawa angin segar di dunia musik Indonesia.

Bagi artis J-Pop yang mempunyai basis penggemar besar, mengadakan konser di luar negeri adalah salah satu cara untuk engage dengan penggemar. Beberapa bertindak lebih jauh dengan “membuka cabang” idol mereka di negara lain. Contoh paling jelasnya adalah AKB48, grup idol Jepang yang berekspansi ke luar negeri melalui sister group-nya. Salah satunya adalah JKT48, yang meraih kesuksesan di awal kemunculannya. JKT48 menjadi alternatif di tengah-tengah belantara musik Indonesia yang didominasi pop Melayu dan girlband-boyband ala Korea. Lagi-lagi minimnya inovasi yang dilakukan JKT48 dan kurang tanggap akan minat pasar, membuat ketenaran mereka yang hanya sementara, perlahan tergerus pasar.

Celah pasar inilah yang  dimanfaatkan girlband Korea seperti TWICE dan BLACKPINK untuk menarik golongan wibu dan wota. Kesegaran cewek-cewek cantik, lagu yang catchy, dan koreografi aduhai, beberapa sensasi yang ditawarkan girlband K-Pop ini kurang lebih sama dengan idola J-Pop favorit mereka. K/DA POP/STARS menumpang gim “League of Legends” yang juga dimainkan oleh kalangan wibu, lengkap sudah. Golongan wibu yang dahulu membenci K-Pop, perlahan mulai menyukai.

Tren musik mudah berubah, dan baik J-Pop, K-Pop, maupun aliran musik lainnya harus bisa menyesuaikan diri sembari mempertahankan identitasnya. Apakah J-Pop sanggup melebarkan pengaruhnya? Atau malah K-Pop yang makin tersebar? Biarlah pasar yang menjawab.

Tulisan ini adalah opini pribadi dari penulis, tidak mencerminkan pandangan umum Risa Media. Penulisan oleh Excel Coananda.