Saya tak kenal Anda dan Anda tak kenal saya.
Masalah ini tidak dapat serta-merta diselesaikan: mungkin Anda tak ingin kenal saya dan saya pun tak ingin kenal Anda. Tetapi dalam skala yang lebih besar, tidak ada dari kita yang benar-benar kenal satu sama lain di ruang maya ini, tempat kita saling melarikan diri dari kehidupan masing-masing untuk menyertakan diri dalam hiburan-hiburan menyenangkan berupa anime, manga, VTuber, mobage, dan lain sebagainya. Akibatnya, kita menghadapi satu sama lain dengan benar-benar buta, dengan konsekuensi bahwa perilaku antar orang-orang di komunitas yang semakin membesar ini tak selalu menyenangkan.
Dengan kata lain, kita seringkali tidak memperlakukan orang-orang di dunia maya seperti kita memperlakukan orang-orang di dunia nyata. Kita bisa bertindak lebih semaunya, lebih serampangan, dan lebih tanpa tanggungjawab atas nama bersenang-senang di platform ini, utamanya karena dua hal: anonimitas dan jarak fisik yang begitu jauh.
Dibekali dengan anonimitas, kita bisa memasang profil dari karakter kesukaan kita, bermain sebagai karakter dengan perbedaan identitas—gender, fisik, perilaku, dan hubungan dengan karakter lain—yang drastis dari diri asli kita, dan bermain-peran dengan sementara memakai kostum tertentu—dalam arti harfiah (cosplay) maupun secara perilaku (roleplay).
Dilengkapi oleh jarak fisik yang begitu jauh, kita tidak perlu merepotkan banyaknya perbedaan yang mungkin terjadi. Jarak antara seorang penggemar Usada Pekora di Tokyo dan Jakarta menjadi nol, sama halnya jarak pemain Genshin Impact di Taiwan dan Yogyakarta juga menjadi tidak signifikan. Dengan hilangnya jarak—sekaligus jarak fisik yang begitu jauh—cakrawala-cakrawala baru hubungan dan komunikasi antarmanusia terbuka luas, dengan banyak hasil yang begitu mengagumkan sekaligus mengerikan.
Mari kita sudahi kata pembuka yang bertele-tele ini dengan langsung menyebutkan hal-hal yang melatarbelakangi artikel ini: kekerasan, kekacauan, serangan daring serta hal-hal yang tidak menyenangkan lainnya.
Banyak hal yang kita sesali tapi tidak pernah kita berusaha selesaikan secara sistematis, seperti mengapa bunuh diri menjadi pilihan banyak aktor muda Jepang, mangaka populer yang diancam jika alur cerita tidak sesuai dengan apa yang diinginkan penggemar, dan bagaimana dua VTuber bisa berlarut-larut berada di bawah tekanan massa otaku dari salah satu negara terbesar di dunia, misalnya.
Daftar perilaku brengsek ini tentu tidak berhenti di sini: mengirim 'hadiah' tidak senonoh, menguntit, serta mengancam idol dalam urusan privatnya, doxxing seorang idol virtual dengan dalih 'sekadar mengikuti jejak', mencaci-maki dan merendahkan seorang panelis yang membawa isu-isu sosial di salah satu acara popkultur Jepang paling besar di Indonesia, merundungi langsung rumah seseorang dengan kebutuhan khusus karena berkata bodoh di media massa, merendahkan badan cosplayer secara gampang dan konsisten, menyuruh penyanyi idol junior untuk bunuh diri akibat dianggap keliru nada ketika membuat cover lagu—dan masih banyak lainnya, adalah daftar pendek dari masalah di kalangan penggemar popkultur Jepang yang memanggil pertanyaan penting untuk dibahas secara serius oleh kita semua.
Mari menelusuri bersama pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah secara cukup terjawab tentang perilaku-perilaku ini: pertama, mengapa kita bisa jadi begitu brengsek bagi satu sama lain di ruang daring? Kedua, bagaimana cara menyelesaikannya? Kita belum bisa menjawab pertanyaan kedua, dengan alasan yang sama kita mendapatkan jawaban pertanyaan pertama: bahwa kita berada dalam ruang digital ini untuk bersenang-senang dan melarikan diri, bukan untuk menyusun suatu komunitas sosial yang bernas dan teratur dengan segala larangan-larangannya.
Mengapa?
Anda mungkin familiar dengan beberapa kasus yang dijadikan contoh di atas. Tidak semuanya adalah kejadian sekali-waktu. Banyak di antaranya adalah fenomena yang masih terus berlanjut sampai sekarang, dan semuanya hanyalah gejala dari masalah yang lebih besar. Mari kita mulai menjawab pertanyaan ini dengan mengkaji ulang jawaban-jawaban yang sudah ditawarkan sebelumnya, banyak diantaranya bersifat dangkal, tidak lengkap, atau malah keliru.
Mempertanyakan Jawaban yang Sudah Ada
Pertama, urusan tanggungjawab korban untuk menjaga diri dan tidak memancing. Jawaban ini muncul berulang-ulang: kasus-kasus di atas terjadi karena korban mengabaikan kewajibannya untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan tidak adanya perilaku tidak mengenakkan yang terjadi pada dirinya.
Tidak hanya jawaban ini dangkal sebab ia menempatkan posisi pelaku pada korban (Seberapa benarpun, secara kategoris ia bermasalah, membalik-balikkan posisi pelaku/korban), ia tidak lengkap karena ia hampir selalu tidak menawarkan solusi yang bermanfaat (Cosplayer, agensi idol, VTuber, dan ilustrator selalu bekerja keras untuk memastikan hal-hal di atas tidak terjadi). Sebagai pelengkap, ia juga didasari oleh anggapan yang dapat dipertanyakan, bahwa memperbaiki perilaku korban berbanding lurus dengan menurunnya sikap-siap agresif daring dari pelaku.
Kedua, dan berkaitan dengan alasan pertama, penggemar dianggap serupa orang-orang tanpa satuan nilai, moral, dan etika yang sudah 'begitu dari sananya' yang kalaupun bisa diatur, 'akan sangat sulit'. Pernyataan ini lebih sering tidak mengarah ke 'maka kita harus bekerja keras untuk mengubahnya', tetapi pada 'maka kita tidak bisa berbuat apa-apa'.
Skornya juga tiga dari tiga untuk jawaban ini: ia dangkal karena menghentikan pembahasan dan menyerahkan diri pada takdir (maka untuk apa kita punya perangkat norma-norma dan institusi sosial?), ia tidak selesai karena tidak pernah berusaha menyelesaikan masalah, hanya menghindar (bahwa 'fakta' sifat asli manusia yang jahat tidak perlu diulang-ulang kalau tidak menghasilkan solusi), dan keliru karena kita, faktanya, bukan cuma sekumpulan monyet tanpa satuan nilai dan moral. Banyak dari kita yang memilih secara aktif untuk tidak menjadi brengsek di dunia daring dan untuk tidak mengganggu maupun membuat tidak nyaman orang lain, dengan tingkat kesuksesan yang beragam.
Ketiga, berkaitan dengan dua hal di atas, seringkali unsur resiko pekerjaan dimunculkan sebagai jawaban, dalam ungkapan-ungkapan seperti 'penggemar yang marah adalah resiko pekerjaan idol' atau 'backlash terhadap komik strip adalah resiko pekerjaan illustrator' atau 'pelecehan seksual adalah resiko menjadi cosplayer'. Di luar apa yang telah disebutkan di atas mengenai kengawuran jawaban ini, dapat ditambahkan bahwa ia entah kenapa melupakan bahwa ketika manusia menghadapi resiko, yang biasanya secara kolektif kita lakukan adalah menyusun mekanisme untuk menghilangkan, mengurangi, atau meminimalisir dampak resiko tersebut.
Resiko pekerjaan seorang politisi adalah dirundung oleh pihak-pihak yang tidak senang, maka kita membuat mekanisme pengamanan pejabat. Resiko pekerjaan seorang buruh bangunan adalah kecelakaan di kawasan konstruksi, maka kita menyusun alat pengaman untuk selalu digunakan saat bekerja. Tidak masuk akal rasanya jika kita menyerah dan membiarkan 'resiko pekerjaan' di atas terus-terusan dan mungkin semakin parah terjadi.
Keempat, seringkali kita menempatkan diri bukan sebagai calon pelaku tetapi sebagai wibu baik-baik, rapi dan tidak brengsek. Oleh karena itu, kita menanggapi isu aktor bunuh diri dan pembuat komik strip dirundung dengan mengisolasikan permasalahan ke individu pelaku. Kita menganggap pelaku bisa jadi sinting atau terobsesi kepada sesuatu yang tidak kita pegang. Setiap kejadian dianggap pengecualian, bukan bagian dari masalah yang lebih besar. Sayangnya, sedikit atau tidak ada hal yang membedakan kita dari pelaku pelecehan daring, pengirim ancaman bunuh diri, atau perundung di media sosial. Oleh karena itu, jawaban ini juga tidak lengkap, dan juga bisa jadi keliru.
Ketika Jean Paul-Sartre menyatakan bahwa ada hal-hal yang 'berbeda' dari pelaku antisemitisme (kaum rasis anti-Yahudi), bahwa mereka adalah sekumpulan freak yang tidak bisa dan tidak mau mendengerkan orang lain, kritik yang sering disampaikan adalah bahwa dengan mengisolasi masalah sosial menjadi masalah individu, ia tidak cukup untuk memberikan solusi sekaligus menjelaskan masalah—tentunya jika banyak sekali orang Prancis saat itu benci Yahudi, ia tidak bisa selesai dengan mengatakan bahwa mereka bukan orang Prancis yang baik. Hal yang sama bisa dikatakan kepada para pelaku stalking, doxxing, dan sekuhara (pelecehan seksual)
Kelima, kita senang sekali mengeluarkan pernyataan-pernyataan mencerahkan seperti 'beraninya di dunia maya, bukan dunia nyata' atau 'paling di dunia nyatanya seorang pengecut, lemah' dengan kesimpulan 'kita semua memasang topeng di dunia maya'. Pernyataan-pernyataan ini benar, tapi dangkal dan tidak selesai. Kita semua memasang topeng untuk menyembunyikan hal-hal dunia nyata kita, tapi mengapa banyak orang tetap memilih untuk tidak menjadi brengsek? Lalu, kalau kita semua bermuka-dua, apakah itu berarti hal-hal di atas dibenarkan? Kalau tidak, bagaimana cara kita menyelesaikannya? Jawaban ini berhenti di pencerahan diri dan tidak cukup untuk secara menyeluruh menjawab pertanyaan mengapa otaku di sekitar kita bisa jadi begitu jahat untuk satu sama lain.
Meskipun begitu, jawaban terakhir ini memiliki perbedaan dari jawaban-jawaban sebelumnya: ia pada dasarnya benar dan dapat mengarahkan kita ke jawaban yang penuh, tapi memang harus dilanjutkan dengan analisis yang lebih mendalam. Di dalam literatur mengenai komunikasi daring dan etikanya, suatu konsep yang sering muncul adalah 'anonimitas' dan konsep 'wajah', regulasi daring, dan perbedaan antara 'diri' di dunia nyata dan 'diri' di dunia maya, berikut konsekuensinya.
Anonimitas, Wajah, dan Avatar Anime
Anonimitas sering dituduh menjadi biang agresi daring. Di bagian bawah, akan dijelaskan mengapa tuduhan ini tidak sepenuhnya benar, tapi di bagian ini hal-hal yang berkaitan dengan wibu Indonesia akan dibahas secara spesifik: avatar anime, nama-nama chuuni, dan pada umumnya usaha untuk menyembunyikan identitas.
Tentu sebenarnya mempunyai ava anime dan nama chuuni tidak masalah. Setiap warga negara memiliki hak untuk menjadi cringe dan berpotensi dijauhi orang lain. Masalah muncul ketika 'ava anime' ini membentuk identitas yang terpisah dari orang asli di balik layar.
Ini bukan cuma urusan 'orang di dunia maya dan nyata berbeda'. Mari kita memberi contoh: seseorang bernama Firman Yudha, berumur cukup muda, laki-laki, dengan fisik yang biasa saja, dan dengan pendapat dan pikiran yang sebenarnya lempeng-lempeng saja. Di Facebook, dia bertransformasi menjadi Firman Houtarou, lengkap dengan ava Oreki, dan dikenal sebagai pemberi hot takes (yang seringkali keliru), pendebat online, dan pada umumnya orang yang toxic.
Mereka yang menuduh anonimitas sebagai biang dari masalah akan menunjuk masalah di perbedaan ini: Yudha bukan Oreki, dan apa yang ia tampilkan di layar kaca berbeda dengan bagaimana ia secara normal berperilaku dalam masyarakat. Di dunia nyata, Oreki tentu saja tidak punya keinginan, kekuatan, maupun keberanian untuk menegur orang yang membuang sampah sembarangan sekalipun. Tetapi di dunia maya, dia mampu menjadi front penjaga moral cosplayer dan Vtuber agar menjadi 'beradab'. Orang yang tidak punya kekuatan di dunia nyata ini berubah menjadi kekuatan liar di Facebook, secara rutin membongkar aib seseorang—sesekali berupa revenge porn, doxxing, dan rutin menyuruh pengikutnya melakukan witchhunting.
Ia menyalahgunakan sedikit kekuasaan yang ia punya. Di titik tertentu, tentu saja, apa yang ia lakukan untuk bersenang-senang online punya konsekuensi offline. Mari kita contohkan bahwa manajer cosplayer yang ia sebar aibnya komplain dan mendatangi langsung rumahnya. Orangtuanya menerima tamu tersebut, dan terkejut bukan main: kenapa anak saya brengsek sekali di dunia maya?
Jawabannya sederhana, menurut pendapat ini. Anak Anda tidak akan mampu membuka aib orang secara langsung di dunia nyata. Di dunia maya, ia menyulap diri menjadi orang yang berbeda, dengan wajah yang berbeda, dan sikap yang berbeda. Ia tidak menerima konsekuensi langsung dari apa yang ia lakukan. Ia tidak melihat korban secara langsung, dan korban tidak dapat secara langsung melihatnya.
Terdengar sederhana, mudah dipahami, dan cukup akurat. Tetapi ada satu masalah besar di penjelasan ini: bahwa anonimitas adalah biang masalah yang harus dihapuskan. Tetapi, untuk mengutip kata pembuka, ketika kita sama-sama tidak dan tidak bisa mengenali satu sama lain, untuk apa merapuhkan diri di antara orang-orang dengan identitas yang kabur?
Saya—dan banyak dari kita—menyembunyikan identitas kita di ruang daring. Selain tidak perlu, hobi wibu Indonesia untuk membongkar identitas orang tanpa rasa bersalah membuat sikap umbar-umbar diri tidak terlihat hebat, tetapi terlihat tidak tahu tempat. Secara sistem, ini juga berarti setiap usaha big tech seperti Facebook dan Twitter untuk mengetes identitas penggunanya juga tidak bermanfaat—dan berbahaya!
Anonimitas tetap perlu dipertahankan. Ia merupakan salah satu tradisi sosial yang luhur dan termasyhur, menyelundupi identitas di dunia yang selalu mengidentifikasi apapun dari 'siapa' seseorang, bukan 'apa' yang ia kerjakan. Kierkegaard hampir tidak pernah memberi nama aslinya pada setiap buku yang ia tulis, berulang-ulang menekankan bahwa ia tidak mau dikenal sebagai Kierkegaard, ia hanya ingin karya-karyanya dikenal tanpa diasosiasikan dengan penulisnya, 'Kierkegaard'. Menjadi anonim adalah sebuah kekuatan, dan setiap kekuatan memang rawan disalahgunakan—bukan berarti perlu dihilangkan.
Lalu, jawaban apa yang mampu kita dapatkan, jauh melampaui penolakan terhadap anonimitas? Jawabannya ada di posisi diri kita di antara orang lain: apakah kita melihat VTuber, cosplayer, dan wibu lain sebagai hanyalah sekumpulan identitas yang kita bayangkan, inferior dibandingkan diri kita sendiri?
Identitas Korban dan Emmanuel Levinas
Ketika anda sedang menonton Kiryu Coco, melihat Clarissa Punipun, atau mendengarkan Love Live, apakah Anda menyadari bahwa Anda sedang berada di hadapan manusia-manusia?
Sebab akar dari permasalahan yang dibahas di artikel ini adalah: kenyataannya tidak. Kita melihat mereka setengah-setengah, sebatas dari kategori yang kita gunakan untuk mengidentifikasi mereka. Sebagai contoh yang paling populer, ketika fans VTuber dari Tiongkok daratan melakukan apapun yang mereka bisa untuk melecehkan dan mengganggu Coco sebisa mungkin, mereka tidak sedang melihatnya sebagai manusia, tetapi sebagai 'penghina Tiongkok'.
Fans Indonesia mengutuk tindakan ini, tapi pada nyatanya kita juga tidak lebih baik dari mereka dalam melihat orang lain. Punipun perlu repot-repot membuat rekaman perilaku buruk fansnya yang hanya melihat dirinya sebagai objek seksual di hall of shame yang tertera di laman pribadinya, dan jika Anda sekali-kali pernah mengunjungi kolom komentar cosplayer Indonesia, tentu saya tidak perlu membuktikan ulang bahwa banyak cosplayer yang dilihat sekadar sebagai objek pemuas bagi fansnya saja.
Kita dibuat semakin repot karena masing-masing dari kita tidak berhadapan langsung dengan orang-orang yang kita lecehkan dan kata-katai. Fans Tiongkok tidak langsung mengkonfrontasi Coco di kehidupan nyata. Pelaku pelecehan tidak langsung berhadapan dengan Punipun. Para petinju pelaku doxxing tidak langsung berhadapan dengan Moona Hoshinova VTuber yang mereka bongkar identitasnya. Akibatnya, kita kelihangan rasa tanggung jawab moral dari apa yang kita lakukan. Kita tidak (mau) tahu bahwa di balik objek perilaku buruk kita adalah manusia juga, sama seperti kita, dan mereka rapuh di hadapan kita sebagaimana kita rapuh di hadapan mereka.
Kita memahami fenomena ini dengan frasa 'beraninya di sosmed, kalau mau langsung ketemu di dunia nyata'. Pernyataan ini punya konsekuensi yang tidak main-main. Ini bukan sekadar persoalan bahwa orang akan jadi cupu kalau dipertemukan langsung dengan orang yang ia hina di dunia nyata. Lebih dari itu: kita semua memang akan menahan diri jika dipertemukan dengan wajah orang lain. Kita akan lebih sulit menggoblok-gobloki dan melecehkan orang.
Wajah. Ada apa dengan wajah? Emmanuel Levinas mengatakan bahwa ketika kita melihat wajah orang lain, kita sedang disuruh—wajah itu memohon kita agar melihatnya sebagai bagian dari hidup kita. Kehadiran (presence) orang lain selalu mengganggu kita.
Ketika seseorang sedang menonton anime di kamar dan tiba-tiba ada orang masuk ke kamar, ia perlu mengambil keputusan. Ia tidak lagi sendiri: ada orang lain yang tiba-tiba berada di dalam hidupnya, dan memilih untuk mengabaikan orang tersebut juga termasuk pilihan. Kalau ternyata orang itu ingin meminjam kabel HDMI atau menyuruh Anda untuk siap-siap berangkat kuliah, maka Anda sadar bahwa tiba-tiba anda punya kewajiban: meminjamkan kabel atau siap-siap berangkat.
Intinya: wajah orang lain memberitahu orang yang keasyikan menonton anime tersebut bahwa ia tidak sendiri. Ada orang lain yang membutuhkan perhatiannya, sebagaimana ia juga membutuhkan perhatian orang lain. Kalaupun ia memutuskan untuk mengabaikan orang tadi, setidaknya Anda paham bahwa ada perbedaan antara meminjamkan kabel (yang dibalas dengan terima kasih), mengatakan 'tidak punya' (jawaban yang dapat diterima), pura pura tidak dengar (barangkali ia akan dianggap orang aneh), atau berteriak "Woi, lagi fight scene ini, bangsat!" (ia akan dianggap orang brengsek). Apapun itu, ia sadar bahwa ada pihak lain di skenario ini, dan ia harus memperhitungkannya ketika ingin bertindak.
Sialnya, di dunia maya, wajah (dan kehadiran orang lain) menjadi kabur, tidak jelas, bahkan tertutup sepenuhnya. Miller mencatat bahwa masalah utama kita hari ini, di topik ini, adalah "...kurangnya kesadaran atas kehadiran (presence) diri kita sendiri dan kehadiran orang lain di dunia melalui teknologi-teknologi ini, dan oleh karena itu ketidakmampuan untuk membuat keputusan yang tepat tentang konsekuensi tindakan kita di dalam konteks daring".
Mari menggunakan contoh penyebar informasi VTuber untuk menjelaskan isu ini (bisa jadi doxxing, bisa jadi menyebarkan informasi lama, dst.). Ketika fans Hololive yang kebetulan juga nasionalis Tiongkok mengadakan crusade melawan Kiryu Coco dan Akai Haato, mereka tidak sadar dengan kehadiran Coco-Haachama sebagai manusia betulan di balik perannya sebagai talenta Hololive.
Mereka tidak sepenuhnya memahami dampak dari tersebarnya alamat asli mereka ke dunia nyata. Kita tahu ketidakpahaman mereka dari upaya mereka menjustifikasi tindakan mereka dengan sepenuhnya menyalahkan Coco-Haachama dan mengecilkan akibat dari apa yang akan mereka lakukan. Coco-Haachama tidak hadir sebagai manusia sepenuhnya, hanya sebagai kategori-kategori: 'pendukung Taiwan', 'orang yang mempertanyakan kedaulatan Tiongkok', dan lain sebagainya.
Kita bisa memperluas hilangnya 'kehadiran' seseorang dalam interaksi di media sosial ke dalam segala macam kasus yang sudah kita bahas sampai sini. Mereka yang melecehkan cosplayer gagal untuk memperhitungkan bahwa objek dari omongan dan tindakan mereka adalah manusia betulan, yang hadir di situ, membaca dan bereaksi terhadap ujaran-ujaran pelecehan mereka. Segala macam hal buruk yang ditujukan ke Elma Adisya, jurnalis Magdalene sekaligus panelis Comic Frontier 14 Februari silam, mulai dari gangguan, pelecehan, dan upaya doxxing, dilakukan karena pelaku melihat korban sekadar 'feminis dengan ide buruk' atau 'panelis keliru yang berisik'. Kedua kategori ini jauh dari pemahaman bahwa objek ujaran mereka, sekali lagi, adalah manusia betulan.
Lalu, berarti, solusinya adalah dengan tidak menjadi anonim, kan? Tidak juga. Beberapa kasus di atas tetap terjadi, bahkan ketika semua pihak di dalamnya tidak menyembunyikan identitas pribadinya, tetapi tetap melakukan tindakan agresi. Bagi Levinas, wajah bukan cuma urusan seperangkat fitur di kepala kita, tapi keseluruhan hadirnya orang lain di dalam hidup kita. Orang lain ini, darah dan daging, pikiran dan nurani, punya kemampuan untuk terganggu, bahagia, sedih, merasakan sakit, marah, depresi, kejam, dan lain sebagainya.
Orang lain ini sama dengan saya. Hanya saya yang paling mengetahui diri saya sendiri, sebab segala pengalaman dan perasaan yang saya alami adalah milik saya sendiri. Konsekuensinya, mereka yang paling mengetahui orang lain adalah dirinya sendiri, dan ketika mereka hadir di dalam hidup kita, sedang hadir suatu sosok yang tidak akan pernah kita pahami sepenuhnya. Konsekuensinya lagi, bagi Levinas, adalah etika: kita akan mulai memperhitungkan orang lain dalam segala tindak tanduk kita.
Cosplayer, bahkan yang gravure sekalipun, merupakan orang yang mempunyai saudara dan teman-teman, dan punya pengalaman pahit serta manisnya sendiri, bukan sekadar objek penghibur atau objek seksual. VTuber, bahkan yang yabai sekalipun, mempunyai kehidupan di luar jadwal streaming yang tidak akan pernah kita ketahui, bukan sekadar pemain sirkus di dalam layar. Anda dapat mengaplikasikan konsep ini untuk 'kategori-kategori' lain: komikus (yang dipaksa-paksa memperbaharui webtoon), developer gim (yang secara ajaib diminta cepat rilis sekaligus mengeluarkan produk berkualitas), animator (dan segala pengorbanan pribadi untuk menciptakan anime berkualitas), dan lain sebagainya.
Dalam kata-kata Stephen Marche, tanpa 'wajah' yang jelas, kita hanya dapat melihat orang lain dalam bentuk 'perasaan merendahkan yang serbaguna' (all-purpose contempt). Perasaan ini begitu kosong akibat dari keserbagunaannya untuk menggambarkan orang lain, dan begitu jahat sebab ia begitu kosong. Tanpa adanya 'wajah' yang jelas ketika kita berinteraksi di dunia maya, ujarnya, "adalah dunia yang dihilangkan dari, tidak hanya etika, tetapi landasan biologis dan budaya dari etika".
Menurut Anda, jika kita menempatkan orang nomor satu yang ingin menghancurkan karir Moona Hoshinova dengan Moona betulan di satu ruangan, dengan wajah yang berhadap-hadapan, diriingi dengan banyak wajah lain di ruangan tersebut, apakah kita akan mendengar omongan yang sama dengan apa yang ia lontarkan di media sosial?
Daftar Pustaka
Clancy, A., Arvola, A. K., & Gjærum, R. G. (2015). Moral responsibility is never a spectator sport: On young people and online gaming [Abstract]. Journal of Applied Arts & Health, 6(1), 7-21. doi:10.1386/jaah.6.1.7_1
Damayanti, L. P. (2020, October 05). Wajah Perlu Dihadirkan Kembali dalam Komunikasi Daring. Retrieved from https://www.remotivi.or.id/amatan/637/wajah-perlu-dihadirkan-kembali-dalam-komunikasi-daring
Dart, L. B. (2006). Revisaging the Face: Levinas and the Limits of Online Communication. Explorations in Media Ecology, 5(4), 297-316. doi:10.1386/eme.5.4.297_1
Marche, S. (2015, February 14). The Epidemic of Facelessness. November/December, 2020, from https://www.nytimes.com/2015/02/15/opinion/sunday/the-epidemic-of-facelessness.html
Miller, V. (2016). The crisis of presence in contemporary culture: Ethics, privacy and disclosure in mediated social life. London, United Kingdom: SAGE Publications.
Tjaya, T. H. (2018). Emmanuel Levinas: Enigma Wajah Orang Lain. Jakarta, Indonesia: Kepustakaan Populer Gramedia.
Vince, G. (2018, April 3). Evolution explains why we act differently online. Retrieved November/December, 2020, from https://www.bbc.com/future/article/20180403-why-do-people-become-trolls-online-and-in-social-media
Zimmerman, A. G., & Ybarra, G. J. (2016). Online aggression: The influences of anonymity and social modeling. Psychology of Popular Media Culture, 5(2), 181-193. doi:10.1037/ppm0000038