Semua orang bekerja keras di Kimetsu no Yaiba. Berjuang menghadapi musuh-musuh yang seakan-akan tak mampu dikalahkan. Semua orang berlatih dan bertarung, lagi dan lagi, dalam perjalanan hidup yang hampir-hampir linear. Semacam protagonis gim: dimulai dari level 1, seorang warrior terus mengalahkan musuh mulai dari level kecil sampai besar. Ia lakukan itu terus menerus sampai ia sendiri mencapai level tertentu untuk melawan boss yang sebelumnya tak terkalahkan. Setelah itu ia menemukan musuh yang lebih hebat lagi, lalu ia berlatih lagi untuk bisa melawannya, diulang-ulang ad nauseam.
Oleh karena itu, meskipun saya tak bisa berlatih naik turun gunung dan menghindari jebakan mematikan setiap hari seperti Tanjirou, tapi saya mengira hidup dalam dunia Tanjiro jauh lebih mudah.
Sebab logika perjalanan hidup Tanjiro dan kawan-kawannnya begitu sederhana. Tanjiro orang baik, berusaha keras untuk berlatih teknik napas dan teknik pedangnya untuk melawan makhluk-makhluk jahat, para iblis (demons).
Adalah tanggung jawab moral bagi Tanjiro dan Korps Pembasmi Iblis untuk menghabisi setan-setan tersebut. Mereka, ras iblis, adalah ancaman eksistensial, bukan perilakunya. Dengan mereka ada di dunia ini saja sudah membahayakan bagi keselamatan kita dan orang yang kita sayangi, maka membunuh mereka adalah suatu kewajiban.
Kondisi hidup tersebut selain ideal dan jauh lebih mudah daripada dunia tempat kita berada saat ini, juga sangat berbahaya jika kita terapkan ke dalam dunia yang lebih kompleks ini.
Kimetsu no Yaiba dan Oposisi Biner Iblis/Pahlawan
Masalah pertama ada di hampir seluruh karya shonen: sebuah klise mengenai siapa penjahat dan siapa pahlawan.
Pertama: Tanjiro jelas pahlawan. Korps Pembasmi Iblis, organisasi ekstrapemerintahan tempat Tanjiro bernaung, mempunyai kekuasaan yang berpusat pada segelintir orang dan tak bisa ditantang. Meskipun mereka berada di luar negara, fungsi mereka adalah fungsi sentral negara: membasmi musuh masyarakat dengan cara membunuhnya.Ya, membunuh, bukan persuasi, arbitrasi, atau diplomasi. Tugas korps pembasmi adalah membasmi, justifikasi sudah tak dibutuhkan lagi. Dilema moral tak menjadi perhitungan kelompok ini, sebab ‘iblis’ dan ‘manusia’ adalah dua kelompok eksklusif. Moral dan hak tak berlaku untuk iblis-iblis tersebut, sekalipun mereka pernah jadi manusia.
Maka iblis dimunculkan sebagai makhluk-makhluk tanpa harapan sejak awal. Perhatikan bagaimana para iblis digambarkan, mulai dari Nezuko (awalnya) yang membantai keluarga sendiri, iblis-iblis hutan yang berebut manusia seperti hewan berburu mangsa, lalu iblis-iblis yang memangsa gadis-gadis desa tempat Tanjiro melakukan misi pertamanya. Iblis ditunjukkan sebagai orang yang sudah bukan manusia lagi, sudah murni jahat luar dalam. Konsekuensinya, serial tersebut jelas tidak sedang meminta kita berempati kepada apa yang sudah digambarkan sebagai musuh.
Perkembangan berikutnya mulai menjauh dari oposisi Iblis/Pahlawan dengan memunculkan masa lalu dari iblis-iblis kuat yang dibunuh Tanjiro, baik itu sang penulis gagal maupun keluarga disfungsional laba-laba yang dikepalai Rui. Meskipun demikian, masalah tetap ada. Orang-orang tersebut mungkin mempunyai masa lalu yang kelam, tetapi apa yang sudah terjadi tak mengubah apa yang terjadi hari ini. Ia sekarang bukan manusia, maka harus dibunuh juga.
Bahaya Otoritarianisme para Hashira
Padahal, penggambaran latar belakang dari Rui dan keluarganya merupakan salah satu ilustrasi paling kuat untuk memahami konteks. Tak seperti iblis-iblis rendahan sebelumnya, Rui bukan kriminal kelas kere yang secara barbar membunuh hanya untuk memenuhi kebutuhannya. Ada bagian dari dirinya yang hilang: rasa kekeluargaan. Inilah yang membuat Rui menjadi manusia yang gagal, fakta bahwa ia kemudian menjadi iblis adalah apa yang terjadi setelahnya.
Tetapi, sepertinya, hanya Tanjiro yang mencoba menjauh dari dikotomi manusia/iblis ini. Para Hashira memperburuk keadaan–sebagai pentolan ‘pahlawan’, mereka, terutama salah satu di antara mereka, benar-benar mempunyai pandangan hitam/putih. Celakanya lagi, mereka memposisikan diri sebagai ‘pahlawan’ dan pihak lawan sebagai ‘penjahat’–mengabaikan konteks dari apa yang mereka anggap musuh.
Puncaknya adalah episode ketika Nezuko sekalipun dicurigai karena afiliasinya. Hasilnya pun tidak memuaskan. Nezuko yang sudah sejak awal dicap buruk harus membuktikan diri bahwa ia bukanlah penjahat. Lebih jauh lagi disuruh melakukan langkah-langkah ekstra untuk ‘membersihkan diri’. Padahal, Nezuko tak pernah mendaftarkan diri menjadi satu kelompok dengan para ‘penjahat’.
Jika ditarik lebih jauh, dapat diketahui bahwa para Hashira, termasuk Sanemi, melakukan semua ini karena latar belakang mereka masing-masing dan rasa ketidakpercayaan yang tinggi terhadap musuh-musuhnya. Namun, kehadiran Nezuko seharusnya jadi katalis: ketika ditemukan suatu anomali dari kerangka berpikir mereka, harusnya kerangka tersebut dirombak lagi.
Kalau tidak, para Hashira yang sudah memiliki kekuatan adikuasa dalam fungsinya di masyarakat akan dengan mudah jatuh ke pada otoritarianisme. Dengan kerangka moralitas yang tak bisa diubah, kekuasaan yang tinggi, dan tidak adanya organ pengendali, mereka punya instrumen yang cukup untuk menjadi sewenang-wenang.
Tak Selamanya Hitam-Putih
Oleh karena itu mungkin hanya Tanjiro dan teman-temannya yang bisa ditempatkan di antara kita. Selain pekerja keras, ia juga mampu memahami sisi kemanusiaan dari iblis yang paling buruk rupa dan kejam. Sesuatu yang sepertinya sangat sulit dipahami oleh atasan-atasannya.
Kemampuan itu sangat berguna di tengah tak adanya kepastian mengenai kawan dan lawan di dunia kita. Siapa yang dapat kita beri label ‘musuh’ selamanya? Tidak ada iblis di dunia ini–celakanya, semuanya manusia. Kita juga tak bisa mengukur bahwa seseorang baik hati diukur dari kemanusiaannya. Jika mengikuti Hobbes bahwa manusia pada dasarnya egois dan licik, maka justru ia yang paling manusia merupakan yang paling jahat di antara semuanya.
Beberapa anggota Korps Pembasmi Iblis, misalnya, akan sangat kebingungan dengan adagium ‘saint has a past, sinner has a future’. Bagi mereka, masa lalu saint tidak bisa dihitung karena ia merupakan orang baik hari ini, dan masa depan sinner tak usah dipahami juga sebab iya merupakan sang penjahat hari ini.
Bagaimana sang Hashira yang pemarah itu dapat memahami para pahlawan yang kemudian mendapuk kekuasaan lalu mengkhianati rakyatnya sendiri? Bagaimana ia mampu mengerti seorang pentolan kriminal yang, meskipun orang-orang sudah menyerah memperbaikinya, ternyata bisa menjadi manusia berhati mulia di masa-masa akhir hidupnya?
Logika shonen menjadi sangat bermasalah bukan hanya dengan fakta sederhana bahwa tak ada moralitas hitam/putih di antara kita, tapi juga kita tak bisa mendapuk diri sebagai ‘pahlawan pembasmi kejahatan’. Pertama, sebab anda akan gagal, kedua, seperti yang ditunjukkan oleh sejarah: anda berbahaya.
Dunia Kita Telah Membuktikannya
Mereka yang membagi keras batas antara ‘kita’ dan ‘mereka’ adalah para tirani.
Hitler mengunggulkan ras Arya sekaligus menganggap mereka di luarnya sebagai setidak-tidaknya kasta lebih rendah, dan menganggap Yahudi sebagai akar dari segala permasalahan. Di belahan dunia lain, didasarkan pemikiran bahwa semua kaum Tsar adalah penjahat, para kaum revolusioner Soviet bisa membunuh si kecil Anastasia Nikolaevna Romanova. Di Amerika dan negara sekutunya saat perang dingin, untuk melawan komunis yang dianggap sebagai ancaman, rezim-rezim (termasuk rezim Orde Baru) akan melakukan apapun untuk ‘membasmi’ komunisme. Pengecapan, pembantaian, pembunuhan, penganiayaan, dan lain sebagainya: bahkan untuk mendapatkan identitas kenegaraan saja bisa sulit!
Contoh terakhir adalah apa yang membuat skenario ‘pengujian’ Nezuko menjadi sangat mengkhawatirkan. Tak seperti ideologi komunis, Nezuko tak meminta untuk dimangsa Muzan, untuk kemudian dirinya sendiri menjadi iblis. Justru ia telah berusaha keras agar tak kehilangan kemanusiaannya–mengapa perlu diadakan ujicoba-ujicoba lagi? Mengapa pula ia, setelah terbukti bersih, masih harus ‘membuktikan diri’ untuk ke depannya?
Ras iblis tak berbahaya. Yang berbahaya adalah ideologi spesifik bawaan Muzan Kibutsuji, musuh utama, tetapi ini tak bisa dijadikan justifikasi bahwa segala iblis harus dibabat tanpa mengajukan pertanyaan terlebih dahulu.
Dalam hal ini, logika shonen tak lagi realistis, ia menjadi berbahaya.
Kompleksitas yang Dilawan dan Dipertahankan
Memang tak sekali dua kali orang-orang berusaha untuk menegakkan dikotomi untuk membuat kehidupan yang absurd ini menjadi lebih dapat dicerna dan dijelaskan.
Hal yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, haruskah kita iri terhadap Tanjiro dan teman-temannya? Hidup di dunia yang tak mengenal musuh abadi, seperti Muzan Kibutsuji, dan setiap hari harus selalu mengkontekstualisasikan diri dan orang-orang di sekitar kita? Bagaimanapun juga, dunia tersebut serasa melelahkan dan seringkali tiada harapan, menjatuhkan kita ke keputusasaan.
Tetapi di sisi lain, ada yang menyegarkan ketika kita mengetahui bahwa dalam sejarah, mereka yang berpikir dalam kerangka moralitas pahlawan melawan penjahat hampir pasti adalah penjahat itu sendiri. Sebab tak ada mekanisme yang dapat menyebabkan manusia menjadi iblis tanpa adanya harapan kembali–selalu ada waktu untuk memikirkan ulang nilai-nilai yang dipegang, selalu ada waktu untuk merubah diri. Kita selalu mempunyai kesempatan ulang untuk memikirkan siapa yang kita anggap musuh dan siapa yang kita anggap kawan. Maka, agaknya, Sanemi dan para Hashira perlu mengikuti Tanjiro dalam hal ini.
Dunia Kimetsu no Yaiba mungkin lebih sederhana, tapi dunia kita lebih manusiawi.