Taro Yamada, politisi sekaligus pemimpin dari Partai untuk Perlindungan Kebebasan Berekspresi, telah memenangkan kursi parlemen dengan jumlah pemilih yang impresif, yaitu sebesar 530.000 suara. Ia terkenal di berbagai sosial media sebab kampanyenya yang mementingkan isu-isu yang dekat dengan ‘otaku’ seperti kebebasan berekspresi dan privasi. (Catatan: Yamada terpilih sebagai anggota Sangiin, Upper House (seperti DPR) dalam sistem parlementer bikameral Jepang, dengan Shugiin sebagai Lower House (seperti DPD)

Dalam kampanyenya ini, Yamada menekankan pentingnya melawan situs-situs bajakan dan mendukung legalisasi dari karya-karya penggemar seperti doujinshi dan fanfiction. Ia juga menolak menerapkan undang-undang pornografi anak kepada anime dan manga.

Sebelumnya, Yamada adalah kandidat dari Partai Anda (pecahan sentris dari partai terbesar Jepang, LDP, yang bubar pada 2014) dan juga telah terpilih menjadi anggota senat.

Ia juga telah mengkampanyekan pentingnya perbaikan atas kondisi lingkungan bekerja dalam industri animasi Jepang. Baginya, industri animasi mungkin hanya berisi 5000 orang, tapi mereka yang menyukainya, para otaku di Jepang maupun sedunia, berjumlah jauh lebih banyak dan harus mendapatkan kekuatan politiknya sendiri. Selain itu, ia turut memperjuangkan hak-hak kaum disabilitas, dan hak bagi orang-orang Jepang untuk mempertahankan nama marganya setelah pernikahan.

 

Mewakili Industri Anime dan Otaku Jepang

Representasi adalah fungsi kunci dalam negara yang memiliki asas demokrasi. Setiap warga negara harus diwakilkan suara, aspirasi, kesulitan, maupun keinginannya dalam lingkungan politik yang lebih tinggi. Taro Yamada digadang-gadang dapat menjadi penyambung lidah para otaku dan mereka yang berada dalam industri anime dan manga di Jepang.

Mangaka sekaligus aktivis kebebasan berpendapat Ken Akamatsu telah mencuit dukungannya, mengatakan “Dengan ini, kita seharusnya bisa menjaga inisiatif partai pemimpin untuk mengatur anime dan manga”. Meskipun begitu, ia waswas terhadap rasa puas yang sementara, menambahkan, “Yang menakutkan adalah tekanan dari luar. Topik sensitif seperti fair use (dalam hak cipta, red) akan muncul lagi, maka kita harus tetap terlihat dalam diskusi.”

Sumber: ANN