Ini adalah tahun keduamu di SMA. Kamu tidak tahu apa yang mau kamu lakukan, meskipun nilaimu baik-baik saja. Setiap harinya, kamu bermain dengan teman-temanmu sampai malam, tidak memikirkan prospek kuliah atau masa depan. Suatu hari, kamu diminta untuk membuat satu lukisan sederhana untuk kelas seni rupa. Kamu tiba-tiba teringat pada hari dimana kamu sedang berada di Shibuya—ketika langit begitu biru, menyirami semua panorama yang ada, begitu tenang, begitu menyengat. Mulai muncul pertanyaan dalam pikiranmu: bagaimana rasanya menyelami dunia seni?

Blue Period, karya Tsubasa Yamaguchi, merupakan manga slice-of-life seinen yang diserialisasikan di Monthly Afternoon. Ia menceritakan Yaguchi Yatora, yang entah kerasukan apa tiba-tiba menyeriusi dunia seni dan segala kekacauan dan keindahan di dalamnya. Bersamanya, kita menemukan seni dalam bentuk lain: orang-orang yang ada di samping kita, yang begitu berpengaruh bagi kita namun tidak pernah kita ketahui, atau yang kita ketahui namun tidak pernah mempengaruhi kita.

Artikel ini akan mengulas dengan tingkat spoiler minim, sebab tulisan ini juga ditujukan untuk mengajak anda untuk membaca Blue Period jika anda belum melakukannya sebelumnya. Artikel ini akan dibagi menjadi tiga: tentang apa yang dialami Yatora, tentang orang-orang di sekitarnya, dan kesimpulan. Satu artikel ekstra tambahan sedang disusun untuk mengeksplor Ryuji Ayukawa—tokoh sampingan yang menjadi tokoh utama dalam ceritanya sendiri.

Yatora Yaguchi dan Dunia Seni

Semuanya berawal dari komentar Yatora yang sangat sering kita dengar hari ini, terlalu sering bahkan: apa bagusnya, sih, seni modern? Mengapa seni modern cenderung 'sulit' dipahami? Namun, jauh seperti mayoritas orang yang mengucapkan pertanyaan tersebut, Yatora kemudian perlahan-lahan memang ingin tahu apa artinya seni yang ia lihat, dan lebih penting lagi, bagaimana rasanya 'menciptakan' karya seni.

Entah apa yang kemudian dirasakan oleh Yatora, ia langsung memperkirakan keputusan yang luar biasa: bagaimana jika ia, yang selama ini tidak punya tujuan hidup jangka panjang, tiba-tiba ingin menggapai universitas seni paling prestisius di seluruh Jepang? Geidai, namanya, atau dikenal secara internasional sebagai Tokyo University of the Arts. Di Indonesia mungkin bisa disetarakan dengan IKJ atau ISI.

Lho, lalu apa masalahnya? Masalahnya ada di tingkat penerimaan. Mereka yang mendedikasikan bertahun-tahun kehidupan remajanya untuk lolos ujian masuk saja belum tentu dapat menggapainya, begitu juga mereka yang sekeluarga merupakan alumni Geidai (kawan Yatora, Maki Kuwana, adalah salah satunya). Ia, yang baru mulai belajar melukis sekitar dua hari yang lalu, tiba-tiba ingin melakukannya dengan waktu persiapan yang hanya sebesar satu tahun.

Bagaimana menurut anda respon orangtuanya? Tentu saja sama seperti respon banyak orang tua di sini ketika anaknya ingin meneruskan karir di sini. Meskipun begitu, orang tua Yatora memiliki respon yang cukup dipahami: kelas seni begitu mahal, ayahnya merupakan mantan pebisnis yang bangkrut, dan ibunya perlu menyokong keuangan keluarga dengan lebih dari satu pekerjaan. Muncul kekhawatiran, apakah anaknya serius? Apakah ia sanggup membiayai ambisi anaknya?

Ini adalah keindahan Blue Period pertama: betapa konflik di dalamnya begitu dekat dengan sebagian di antara kita, bahkan mungkin terlalu dekat dan terlalu nyata. Meskipun saya pribadi tidak mengalaminya, saya yakin banyak orang ikut menangis ketika mendengar Yatora sungguh-sungguh melihatkan sketsa ibunya langsung di hadapannya, dan dengan suara lirih berkata: mohon maaf jika selama ini ia belum menjadi anak yang sepenuhnya memenuhi ekspektasi, namun kali ini aku punya ambisi yang ingin dicapai.

Krisis ditutup. Masalah kini berpusat kembali ke Yatora, yang perlu berjuang setengah mampus untuk mencapai ambisinya dalam waktu setahun, atau lebih. Muncul masalah: ia tak tahu apa-apa tentang dunia seni, apalagi cara membuat seni yang bagus. Apakah seni hanyalah urusan ide? Yatora mengeksplor ide ini, hanya untuk kemudian tertabrak pada ketidakmampuan untuk berkembang dan stagnansi yang meyakinkan. Apakah seni hanyalah urusan teknik? Yatora menelusuri pemahaman ini, hanya untuk kemudian sakit hati mendengar bahwa ia terus-menerus menghadirkan lukisan yang sama, tanpa eksplorasi, tanpa hal-hal baru.

Namun Blue Period tentu saja bukan manga yang dikhususkan untuk para penikmat seni lukis. Jika anda hanya seorang awam yang kadang-kadang ke galeri instalasi seni hanya untuk mengangguk-ngangguk sedikit dan menggumam "Wah, bagus juga, ya", seperti saya, manga ini juga untuk anda. Sebab selain ia merupakan manga seni, ia juga manga yang menceritakan manusia melalui seni. Dan meskipun banyak di antara kita mungkin tidak tahu bagaimana perasaan menjadi pelukis, semua di antara kita tahu bagaimana perasaan berteman dan bertemu orang-orang yang penuh dengan perjuangannya masing-masing.

Tentang Orang-orang Melankolis dan Mereka yang Terbuang

Pertama adalah Yotasuke Takahashi. Ia merupakan orang yang merasa sudah mengetahui apa itu seni bagus, dan bagaimana cara membuat seni yang bagus. Memang, tidak dapat dipungkiri, ia lolos Geidai dengan mudah (dan ini tidak termasuk spoiler: manga menggambarkan kelolosannya sebagai fakta, bukan lagi sebagai sesuatu yang mencengangkan). Ia menolak sistem les seni, tidak punya teman, dan pada umumnya merendahkan banyak orang.

Yotasuke Takahashi

Yatora dan alur cerita tidak memberikan latar belakang agar sikapnya dapat dipahami, bagaimanapun juga, apapun alasannya, orang dengan sikap seperti ini cukup memuakkan. Ia kemudian tidak menghabiskan banyak waktu untuk menghaluskan omongannya: baginya, Yotasuke adalah orang yang bertalenta dan bekerja keras, dengan omongan yang sesuai dengan tindakan, tapi memiliki sikap yang sungkuh membuat orang benci dan kesal. Dan siapa yang bisa menyalahkannya? Kita semua membenci orang-orang seperti Yotasuke, terlepas dari apakah makhluk sepertinya dapat kita hormati secara profesional atau tidak.

Kedua adalah Maki Kuwana. Pernahkah kamu mendengar keluarga yang seluruhnya masuk kedokteran, atau seluruhnya masuk teknik? Maki adalah salah satunya, namun dengan beban tambahan: kakaknya, Yuki, merupakan seorang siswi seni rupa yang cemerlang, dan orangtuanya merupakan alumni Geidai. Maki mencintai keluarganya, dan tentu saja kakaknya, sungguh, namun toh ia tidak bisa berhenti berpikir jika kakaknya gagal dalam sesuatu, maka hidupnya akan lebih baik-baik saja. Ini adalah resep bagi orang yang di kemudian hari melepaskan cara-cara etis dan kerja-kerja halal, atau menjadi pendendam, atau minimal penuh dengan kebencian. Bagaimana Maki kemudian mengatasi campuran perasaan mematikan ini sepenuhnya hanya bisa ia tentukan sendiri.

Maki Kuwana

Ketiga adalah Miki dan Aizawa. Dua orang sahabat pekerja keras, satu di antaranya bekerja di depan layar dan satunya di belakang, untuk memastikan semua orang dan mereka sendiri bekerja semaksimal mungkin untuk hasil yang seindah mungkin. Apapun yang terjadi, hujan badai, kerusakan tiba-tiba, serangan virus dan bakteri yang tidak terduga—tidak ada yang boleh menghalangi mereka berdua untuk menghasilkan karya seni yang mumpuni.

Namun mereka tidak pernah memaksa orang untuk melebihi batasnya (kecuali diri mereka sendiri), tidak pernah juga mereka memarahi dan menjadi ketua yang 'toxic' terhadap bawahannya. Di titik ini, apa yang mereka lakukan selalu dapat dikagumi dan dicontoh, sebelum mereka yang lebih jeli, seperti Yatora, mendapatkan pertanyaan: apakah mereka selalu melakukan yang terbaik karena kegagalan, mau diterima sekuat apapun, akan tetap mengecewakan, menyakitkan?

Setiap karakter di dalam Blue Period berarti dan tidak cuma menjadi bahan untuk character development tokoh-tokoh utama. Anda bisa merasakan orang-orang ini, mungkin teman anda, mungkin musuh anda, atau mungkin orang yang anda kenal di media sosial.

Koigakubo, Utashima, dan Sushima, misalnya, merupakan sekumpulan orang-orang yang senang party dan begadang tidak berguna, menemani Yatora di malam-malam yang membingungkan. Kita kemudian mengetahui bahwa orang-orang ini lah tulang punggung yang mendukung Yatora dalam apapun yang ia lakukan, terlepas bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak paham seni sama sekali. Teman-teman yang mendukung apapun yang kita lakukan, terlepas dari mereka paham atau tidak apa yang kita lakukan.

Lebih lanjut, kedua guru seni Yatora, yaitu Masako Saeki dan Mayu Ooba, masing-masing merupakan mentor yang luar biasa, yang tidak sekadar muncul lalu pergi lagi sebagai plot device. Kita bisa memahami mengapa mereka mengatakan apa yang mereka katakan, bukan hanya memahami apa yang mereka katakan. Haruka Hashida dengan sifatnya yang misterius dan sepertinya sudah tidak dapat disakiti lagi oleh apapun membimbing Yatora untuk menemukan interpretasinya sendiri dalam seni. Kita tahu Yakumo Murai adalah seseorang yang selalu overperforming, meledak-ledak dan megah serta bombastis dalam karya-karyanya—padahal ia baru muncul dalam beberapa halaman.

Ini belum menghitung para dosen-dosen Geidai, yang, demi menghindari spoiler, cukup dikatakan sebagai koleksi orang yang 'tidak normal' dalam artian tertentu. Meskipun ada dosen dengan sifat yang kita kenal—tua, kritis, dihormati dalam disiplinnya, memiliki karya yang secara teknis bagus tapi mungkin tidak digemari anak muda, dan perlu istirahat karena masalah kesehatan—ada juga banyak lainnya yang mengerikan sekaligus menyegarkan. Nekoyashiki Amo, misalnya, mengaburkan batasan antara imut dan mengerikan, baik dalam instalasi seni maupun dalam kehidupan sehari-hari.

(Saya dapat menambahkan tiga paragraf lagi soal karakter luar biasa ini, Nekoyashiki Amo, tapi anda hanya dapat merasakan character building nomor satu ini dengan membaca langsung manga-nya).

Bahkan anak-anak di tempat les seni yang diajar oleh Saeki-sensei, seperti Meguro, Baba, Sae-chan, Shouya-kun, Kumi-chan, dan Yuusuke juga memiliki peran penting bahkan jika mereka hanya muncul dalam beberapa panel. Mereka dengan tajam dan polos menunjukkan apa yang tidak diketahui oleh Yatora, apa yang tidak diketahui oleh kita.

Klise Karena Terlalu Salah dan Klise Karena Terlalu Benar

Jika saya terpaksa untuk mencari-cari kesalahan dalam Blue Period, tentu saja saya dapat menemukannya. Tentang dunia seni yang tiba-tiba mengubah seseorang, atau keluarga yang menolak jalur seni anaknya (selanjutnya tentang ini di artikel Ryuji Ayukawa), atau tentang dunia muda yang menyenangkan namun selalu penuh dengan bahaya—semuanya tentu adalah klise yang banyak kita lihat di manga-manga shonen lainnya.

Buat yang nyariin Ryuji Ayukawa, mohon bersabar. Kisahnya layak mendapat artikel terpisah.

Namun inipun tidak banyak termasuk 'kekurangan'. Ketika judul-judul lain melebihkan keadaan dan membuatnya lebih 'gelap' atau lebih 'terang' dari pengalaman sehari-hari, maka mereka sedang menjalankan klise yang menjadi klise karena terlalu menyimpang dari kehidupan sehari-hari. Sedang Blue Period menceritakan klise yang menjadi klise karena terlalu selaras dengan kehidupan sehari-hari.

Semua orang merasakan bagaimana bahagianya libur kuliah pertama yang berjarak sampai bulanan, sampai-sampai lupa untuk bekerja atau berkarya sebagaimana seperlunya. Semua orang, apalagi mereka yang bekerja di industri kreatif, tahu apa yang dimaksud Yatora ketika ia mengatakan bahwa melakukan apa yang disukai tidak selalu menyenangkan, tidak selalu gampang.

Dunia anak muda yang digambarkan Blue Period adalah dunia yang diisi dengan orang-orang yang belum menemukan arah hidupnya. Mereka belum sepenuhnya tahu apa yang perlu dan bisa mereka lakukan—mungkin karena pada umumnya, mereka belum tahu banyak hal. Pengalaman selalu berubah setiap harinya, begitu juga dengan nilai-nilai yang dipegang, dengan segala kebahagiaan dan trauma, dan bagaimana kita menyikapinya. Dengan kata lain: dunia yang terisi penuh dengan kebahagiaan dan kesakitan, dan segala hal di antaranya.

Blue Period cocok dibaca oleh anak muda manapun, otaku ataupun normies, sengsara ataupun tidak, awam seni ataupun 'penikmat' seni. Saya bahkan dapat menyarankan judul ini bagi orang yang baru pertama kali membaca manga. Namun hati-hati, ketika anda menyarankan judul ini ke mahasiswa seni betulan, saya tidak bertanggungjawab kalau teman anda kemudian terlalu relate dengan isi manga-nya.

Jika ditata dalam skor skala 10, saya akan menempatkan judul ini ke dalam angka 9: salah satu manga slice-of-life dan coming-of-age dalam beberapa tahun terakhir, yang dapat dengan mudah berubah menjadi 10 jika pesan di dalamnya berjarak terlalu dekat dengan pengalaman hidup anda.