Cigarette and Cherry mencirikan segala hal yang baik dari manga slice-of-life. Namun artikel ini tidak berusaha untuk membentuk rangkuman semata—anda mungkin hanya dapat mengawang-ngawang apa isi cerita serial ini setelah membaca artikel, agar mereka yang belum membaca tetap dapat mendapatkan sesuatu—melainkan mencoba secara sekaligus mengulas dan membawakan tema-tema yang relevan di sekitarnya. Artikel ini dirancang untuk beragam audiens, utamanya: jika anda telah atau ingin membaca Cigarette and Cherry, atau tertarik dengan genre slice-of-life pada umumnya, atau tertarik dengan rumitnya hubungan antarmanusia.

I. Memahami Konflik

Tema yang paling krusial di dalam slice-of-life manapun, tentu saja, adalah manusia dan interaksinya. Manga slice-of-life memiliki spesialisasi dalam menceritakan dua hal: konflik antarmanusia dan identitas mereka yang terlibat di dalamnya.

Pertama, konflik yang tertata: seringkali berbentuk formulasi klise atas siapa pahlawan dan siapa raja setan, siapa anak baik dan siapa tukang perundung, yang mana perempuan baik hati dan mana perempuan murahan. Bahwa segala masalah bisa selesai dengan determinasi dan kerja keras tanpa batas, dan pada perkembangannya dikemas melalui redemption arcs, villain arcs, serta alat plot lainnya untuk mencoba menunjukkan 'sisi buruk' dari pahlawan dan 'sisi baik' dari raja setan, tetapi struktur tidak berubah: tokoh-tokoh hanya berpindah kubu, atau kita tetap berempati dimanapun ia berada. Dengan kata lain, tensi antara 'protagonis' dan 'antagonis' pada umumnya tidak ditantang.

Kedua, bagaimana identitas suatu karakter digambarkan. Apa deskripsi yang paling tepat untuk Sayu, atau Kaguya, atau Miyamura? Mana yang 'tokoh utama' dan mana yang 'tokoh sampingan'? Cara paling umum adalah dengan menyematkannya dari satu sumber utama: baik itu dari langit (perbedaan manusia, dwarf, elf, dan demon), atau dari posisinya di struktur sosial (kelas ekonomi yang tidak beruntung, keluarga yang tidak kondusif), atau dari kejadian krusial (diputuskan pasangan, dikucilkan, atau kejadian-kejadian supertragis yang jauh lebih serius), dan sumber-sumber lain. Dengan kata lain: akar identitas yang jelas.

Dua unsur ini tentu saja tidak buruk. Meskipun saya belum pernah menemukan judul yang 'gagal' (karena keterbatasan waktu menuntut saya untuk membaca apa yang kira-kira akan benar-benar saya sukai), tapi kesimpulan logis dari mereka yang mencoba kabur dari trope yang sudah ditulis di atas adalah seringkali sekadar jatuh ke trope yang lain atau menjadi berantakan, sebagaimana usaha-usaha ilmuwan sosial untuk menggambarkan konflik dan aktornya seringkali hanya mengulang apa yang sudah ada atau berujung pada kekacauan konsep (saya lebih familiar dengan contoh-contoh di kasus ini).

Dengan kata lain, kita tidak perlu susah payah 'reinventing the wheel' atau menciptakan ulang apa yang sudah cukup solid. Dungeon Meshi memiliki protagonis dan antagonis yang jelas dan tidak perlu berusaha untuk 'memanusiakan' tanaman-tanaman pemakan manusia, dan setiap tokoh di Kaguya-sama memiliki identitas tunggal yang terikat dari latar belakang sosial-ekonominya dan Akasaka tidak perlu repot menambahkan bahwa selain dimiskinkan dari persaingan bisnis, Shirogane ternyata punya hobi maling jambu yang entah datang dari mana. Keduanya merupakan judul-judul slice-of-life yang mumpuni dan 'berhasil' dalam mengilustrasikan konflik maupun aktornya dengan sangat baik.

Kedua unsur ini hanya menemukan kelemahannya ketika ia berhadapan dengan usaha-usaha untuk menggambarkan konflik dan aktor manusia di dunia nyata, dimanapun itu, Jepang ataupun isekai kesekian. Ia tidak lengkap. Jarang sekali kita melihat konflik manusia yang dapat dengan mudah kita tempatkan siapa orang baik dan siapa orang jahat, lengkap dengan usaha yang harus disiapkan orang baik untuk melawan orang jahat. Lebih sulit lagi mencari alasan tunggal pembunuh membunuh, pencuri mencuri, teman kuliah anda sakit hati, atau saudara anda biadab sekali.

Kausalitas adalah mimpi buruk para peneliti manusia dan pembuat kebijakan publik—tidak ada 'hukum alam' yang mengatur hubungan antarmanusia, hanya kemungkinan-kemungkinan. Apakah alasan kenalan anda ditolak gebetannya karena ia jelek? Tidak kaya raya? Rumor bahwa ia wibu? Atau karena memang gebetannya tidak suka orang yang menghabiskan empat jam setiap hari untuk mengata-ngatai perempuan di internet? Mungkin dominan satu alasan, tapi jelas gabungan dari berbagai hal. Apakah teroris melakukan teror karena kesulitan ekonomi? Keinginan atas dunia yang lebih baik? Kebencian mendalam atas 'musuh'nya? Kenikmatan primal dalam menghancurkan orang lain? Entah. Tidak pernah ada jalur tunggal yang mulus, bahwa A melakukan Y karena X, maka kita harus menurunkan X dengan perilaku B.

Dalam bentuknya yang lebih buruk, di dalam fiksi maupun kenyataan, usaha memahami manusia yang secara kurang ajarnya terlalu sederhana ini akan menimbulkan kebosanan atau kekacauan. Mari lihat dua contoh ini:

  • Karakter A merupakan introvert dengan kesulitan untuk bersosialisasi dan berteman, sedangkan karakter B merupakan extrovert dengan teman dan koneksi di-seantero Jepang. Formula yang sederhana, tetapi butuh keahlian untuk mengubahnya menjadi menyenangkan, misal, menambahkan situasi yang mengguncang dinamika tersebut, ketika B menjadi pihak yang bergantung pada A (Anjou-san, Shikikomori-san, Nagatoro-san, sebagai contoh), sebab dinamika yang sama selama lima puluh chapters tidak akan terlalu menyenangkan untuk dibaca.
  • Pihak A seorang perempuan yang menjual diri dan pihak B adalah orang yang punya prinsip tentang hubungan lawan jenis yang sehat. Premis yang bagus, namun di tangan interpretasi yang berbeda ia dapat memunculkan kekacauan. Mangaka yang baik hati mungkin akan menggunakan premis tersebut untuk menarik simpati terhadap masalah yang sangat riil tentang hubungan aktivitas seksual dan rusaknya keluarga inti, namun penggemar yang tidak punya kemampuan memahami teks bisa jadi mendarat di kesimpulan bahwa A melakukan (prostitusi) karena (ia murahan), maka kita harus menurunkan (aktivitas murahan) dengan (ajaran tentang kodrat perempuan (?)).

Dengan kata lain, segala usaha untuk menggambarkan kehidupan sehari-hari betulan harus hati-hati atau sekalian menembus kedua pola pikir sederhana ini. Untungnya, Cigarette and Cherry melakukannya dengan sangat baik.

II. Tulisan Ini Tidak Disponsori oleh Rokok Lucky Strike

Kesulitan utama genre slice-of-life adalah menyeimbangkan dua hal: menyajikan kehidupan sehari-hari yang rileks tanpa membuatnya menjadi membosankan. Apa yang menarik dari titel-titel besar, seperti dalam Weekly Shonen Jump, adalah karakter yang berapi-api dengan kekuatan yang meledak-ledak, lengkap dengan alur cerita yang menegangkan atau mengharukan. Dalam kehidupan sehari-hari, jarang kita menemukan bahwa bulan depan satu kota akan dibom nuklir atau bahwa anak-anak sekolahan akan terpaksa membunuh satu sama lain.

Apa yang tidak dilewatkan oleh C&C adalah bahwa konflik sehari-hari memiliki kekuatan yang sama untuk membawa pembacanya terlarut-larut dalam cerita. Memang, kita tidak perlu melakukan Ujian Penyihir Tahap Dua, tetapi wawancara kerja atau ujian masuk universitas tidak 'mudah' juga, kita tidak perlu melawan orang yang kemana-mana membawa palu gada besar tetapi teman sekelas yang kelakuannya tidak masuk akal kadang-kadang sama menjengkelkannya.

Premis Cigarette and Cherry sederhana: Kouhai, seorang mahasiswa baru yang belagak bisa menarik perhatian cewek melalui aksi-aksi murahan yang diambil langsung dari buku panduan buruk tentang romans, bertemu dengan Senpai, yang meskipun tahu semua trik Kouhai memutuskan untuk ikut-ikutan saja. Toh, Kouhai bukan kriminal, dan tidak sedang mencoba trik-trik kriminal seperti catcalling atau pelecehan lainnya.

Konflik pertama muncul ketika Kouhai dan Senpai, yang kemudian sama-sama bekerja di kedai kopi kecil dalam kota, dihadapkan oleh mantan pacar Senpai yang brengsek. Sebagaimana banyak lelaki kota besar lainnya, manusia kurang ajar ini datang dan menganggap dirinya 'pantas' untuk Senpai, jauh lebih pantas dibandingkan Kouhai, didasarkan oleh 'logika' dan 'fakta' bahwa ia lebih tahu siapa Senpai dan apa maksudnya 'suka' dengannya.

Seperti twit menjengkelkan yang terlalu mendasarkan diri pada rasionalitas semata, tindakan sang mantan yang menanyakan 'Apa bukti kamu menyukai Senpai?' atau 'Sejauh mana kamu mengetahui Senpai?' menjadi memuakkan karena ia berusaha mempertanyakan apa yang tidak bisa divalidasi sains manapun di muka bumi. Dan kita menemukan banyak orang seperti ini di muka bumi, mereka yang menganggap perasaan-perasaan yang paling dalam, paling menyakitkan dan paling intim tidak valid akibat irasionalitasnya. Bahwa ada syarat-syarat untuk rasa ingin mendekati atau memiliki.

Sebagaimana seharusnya kita memperlakukan orang-orang seperti ini di dunia nyata, C&C memberikan ujung yang jelas: mereka yang jujur, berapi-api, meskipun canggung, seringkali akan menjadi pilihan yang lebih baik daripada mereka yang sinis, pahit, dingin, meskipun 'benar'.

Konflik besar kedua adalah ketika muncul pegawai baru, Namajime, yang kemudian menjadi pasangan sampingan bagi karakter utama bersama dengan Kinpatsu-chan. Bagan ini menceritakan apa yang menjadi masalah bagi kita semua: bagaimana kita seharusnya menyeimbangkan 'menyampaikan kebenaran' dan 'membuat orang lain nyaman'?

Kita seringkali menyindir mereka yang terlalu sering berusaha membuat nyaman, menganggap bahwa kita tidak boleh 'menutupi kebenaran' dan harus 'berani' tanpa 'menghaluskan' kata-kata kita. Namun Namajime menunjukkan bahwa ini bukan sikap yang kita inginkan. Ia orang baik, sepenuhnya, tetapi ia tak punya filter di antara kepala dan mulut. Ini termasuk mengatakan sejujurnya kalau pakaian dan aktivitas rekannya tidak sesuai dengan seleranya, misal. Ia menjalankan kehidupan sosial seperti orang yang mengetahui interaksi antarmanusia dari textbook: tidak ada konflik antara apa yang dirasakan diri sendiri dengan apa yang dirasakan orang lain.

Dengan kata lain, tidak ada pihak yang 'salah' di sini. Bagaimana Namajime seharusnya bertindak? Tergantung, sejauh mana kamu jujur dengan sirkel-sirkel pertemananmu, dengan pacarmu, dengan keluarga, dan dengan diri sendiri? Apa yang kamu tutup-tutupi dan apa yang kamu putuskan untuk sampaikan? Masalah ini lebih kompleks daripada perang akbar para pahlawan dengan raja iblis: tidak ada jumlah latihan yang dapat mempersiapkan Namajime untuk tidak membuat Kinpatsu-chan sakit hati.

Konflik-konflik lain di dalam judul ini juga menceritakan apa yang betul-betul menyentuh kehidupan sehari-hari kita. Ketika Kouhai berusaha untuk melakukan yang 'terbaik' bagi kafe tempatnya bekerja melalui kerja keras dan reorganisasi segigih mungkin, ia berakhir menyakiti rekan kerjanya dengan memberikan tekanan terlalu tinggi, berseteru dengan pelanggan, dan kolaps di akhir hari. Bukankah ini adalah kritik tentang usaha untuk menggapai posisi yang lebih tinggi, kapital yang lebih banyak, relasi yang lebih luas? Kouhai serupa Icarus yang terbang terlalu dekat dengan matahari, dan seperti Icarus, anda juga sewaktu-waktu bisa jatuh menghantam bumi jika tidak memperhitungkan efek samping dari kerja keras anda! Bagan ini menyampaikan pertanyaan sederhana yang begitu sulit dijawab: segala kerja kita, untuk apa?

Sedangkan hubungan antara Kouhai dan Senpai menyentuh pertanyaan-pertanyaan krusial tentang hal-hal paling personal. Jika kita terlanjur tertarik dengan seseorang yang kita kira kita tidak punya kesempatan, apa yang harus kita lakukan? Setiap usaha untuk mandiri, untuk tidak bergantung pada orang lain dan sebisa mungkin tidak menerima bantuan apa-apa, apakah suatu usaha berdikari atau defense mechanism akibat pengalaman pahit di masa lampau? Apakah kita selalu mengetahui apa tindakan terbaik yang bisa kita lakukan? Sampai mana kejujuran dapat membawa kita, sampai mana juga kelicikan dapat mencapai hal yang sama?

Pertanyaan-pertanyaan ini, sebagaimana dalam judul-judul sejenis, tentu saja tidak selesai. Hanya anda yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, sebab hanya anda yang memiliki informasi cukup untuk menyelesaikannya.
Cigarette and Cherry hanyalah sekadar usaha untuk menggambarkan kehidupan sehari-hari yang penuh masalah tersebut dengan segala ambiguitas dan kompleksitasnya, bahwa manusia seperti ujaran puisi Walt Whitman:

Do I contradict myself?
Very well then, I contradict myself.
(I am large, I contain multitudes.)