Wibu Indonesia telah menyambut generasi baru, yaitu generasi yang lahir dari penyebaran animanga melalui aplikasi yang dikonsumsi secara luas, seperti Netflix. Lahirnya generasi 'wibu Netflix' tersebut menandai penyebaran kewibuan secara masif di tengah masyarakat yang selama ini dicap sebagai normies. Perlahan tapi pasti, hal-hal berbau wibu mulai dapat diterima oleh masyarakat.
Meskipun demikian, 'harapan besar wibu' Indonesia untuk dapat diterima oleh masyarakat sejak lama masih harus menghadapi rintangan. Tidak jarang terdapat beberapa wibu yang cukup reaktif terhadap penyebaran kewibuan ini dan tumbuh menjadi angkuh, menganggap selera dan pengalaman wibu-wibu Netflix sebagai "buruk dan rendah". Hal tersebutlah yang pada akhirnya memunculkan fenomena elitis yang pernah terjadi pada tahun 2014-2016.
Artikel ini akan membahas bagaimana berkembangnya popularitas animanga ini tidak perlu diiringi dengan pengulangan elitisme kacau yang bermunculan ketika animanga mulai populer beberapa tahun yang lalu.
2020: Menyebarnya Wibu secara Masif di Masyarakat Umum

2020 merupakan tahun yang aneh tapi ajaib. COVID-19 memaksa banyak orang untuk secara konsisten beraktivitas dari rumah dan bisa jadi membantu meningkatnya popularitas anime secara luas. Layanan streaming yang dapat diakses seperti mudah, seperti Netflix dan siaran legal di Youtube telah membantu peningkatan popularitas anime di kalangan masyarakat, terutama karena konsumsi streaming meningkat drastis saat pandemi. Karena itu, tidak heran jika kita melihat banyak teman kita yang sebelumnya bukan wibu tiba-tiba berubah menjadi 'penggemar anime' seperti Attack on Titan, Boku no Hero Academia, dan judul-judul lainnya di tahun 2020 ini.
Meningkatnya populasi wibu di masyarakat juga menjadikan 'wibu' sebagai audiens utama baru di media sosial. Secara tidak langsung, hal tersebut akan menarik minat perusahaan atau institusi pemerintah (yang dikenal sangat normies) untuk menarik perhatian dari rising audience tersebut, bukan? Caranya tentu dengan menghadirkan konten-konten berbau wibu.

Sekarang saja sudah terlihat bagaimana media sosial Kemenkominfo membahas Attack on Titan saat vaksinasi Presiden Jokowi kemarin. Atau ketika cosplayer Larissa Rochefort diundang untuk tampil di salah satu acara TV swasta yang dibintangi oleh artis-artis normies dengan orientasi audiens ke masyarakat luas. Tentu dengan hadirnya konten wibu di ranah normies, persebaran kewibuan bisa jadi semakin masif hingga mencapai tahap "dapat diterima di masyarakat".
Namun, kamu pasti sadar bahwa ada segelintir pihak wibu yang merasa tidak sreg dengan meluasnya wibu akhir-akhir ini. Kalau kamu sudah jadi wibu selama lebih dari 5 tahun, mungkin kamu sudah tahu apa yang terjadi.
"Haha, dasar ngikut tren!": Elitisme yang (Kembali) Tumbuh di Kalangan Wibu

Mungkin tidak perlu dijelaskan bagaimana elitisme di dunia wibu berjalan, apalagi kami pernah membahasnya di sini. Semuanya berawal dari oknum-oknum wibu yang ingin mengeksklusifkan diri dari khalayak umum yang dianggap "merusak kemurnian wibu". Cara-caranya tentu mudah sekali dilihat: Dengan bantuan akun media sosial tertentu, oknum-oknum elitis ini mengganggap selera atau pengetahuan animenya lebih tinggi, merendahkan pihak-pihak yang baru mengikuti anime tertentu, atau melabelkan anime tertentu sebagai "rendahan". Semuanya demi menjadi "elite" yang dicitrakan sebagai kelas atas.
Sayangnya, pattern inilah yang kembali ditemui akhir-akhir ini.
Kehadiran wibu-wibu Netflix berkat AoT S4 memunculkan rasa iritasi dari beberapa oknum wibu "generasi lama". Berbekal pemberitaan bahwa "banyak penonton AoT S4 tidak memahami plot AoT seri sebelumnya" dan rumor pemberhentian produksi AoT S4 karena ulah warganet, oknum-oknum ini mulai mencemooh wibu Netflix tersebut sebagai "wibu bohongan", "wibu karbitan", atau "hanya ikut tren saja". Sudah terlihat, kan?
Masalahnya: inginkah kita kembali ke zaman ketika elitisme berkuasa?
2016-2020: Lima Tahun Pengalaman Berharga

Coba kita flashback sejenak ke tahun 2013, tahun ketika otaku dan anime lovers berkuasa. Komunitas wibu saat itu masih sangat beragam: ada yang suka tokusatsu, ada yang suka anime in general, atau ada yang suka genre ecchi. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak wibu-wibu baru berdatangan karena anime populer seperti Sword Art Online atau Attack on Titan S1.
Besarnya jumlah wibu baru saat itu tentu membuat beberapa oknum merasa kurang nyaman dan merasa rendah. Bagaimana solusinya? Mereka mencoba menggunakan identitas "wibu" (yang awalnya berkonotasi buruk) dan dikonstruksi sebagai identitas yang lebih paham anime, lebih berselera, dan lebih superior dibandingkan otaku dan anime lovers pada umumnya. Bagaimana caranya? Mereka menjelek-jelekkan selera anime (SAO dan AoT S1) dari otaku dan anime lovers hingga 'sakit pantat', kemudian membentuk standar anime elit seperti Neon Genesis Evangelion, Banana Fish, atau JoJo Bizarre Adventure.
Dengan kekalahan grup otaku (KOI S2) dalam 'Perang Besar Wibu' tahun 2016, kelompok "wibu" menjadi penguasa diskursus animanga Jepang di Indonesia. Harus diakui pada zaman-zaman ini, penggemar popkultur Jepang semakin lekat dengan identitasnya dan loyalitas fans juga semakin kuat.
Sayangnya, sifat 'wibu' yang sangat tertutup pada masa ini menjadikannya terisolasi dari masyarakat. Kurangnya kontak dengan khalayak umum, ditambah dengan naiknya kelakuan absurd wibu ke permukaan (seperti dakimakura dan jaket ahegao), memunculkan stereotip dan label yang tidak mengenakkan bagi wibu di masyarakat, seperti anggapan mesum, freak, ansos, dan lain sebagainya. Puncaknya adalah dua hal: muncul anggapan bahwa argumen seseorang dengan PP anime itu tidak valid secara internasional dan hinaan 'wibu bau bawang' dari Ericko Lim kepada wibu.

2021: Tahun yang Menentukan
2021 dapat menjadi tahun yang menentukan bagi wibu: apakah wibu dapat diterima secara penuh oleh masyarakat atau kembali lagi sebagai 'sampah masyarakat'. Semua tergantung pilihan kita, apakah kita mau menerima 'wibu Netflix' dengan senyum dan lapang dada atau melabelinya sebagai 'newbie rendahan'.
Kita ibarakan 'wibu Netflix' tersebut sebagai bibit yang baru tumbuh untuk menjadi tanaman yang lebat dan bermanfaat. Agar tumbuh, tentu bibit tersebut harus diberi pupuk, disiram, dan dirawat dengan baik; bukan diinjak, dibakar, atau diberi cacian "kamu kok tidak seperti tanaman yang sudah lebat itu?!"
Ajak 'wibu Netflix' tersebut memahami plot ceritanya dengan baik-baik. Siapa tahu mereka juga tertarik menonton season sebelumnya karena tertarik, kan? Jangan ketika kamu melihat "wibu Netflix" tersebut berkomentar soal anime, kamu langsung buka media sosial, lalu tulis status panjang lebar berisi cacian dan makian terhadap mereka, seakan kamu adalah abang jago di dunia perwibuan.
Toh, bukankah kamu sendiri yang ingin citra wibu lebih bagus di mata masyarakat Indonesia?