Kita tahu bahwa perjalanan popkultur Jepang di Indonesia dan basis penggemar yang mengelilinginya sudah berlangsung selama belasan bahkan puluhan tahun. Selama periode tersebut, penggemarnya (yang sekarang disebut sebagai Wibu) telah memiliki corak khas masing-masing yang berbeda setiap zaman. Namun, harus diingat bahwa setiap yang berawal pasti ada akhir, sama halnya dengan wibu.
Pada tahun 2020, kita sendiri telah merasakan situasi Covid-19 yang menyebabkan berbagai kegiatan kewibuan harus berubah arah: event offline dihentikan, pertemuan dengan kawan wibu harus ditunda, penampilan cosplay menjadi full online, dan sebagainya. Meskipun demikian, tahun 2020 juga memunculkan generasi wibu baru yang berbeda jauh daripada generasi-generasi sebelumnya. Artikel ini akan membahas generasi baru tersebut, ciri dan perbedaan dengan generasi sebelumnya, serta cara menyikapinya untuk kemajuan perwibuan ke depannya.
Sekilas Mengenai "Generasi Sebelumnya"
Penulis mengakui bahwa pengklasifikasian generasi wibu merupakan hal yang cukup sulit dilakukan. Kesulitan tersebut muncul dari tidak adanya standar baku mengenai ciri dan pembeda setiap generasi sehingga penggolongannya menjadi rancu. Namun, setelah menarik garis besar yang peristiwa terlihat, penulis menggolongkan generasi wibu di Indonesia ke dalam empat generasi.
Wibu generasi pertama adalah generasi yang muncul ketika animanga Jepang mulai masuk secara intensif di Indonesia pada tahun 1990-an hingga awal 2000-an, bertepatan dengan booming popkultur Jepang di kancah internasional melalui kesuksesan serial-serial seperti Sailor Moon, Neon Genesis Evangelion, dan serial klasik lainnya yang muncul di kanal televisi Indonesia. Pada periode ini, aktivitas-aktivitas jejepangan, seperti cosplayer dan cover band beraliran J-pop, mulai digemari oleh beberapa kawula muda Indonesia. Event jejepangan juga mulai bermunculan, salah satunya Gelar Jepang (sebelum GJUI). Generasi ini sudah jarang ditemui karena faktor pekerjaan dan usia yang sudah tidak muda lagi.
Perkembangan akses animanga di Indonesia memunculkan wibu generasi kedua, yaitu generasi yang tumbuh pada akhir 2000-an hingga pertengahan 2010-an, utamanya dengan munculnya Sword Art Online (2012) dan Shingeki no Kyojin (2013) yang 'menormalkan' identitas penggemar jejepangan. Generasi ini juga tumbuh pada masa kemunculan event-event jejepangan berskala metropolitan bahkan nasional, seperti Ennichisai (2010), AFAID (2012), dan berbagai acara jejepangan di Mangga Dua. Generasi ini juga tumbuh pada era dimulainya penggunaan media sosial sehingga banyak sekali grup-grup penggemar jejepangan bertebaran di Facebook. Jangan lupa, generasi ini menyebut diri mereka sebagai otaku atau anime lovers.
Interaksi antar penggemar jejepangan yang semakin intensif kemudian menghasilkan wibu generasi ketiga pada pertengahan dekade 2010-an. Ditandai dengan usaha memisahkan diri dari generasi SAO dan SnK, generasi ini mencari alternatif baru di popkultur Jepang sekaligus mencari serial-serial 'lama' yang lebih 'keren' sehingga memunculkan fenomena ngelite di antara penggemar jejepangan Indonesia. Naiknya generasi ini juga ditandai dengan perubahan identitas penggemar dari otaku ke wibu akibat drama KOI S2 (kejadian ini pernah kami bahas di sini). Tidak hanya itu, pada era generasi ini, Comifuro naik sebagai event jejepangan terbesar di Indonesia menggantikan AFAID yang pamornya meredup.
Seperti yang telah disampaikan: setiap awal akan ada akhir, setiap generasi pasti akan ada pengganti. Perkenalkan, konsep yang saya sebut sebagai wibu generasi keempat.
Wibu Generasi Keempat
Wibu generasi keempat, bisa dibilang sebagai generasi wibu yang karakter wibunya bercampur dengan ke-normie-an. Generasi ini tidak memiliki identitas wibu yang khas bahkan cenderung tersembunyi. Kamu akan sulit menemuinya, kecuali jika kamu sudah dekat dengannya. Generasi ini memang mulai sering muncul pada tahun 2020, tetapi sudah dapat ditarik sejak beberapa tahun lalu.
Tumbuhnya generasi ini tidak lepas dari sejumlah perkembangan teknologi internet dan fenomena dunia wibu. Apa saja fenomenanya?
Your Name, Netflix, dan Pandemi

Kemunculan generasi ini tidak lepas dari hadirnya film Your Name, mahakarya Makoto Shinkai, pada tahun 2016 di jaringan bioskop Indonesia. Film tersebut—meskipun kental dengan aroma wibu— berhasil menarik penonton dari berbagai kalangan muda-mudi, termasuk mereka yang non-wibu. Tidak berhenti di situ, serial-serial anime lainnya (seperti Boku no Hero Academia atau Haikyuu) juga berhasil menarik penonton non-wibu lainnya. Film dan anime tersebut, secara tidak langsung, dapat mematahkan stereotip berbagai pihak bahwa anime merupakan kartun kekanak-kanakan atau bahkan mesum.
Tidak hanya itu, layanan streaming film legal Netflix juga menjadi tempat tumbuhnya wibu-wibu baru. Netflix sudah sejak lama membuka layanan untuk streaming anime, tetapi mengalami boom pada 2019 ketika Netflix mulai serius memprioritaskan penayangan anime. Dengan Netflix, anime dapat diakses dengan mudah dari telepon pintar; ini berbeda dengan generasi wibu sebelumnya yang harus mengandalkan tontonan anime dari televisi (dengan banyak cut), DVD bajakan, atau layanan streaming ilegal fansub yang sulit diakses khalayak umum.
Kesuksesan penayangan anime di Netflix juga ditambah dengan kondisi pandemi Covid-19. Aktivitas indoor yang terpaksa dilakukan karena Covid-19 menyebabkan orang-orang mencari sumber hiburan dari internet, salah satunya Netflix. Penayangan anime di Netflix sendiri secara tidak langsung ikut meningkat: menurut NewsBytes, tercatat 100 juta pengguna Netflix telah menjadi penonton anime reguler pada bulan September 2020. Dengan demikian, tidak heran jika banyak orang normies yang beralih menjadi wibu pada 2020.
Sekarang, Semua Orang Bisa Jadi Wibu
Inilah poin utama dari generasi wibu keempat Indonesia: semua orang bisa jadi wibu. Akses anime legal yang mudah membuat setiap orang, terutama kaum urban kelas-menengah yang sering disebut 'normies' dapat mengikuti serial anime tanpa perlu khawatir tertinggal. Selain itu, akses anime legal menghilangkan kekhawatiran HP/laptop terkena malware akibat tidak hati-hati dalam menekan link fansub.
Bebasnya akses menjadi wibu berbeda dibandingkan generasi sebelumnya yang cenderung eksklusif. Umum diketahui bahwa "wibu" berasal dari kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap "berbeda" sehingga mencari hiburan dari animanga. Untuk melindungi hobi mereka, kelompok-kelompok ini kemudian bersama-sama membentuk identitas "wibu" yang membedakannya dari masyarakat pada umumnya. Akibatnya, wibu sempat mendapatkan stigma yang kurang baik dari masyarakat umum, seperti "freak", "mesum", dan lainnya—yang mulai terhapus oleh kehadiran wibu generasi keempat.
...Termasuk Mereka yang Dilabeli Sebagai "Musuh" Wibu
Akses yang terbuka untuk menjadi wibu tidak terbatas kepada normies biasa saja. Sering kali, mereka yang bergabung menjadi wibu generasi keempat adalah mereka yang dicap sebagai "musuh abadi" kaum wibu. Anda sudah tahu siapa yang akan saya sebut: kaum feminis dan progresif yang selalu dilabeli "SJW" oleh sebagian besar wibu.
Bukan rahasia bila banyak wibu yang merasa kesal dengan hadirnya "SJW" di media sosial karena perbedaan nilai. Wibu melihat animanga sebagai media hiburan, tetapi sering mengabaikan isu sosial di balik animanga tersebut. Sementara itu, kaum  progresif melihat berbagai isu marjinalitas dalam animanga, tetapi sering kali menyampaikan agendanya secara keras sehingga mengundang reaksi kurang menyenangkan dari wibu. Akibatnya, clash antara keduanya tidak terhindarkan, seperti insiden Elma Adisya pada CF14.
Yang Harus Dilakukan: Merayakan Perbedaan
Tentu perubahan yang terjadi akan menyebabkan culture shock yang signifikan di dalam komunitas wibu, terutama wibu sebelum generasi keempat. Komunitas wibu yang awalnya eksklusif bagi mereka yang beridentitas "wibu" akan berubah dengan kehadiran wibu yang tidak ingin disebut sebagai "wibu". Kemunculan wibu baru dengan jalan pikir yang sangat terbuka juga berpotensi menciptakan clash dengan wibu lama yang memiliki pemikiran kurang terbuka.
Apa yang harus kita lakukan, apapun generasi wibu kita? Sangat normatif, tetapi harus dilakukan: merayakan perbedaan dan melihatnya sebagai momentum baik untuk kemajuan hal-hal jejepangan di Indonesia. Wibu generasi keempat dapat menerima generasi sebelumnya sebagai kawan (bukan "orang freak") dan menjadi momen untuk menaikkan citra wibu di masyarakat. Selain itu, perbedaan pemikiran antara dua generasi wibu seharusnya dapat dirumuskan bersama-sama agar animanga tetap menghibur, tetapi peka terhadap isu sosial di dalamnya.
Semuanya diperlukan karena kita sama-sama menonton anime yang sama.