Setelah mengunjungi tiga bangsa tanpa membuahkan hasil, Traveler sampai di Sumeru, tanah kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan. Meskipun sempat jatuh sakit di hutan Avidya, ia berhasil sampai di kota Sumeru, tempat di mana perguruan tinggi bergengsi Sumeru Akademiya berada.

Tidak seperti di Inazuma yang perbatasannya dijaga ketat, orang asing diperbolehkan keluar masuk Sumeru, baik untuk berkunjung, belajar, ataupun berdagang. Traveler dan Paimon langsung diberikan Akasha Terminal, sebuah perangkat canggih yang dikenakan di setiap telinga warga Sumeru. Bak Siri atau Google Assistant di dunia nyata, Akasha Terminal dapat menyediakan segala informasi yang membantu keseharian warga Sumeru dan pendatang yang memakainya.

Siapa sangka, di balik perguruan tinggi bergengsi, perangkat canggih, dan keterbukaannya, Sumeru menyimpan borok yang cepat atau lambat akan menghancurkan tatanan masyarakat jika sampai runtuh. Dalam beberapa kasus, bisa dibilang Sumeru lebih kejam dibanding Inazuma yang jelas-jelas menindas rakyatnya sendiri demi alasan 'keabadian'. Apa saja borok tersebut dan seperti apa dampaknya? Dan apakah Sumeru masih bisa diselamatkan?

Ketika Negara Dikuasai Teknokrat

Dulu, Sumeru dikepalai oleh Greater Lord Rukkhadevata, sang dewi kebijaksanaan. Salah satu The Seven generasi pertama, Rukkhadevata mendirikan hutan di antara padang gurun yang gersang agar rakyatnya tetap hidup. Ia juga mendirikan Sumeru Akademiya untuk mewariskan kebijaksanaannya.

Sayangnya, Rukkhadevata tewas saat peristiwa Cataclysm 500 tahun lalu. Lesser Lord Kusanali, yang saat itu baru saja lahir, ditunjuk oleh Akademiya sebagai penerusnya. Karena usianya yang masih belia, para Sage (petinggi Akademiya) menjalankan pemerintahan Sumeru, sedangkan Kusanali ditahan di Sanctuary of Surasthana hingga saat ini.

Sumeru Akademiya, perguruan tinggi paling bergengsi seantero Teyvat.

Sistem pemerintahan yang berjalan di Sumeru saat ini dapat dikategorikan sebagai teknokrasi, di mana jalannya pemerintahan ditentukan oleh para teknokrat – orang-orang yang mempunyai keahlian di bidang sains dan teknologi – alih-alih politikus yang dipilih oleh rakyat. Hal ini terlihat dari para petinggi Akademiya yang menjalankan berbagai aspek pemerintahan sesuai dengan bidang yang mereka kuasai, tanpa melalui proses demokrasi yang ruwet.

Sekilas, teknokrasi ini tampak seperti sistem pemerintahan yang ideal, di mana jabatan pemerintahan ditentukan berdasarkan keahlian di bidangnya, bukan lobi politik (ehem, Kominfo). Karena teknokrat ini punya keahlian di bidang tertentu, ia dapat lebih menyelesaikan masalah secara efektif dan efisien.

Sayangnya, sistem pemerintahan teknokrasi bukanlah tanpa cela. Meskipun para teknokrat ini adalah orang-orang ahli, mereka tetaplah manusia yang mempunyai kepentingannya sendiri. Jika jatuh ke tangan yang salah, para teknokrat ini bisa memanfaatkan ilmu pengetahuan yang mereka miliki untuk membuat berbagai kebijakan tanpa persetujuan rakyat yang dipimpinnya. Para teknokrat ini menjadi 'si paling tahu', menganggap rakyat banyak 'tak sepintar dirinya' dan menafikan pendapat mereka.

Akasha Terminal, atau 'Internet' Rakyat Sumeru

Kembali ke Akasha Terminal. Perangkat canggih yang dimiliki setiap warga Sumeru ini awalnya diciptakan oleh Rukkhadevata agar rakyat Sumeru bisa pintar seperti dirinya. Di tangan petinggi Akademiya, Akasha dikembangkan lebih jauh hingga menjadi yang kita kenal saat ini.

Setiap rakyat Sumeru, tua atau muda, bangsawan atau rakyat jelata, dibekali dengan perangkat yang disebut Akasha Terminal. Sistem ini mampu mengenal usia, jenis kelamin, pekerjaan, hingga status sosial pengguna, di mana informasi ini dibutuhkan untuk menentukan informasi mana yang boleh diakses dan mana yang tidak.

Mendengar penjelasan mengenai sistem Akasha di atas, tentu Anda familiar dengan cara kerjanya, dan mungkin sudah berada di dalam realita di mana sistem serupa telah berjalan.

Selamat datang di Internet. Inilah teknokrat kita di dunia nyata.

Ya, selamat datang di Internet. Tempat di mana saya, kalian, dan semua orang saling berbagi informasi. Akasha Terminal adalah perangkat digital kalian (komputer, hape, dll). Sistem Akasha adalah sumber informasi kalian, dan teknokrat Sumeru adalah Google, Meta, Amazon, dan perusahaan big tech lainnya. Mereka mempunyai sistem AI yang mampu membaca keinginan dan tingkah laku kalian, serta memberikan informasi sesuai yang kalian inginkan, terlepas benar tidaknya informasi tersebut.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, teknokrat, sebagaimana halnya manusia, mempunyai kepentingannya sendiri. Tentu Anda sudah familiar dengan hukuman zucc yang berlangsung hingga 30 hari. Ya, itulah hukuman jika Anda berani melawan prinsip pemiliknya, yang tentu ingin menggaet cuan sebanyak-banyaknya dari pengiklan. Postingan karya kalian yang 'tenggelam' oleh algoritma juga bagian dari hukuman teknokrat Zucc untuk Anda, yang tak mau beriklan di platform miliknya.

Hal yang sama juga saat ini berlangsung di Sumeru, tentunya dengan cara lain. Jika Anda mengingat momen di mana Nilou ditegur oleh Azar (Grand Sage Sumeru Akademiya) karena mengadakan Sabzeruz Festival, Azar mengucap "Rayakan saja festivalnya di mimpimu sendiri!". Kata-kata ini mengungkap niatan Akademiya untuk memberikan hukuman bagi mereka yang tak sejalan dengannya.

Sumeru, di mana Rakyat Tak Bermimpi

"Di Sumeru, rakyatnya tidak pernah bermimpi." Kalimat ini sering dilontarkan oleh rakyat Sumeru dan menjadi sumber kebanggaan mereka sebagai orang yang dewasa dan rasional, secara hanya anak kecil yang bermimpi di sana. Usut punya usut, kalimat ini adalah bagian dari propaganda Akademiya untuk menyembunyikan niat busuk mereka.

Nilou ditegur oleh Azar, dan Sabzeruz Festival terpaksa dibubarkan.

Rakyat Sumeru, tua atau muda, sebenarnya bermimpi. Namun, mimpi mereka disedot setiap malamnya oleh Akasha Terminal, yang kemudian mimpi ini dijadikan sumber informasi sistem Akasha. Belum diketahui alasan pasti mengapa Akademiya berniat melakukan hal ini, tetapi ada kemungkinan bahwa proyek ini semata-mata dilakukan untuk mempertahankan kedudukan Akademiya sebagai penguasa de facto Sumeru, dan menyingkirkan peran Kusanali dalam prosesnya.

Kezaliman petinggi Akademiya juga terlihat dalam kebijakan yang mereka buat untuk rakyat Sumeru. Rakyat Sumeru hanya diperbolehkan untuk memperoleh informasi dari Akasha Terminal, tidak dari sumber lain. Informasi dikontrol ketat, dan hanya orang tertentu yang boleh mengakses informasi tertentu.

Kebijakan indoktrinasi ini membuat rakyat Sumeru sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk memberontak. Lagipula, mereka hanya rakyat biasa yang tak tahu apa-apa. Sungguh sebuah ironi untuk negara yang mengagungkan kebijaksanaan.

Sumeru, Bom Waktu yang Siap Meledak

Bicara soal tirani, tentu kalian membandingkan Sumeru dengan Inazuma. Negara yang ditutup dari dunia luar, pemerintah yang menyita hak rakyat, melangsungkan perang yang tak berkesudahan, di saat yang sama juga bertikai dengan sesamanya.

Sekilas, Anda akan menilai Inazuma lebih kejam dibanding Sumeru. Namun, ada hal fundamental yang membedakan keduanya. Rakyat Inazuma sadar betul akan kondisi negaranya saat itu, sehingga mereka masih sempat untuk melakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat. Berbeda dengan Sumeru, di mana rakyatnya merasa semuanya baik-baik saja, sampai dunia yang saat ini mereka tinggali hancur di mata mereka sendiri tanpa persiapan yang berarti.

Ada salah satu kelemahan fatal dari sistem Akasha, yang selama ini biasa digunakan oleh rakyat Sumeru. Sistem Akasha ditenagai oleh gnosis Dendro. Jika gnosis Dendro ini sampai jatuh di tangan yang salah, mereka dapat mengendalikan pikiran seluruh rakyat Sumeru, bagaimanapun mereka mau.

Penulis tidak tahu apakah petinggi Akademiya paham betul situasi politik negara lain. Gnosis Anemo dan Geo sudah berada di tangan Fatui. Gnosis Electro saat ini dibawa kabur oleh Scaramouche, harbinger Fatui ke-6. Terlebih, ada satu karakter yang kebetulan juga harbinger Fatui, jebolan Akademiya, dan memiliki dendam khusus dengan Sumeru dan petingginya.

Il Dottore, salah satu jebolan Akademiya yang siap menghancurkan Sumeru.

Perkenalkan, Il Dottore. Umum dikenal sebagai mad scientist, ia sejak awal berambisi untuk menciptakan manusia yang kekuatannya melebihi dewa. Setelah ditendang dari Sumeru Akademiya, ia banyak melakukan eksperimen terhadap manusia, di mana Collei adalah salah satu korbannya. Ia juga berperan dalam membuka segel Scaramouche dan memodifikasinya hingga menjadi seperti saat ini.

Salah satu minat Dottore adalah merenggut mimpi dan orang yang dapat mengendalikannya. Kita juga sudah tahu siapa orang yang dimaksud. Tidak lain adalah Kusanali, Akasha Terminal pertama, Dendro Archon itu sendiri. Sumeru benar-benar dalam bahaya!

Semoga Sumeru Baik-baik Saja

Saat artikel ini ditulis, Genshin Impact baru saja merilis versi 3.0. Nilou baru saja terbangun dari mimpinya, dan festival Sabzeruz yang telah berlangsung berulang kali telah berakhir. Namun, petaka tanah Sumeru belum berakhir. Traveler masih harus mencari kenapa petinggi Akademiya melakukan semua ini, dan mungkin berhadapan dengan Fatui dalam prosesnya. Entah di versi 3.1 atau 3.2 nanti.

Lelah membaca artikel yang berat ini? Lihat, ini Aranara.

Sumeru adalah bumi yang indah. Dari bentang alamnya yang memukau mata, orang-orang yang ramah, hidangan yang enak, juga legenda yang menarik seperti makhluk Aranara. Sangat disayangkan bila negara ini luluh lantak, tapi memang sudah saatnya rakyat Sumeru terbangun dari mimpinya.