Tutupnya platform streaming anime legal Ponimu pada awal tahun 2020, merupakan kondisi yang memprihatinkan. Sepinya pengunjung serta banyaknya penikmat anime yang lebih memilih anime bajakan, turut serta mendorong penutupannya.
Namun yang perlu kita kritisi disini bukan masalah Ponimunya, tapi pola pikir kita yang menganggap lumrah segala bentuk pembajakan. Anggapan bahwa “kalau ada yang gratis mengapa harus bayar” umum di masyarakat, maka dari itu platform seperti Ponimu tidak dapat berkembang.
Fansub, Kamu Ilegal tapi Berpengaruh
Harus diakui, tanpa kehadiran para fansub, budaya jejepangan tidak akan berkembang seperti saat ini. Saya, kamu, dan ribuan wibu di luar sana, takkan menjadi wibu tanpa kehadiran fansub-fansub ini.
Tujuan awal fansub untuk meberikan sulih bahasa tanpa monetasi, bisa dikatakan sudah hilang. Fansub dewasa ini berlomba lomba mengejar pendapatan besar lewat iklan yang sangat banyak di web mereka, dengan dalih membiayai perawatan server web. Meskipun demikian, beberapa fansub masih tetap memegang prinsip fansub yang sesungguhnya.
Bisa dibilang, fansub sangat berperan dalam penyebaran tayangan ilegal. Produk fansub berupa subtitle, dengan atau tanpa video, merupakan produk jadi yang bisa disebarluaskan siapa saja untuk menikmati tayangan ilegal, sekalipun fansub itu hanya hobi tanpa embel-embel mencari uang sedikitpun.
Hadirnya fanshare yang dianggap musuh oleh beberapa fansub, malah ikut menambah tingkat penyebaran anime ilegal. Bedanya, fanshare tidak membuat sulihan sendiri, tapi mengambil dari fansub yang sudah menyulihnya terlebih dahulu. Suatu hal yang aneh, mengingat pembuat fansub juga tidak membeli lisensi anime aslinya. Maling teriak maling, istilahnya.
Sebuah Pola Pikir yang Salah
Tahun 2010-an ke atas, jumlah situs penyedia layanan tontonan bajakan, termasuk anime, meningkat drastis. Hal ini justru mendapat apresiasi, khususnya dari masyarakat Indonesia. Bioskop yang jauh dan harga film aslinya yang mahal menjadi dalih konsumen "rakyat kecil".
Bicara soal anime, ada satu alasan yang masih valid. Anime yang tayang di stasiun televisi lokal sangat sedikit. Kalaupun mau yang lebih bervariasi, harus berlangganan TV berbayar. Orang-orang yang tidak mampu berlangganan, lebih memilih menonton bajakan dari Internet atau membeli kaset seharga Rp 5.000 per keping ketimbang menonton anime yang itu-itu saja dari TV.
Berbeda dengan kualitas DVD bajakan yang sering "macet-macet" gambarnya, anime-anime dari fansub dan fanshare memiliki kualitas gambar yang jernih. Hanya mengetik kata kunci anime yang ingin kita tonton, hampir semua fansub atau fanshare yang memiliki file anime itu muncul. Memang, masih ada tumpukan iklan mengganggu yang harus ditembus. Namun semua itu masih lebih mudah dan murah dibanding mengeluarkan uang untuk berlangganan TV berbayar. Dari hal ini mulai bermunculan semboyan: "Ngapain bayar kalo bisa nonton gratis."
Ponimu Tak Sepenuhnya Salah
Mari kita bahas tentang Ponimu, platform yang menjanjikan perubahan, perubahan kebiasaan menonton anime dari ilegal jadi legal. Hadir pada tahun 2018, saya rasa waktunya kurang tepat. Penggemar anime di Indonesia yang notabene terbiasa menonton gratisan, akan sulit beralih ke Ponimu.
Di saat akhirnya, Ponimu hanya membawa 14 judul saja. Judul-judul anime yang disajikan pun bukan yang tengah digemari para wibu di masa itu. Pengecualian untuk Girls und Panzer dan Detective Conan yang cukup terkenal, tapi ya.. Sudah ada juga di situs bajakan, dengan kualitas yang sama, dan gratis.
Terlepas dari koleksi Ponimu yang jujur, sedikit dan kurang memikat, membawa 14 judul anime legal langsung dari Jepang memang tidak mudah, dan juga tidak murah. 14 judul anime sudah menjadi awal yang bagus, lebih bagus daripada tidak sama sekali.
Salah satu nilai jual Ponimu selama berbisnis di Indonesia ialah mempromosikan anime legal dan tanpa iklan, itu saja. Bagai embel-embel "karya anak bangsa", kata "legal" tanpa disandingkan dengan keunggulan nyata, tak ada artinya. Masyarakat Indonesia yang lebih mengedepankan price to peformance akan menganggap Ponimu tidak worth it. Sudah berbayar, pilihan tontonannya sedikit.
Sebagai langkah pamungkasnya, Ponimu membuat keputusan untuk menggratiskan layanannya (dengan pilihan premium tentunya). Hal ini membuat Ponimu terpaksa memasukkan iklan agar pundi uang tetap mengalir. Sebuah keputusan yang sekaligus mengikis keunggulan yang selama ini ia galangkan.
Saat ini, Ponimu memang masih menjalankan bisnisnya, meskipun ia pindah ke belakang layar. Ia menjadi perantara untuk layanan streaming yang hendak menayangkan anime dalam layanannya. Layanan streamingnya sendiri sudah dimatikan sejak awal Januari lalu.
Layanan Anime Legal, Masih Ada Harapan?
Menyerahnya Ponimu dalam perang akbar memberantas anime bajakan adalah suatu hal yang sangat disayangkan. Meskipun demikian, hal ini bukanlah akhir dari semuanya.
Masih ingat Ponimu masih berjalan di belakang layar? Hal ini terlihat jelas di Genflix, situs layanan streaming berbagai acara serial dan film. Meskipun bukan ekslusif untuk anime, jejak-jejak Ponimu masih tampak jelas di sini. Girls und Panzer, Ms. Vampire, Canaan, dan Detective Conan, keempatnya merupakan anime yang pernah tayang di Ponimu. Harga langganannya juga terjangkau, Rp 50.000 per bulan.
Selain Genflix, ada pula Gojek. Ya, jasa ojek online yang kini menjelma menjadi raksasa layanan utilitas masyarakat, juga tertarik menyelami bisnis layanan streaming melalui GoPlay. Beberapa waktu lalu, Cool Japan Fund menyuntikkan dana Rp 700 miliar ke Gojek. Dengan demikian, Goplay akan menayangkan berbagai tayangan dari Jepang, termasuk anime. Beberapa anime yang sudah tayang di sini adalah Eden of the East, Princess Jellyfish, dan yang paling seru, One Piece dan Attack on Titan!
Salah satu penyebab dari sulitnya layanan streaming legal berkembang adalah metode pembayaran, salah satu hal yang menghambat Ponimu berkembang. Hal ini tak menjadi masalah di Genflix dan GoPlay. Di Genflix, tersedia metode pembayaran potong pulsa dan voucher e-commerce. Goplay menggunakan metode pembayarannya sendiri, apalagi kalau bukan GoPay. Keberadaan GoPay yang kini sudah menjadi hal yang esensial dalam kehidupan, membuatnya berguna untuk berlangganan Goplay dan juga hal lain.
Memang, koleksi anime di kedua platform tersebut memang masih sangat sedikit. Meskipun demikian, masih ada harapan untuk menonton anime secara legal, terlebih Gojek sudah turut terjun dalam bisnis ini. Nama besar Gojek sebagai salah satu dari tiga decacorn Asia Tenggara bisa menjadi nilai lebih saat bernegosiasi dengan pemilik lisensi.
Saat ini, penyedia layanan anime bajakan masih nyaman duduk di singgasananya. Entahlah dua atau tiga tahun lagi, tapi bukan tidak mungkin anime legal bisa memikat hati wibu-wibu Nusantara. Lihatlah penyedia lagu-lagu bajakan, keberadaan mereka kini tergerus oleh Spotify. Spotify ada yang gratis dan berbayar, tetapi orang-orang tetap mau membayar, menjadi simbol pergaulan milenial di akhir dekade 2010-an.
Lantas, apa yang kita bisa lakukan saat ini? Menunggu, sembari menonton anime.