Cukup tergelitik rasanya ketika saya membaca beberapa postingan maupun meme dari Izumi akan perilakunya yang (bagi sebagian kalangan) menggelikan dalam 可愛いだけじゃない式守さん (Kawaii dake ja nai Shikimori-san/Shikimori’s Not Just a Cutie). Banyak yang menghujat bahwa dia sama sekali tak pantas dijadikan sebagai karakter utama akibat tingkahnya yang tak mencerminkan laki-laki seharusnya dalam sebuah anime.

Sifatnya yang terlalu lembek, ceroboh, dan terlalu gemulai membuatnya terlihat tak maskulin sama sekali. Namun apakah perlu dihujat seperti itu?

Sifatnya yang Masih Labil Harusnya Bisa Dimaklumi

Pada dasarnya, latar anime ini lebih menitikberatkan ke masa-masa sekolah SMA yang notabene memang ada di masa-masa labil. Masa remaja yang memang bertumbuh pesat dan mulai timbul perasaan emosional apapun dalam diri. Jeleknya, situasi emosional ini masih dalam fase awal dan sulit untuk dikendalikan.

Hal tersebutkan diatas juga terjadi pada Izumi dalam masa remajanya. Sikapnya yang ceroboh sangat mencerminkan akan hal dimana anak-anak remaja masih kesulitan untuk mengambil keputusan sigap dan cepat. Dalam pandangan para penonton mestinya ia bisa lebih gegas dalam menghadapi masalah sepele dalam menghindar dari bola yang hampir mengenai kepalanya, atau bahkan garpu yang hampir menusuk wajahnya, sebagai contoh.

Berkaitan dengan masalah pertama diatas, terlalu tenggelam dalam percakapan dibandingkan memperhatikan lingkungan sekitarnya juga menjadi masalah Izumi. Nyatanya, pada masa remaja ini juga menjadi titik tumpu dimana kebanyakan seusianya berusaha menjadi bagian dari masyarakat dengan membangun komunikasi yang baik terutama dengan teman sebayanya dibandingkan dengan orangtua (Papalia & Olds, 2001).

Sikap Izumi yang terlalu baik dalam berteman juga sangat menggambarkan usahanya agar ia bisa diterima dan menjadi bagian dari lingkungan sekolahnya. Lingkungan sekolah ini lebih dititikberatkan pada kehidupan pertemanannya dengan Inuzuka, Hachimitsu, dan juga Shikimori sendiri sebagai pacarnya.

Masalah akan Izumi yang mudah menyerah dan gampang menangis ini lumrah juga terjadi pada masa remaja. Izumi masuk dalam masa ’Storm and stress’ dimana dalam keadaan ini juga remaja akan mengalami kegoncangan emosi yang disebabkan oleh tekanan-tekanan dan ketegangan dalam mencapai kematangan fisik dan sosial (Slavin, 2000).

Perubahan emosi ini semestinya adalah hal yang normal dan bagian fase dari proses evolusi neurobiologis (Langer, 1982) serta memiliki pengaruh signifikan terhadap aspek kehidupan seperti perilaku, sikap, dan penyesuaian pribadi dan sosialnya (Hurlock, 1999).

Kenapa Harus Se-toksik Itu, sih?

Sayangnya, perilaku sebagian penonton (dan para “kritikus”) tak ada yang berusaha memahami apa masalah yang muncul dalam diri Izumi. Hanya karena dia cukup emosional dan kemayu sebagai seorang lelaki, seharusnya ia bisa menjadi lebih gegas dan lebih bisa mendominasi Shikimori dalam berbagai hal. Bukannya menjadi lebih lembek dan terlihat memalukan seperti perempuan. Iya, kan?

Namun, sikap para kritikus ini terlalu berlebihan. Kritik yang dilontarkan cenderung mengarah ke bagaimana seharusnya laki-laki (untuk seukuran Izumi) bersikap maskulin terhadap perilaku hidupnya. Bukannya menjadi cengeng dan lebih banyak minta maaf.

Perilaku mereka ini sejalan dengan pernyataan sikap akan toxic masculinity yang dianggap sebagai membangun karakter laki-laki yang cenderung regresif dan menjadikannya cukup tertekan (Hendriksen, 2019) dimana seharusnya maskulinitas laki-laki memiliki dominasi dan devaluasi akan perempuan, memiliki sikap homofobia, dan kekerasan tanpa alasan (Kupers, 2005).

Saya cukup bisa memaklumi ketika memang suguhan anime dengan karakter utama laki-laki harus memegang peran cerita secara dominan masih terlalu sering dijumpai, dan kita secara konstan dicekoki akan plot alur yang seperti itu. Sebutlah seperti yang tertuang dalam genre mecha, tokusatsu, atau bahkan hingga slice of life dalam jumlah yang sangat bertubi-tubi selama bertahun-tahun belakangan.

Namun, hanya karena memang Indonesia masih memiliki gaya hidup patriarki dimana laki-laki menjadi tumpuan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, bukanlah menjadi sebuah alasan untuk menghujat Izumi dengan tingkah kemayu yang tidak sesuai dengan harapan penonton.

Ingatlah, dia masih remaja. Izumi masih berhak untuk mengekspresikan emosinya karena memang dia sedang membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih positif. Sikap ini tidak hanya berlaku untuk dia yang seumuran remaja, kita sebagai manusia dewasa juga masih memiliki hak untuk itu, karena nyatanya apa yang diujarkan Langer sebelumnya mengenai evolusi emosional memang terjadi setiap saat dan benar adanya.

Dalam prosesnya, Izumi juga memiliki sikap positif yang selalu berusaha lebih baik dalam mengatasi setiap masalahnya. Izumi yang berusaha agar selalu bersiap menghadapi kejadian agar meminimalisir masalah yang timbul ketika kencan dengan Shikimori (meski gagal juga) adalah satu hal yang mesti bisa diapresiasi.

Takut nonton horor bagi lelaki itu lumrah. Sama-sama manusia juga, kok.

Memberanikan diri menonton film horor (yang mungkin bukan genre kesukaan Izumi) meski akhirnya malah menjadi bumerang bagi dirinya adalah sebuah tindakan yang berani. Mengekspresikan diri akan rasa senang bersama Shikimori selama menonton film horor dan menjadikan Izumi menjadi lebih stabil dan tenang juga adalah hak yang harusnya bisa diakui dan diekspresikan bebas.

Sikap toxic masculinity ini sendiri cukuplah berbahaya karena pada dasarnya permasalahan sosial saat ini bukanlah karena lelaki terlalu maskulin, nyatanya lelaki masih dianggap jauh dari kata maskulin oleh masyarakat. Dengan menjadikan lelaki mengambil sikap alamiahnya yang lebih agresif, mengintimidasi dan lebih keras (dalam usaha mendominasi kehidupan bermasyarakat) (Caraballo, J.-E., 2019) malah menjadikannya lebih tidak terkendali dan merusak tatanan sosial.

Bukan, saya tidak mengajarkan kalian para pembaca (terutama laki-laki) menjadi lebih feminim (seperti halnya diam-diam kalian menyukai femboy tapi membenci perilaku homo). Melainkan seharusnya mengajarkan bagaimana caranya “mengendalikan sikap maskulin ini bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan kehidupan sosialnya” seperti layaknya mengasah pisau dan menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat.

Penutup

Sepertinya sudah terlalu panjang membahas akan urusan kurangnya maskulinitas dalam diri Izumi. Namun dengan mengekspresikannya berlebihan menjadikan penonton mengkritisi sikap Izumi ini tentu terlalu brutal dan secara tidak langsung menyuburkan budaya toxic masculinity. Dengan imej yang dilabelkan oleh penonton menjadikan bahwa lelaki selalu dikritisi karena kurang maskulin dari tahun ke tahun, ini bukanlah hal baik.

Dia butuh istirahat dari usahanya, bukan dihujat.

Hanya karena ia lembek, bukan berarti hanya Izumi yang layak menjadi bahan hujatan. Shinji Ikari dalam Evangelion harusnya mendapat perlakuan hujatan sama karena memang sikap maskulinitas yang terlalu dipaksa mengendalikan EVA-01 berkat tekanan ayahnya yang terlalu agresif dan ambisius. Pun begitu dengan Kazuya dan tingkahnya yang labil naik turun (meski usianya jauh lebih tua dibanding Izumi) harusnya dicaci lebih keras lagi dalam Rent-a-Girlfriend.

Semua karakter utama anime diatas memiliki masalah dalam mengekspresikan diri dan sikap sebagai lelaki dalam karakter utamanya. Permasalahan itu harusnya menjadi hal yang mesti dicari solusinya dalam pengaplikasian di dunia nyata.

Saya rasa, Keigo Maki selaku author dalam serial ini cukup sukses menjadikan masalah lelaki kemayu sebagai kanvas dasar membahas masalah kurangnya maskulinitas yang jarang digaungkan. Termasuk menunjukkan bahwa budaya toxic masculinity yang terbentuk dari sikap penonton terhadap Izumi masihlah cukup tinggi meski tertutup cukup rapi dalam lingkungan sosial.

Sumber pustaka:
Slavin, R. E. (2000). Educational psychology: Theory and practice (6th ed.). Boston: Allyn & Bacon.
Papalia, D.E., Olds, S.W. and Feldman, R.D. (2001) Human Development (8th Edition). Boston: McGraw Hill.
Hendriksen, E. (2019, May 3). How to Fight Toxic Masculinity. Diambil tanggal  1 Juni 2022, dari Quick and Dirty Tips website: https://www.quickanddirtytips.com/health-fitness/mental-health/fight-toxic-masculinity?utm_source=sciam&utm_campaign=sciam
Kupers, T. A. (2005). Toxic masculinity as a barrier to mental health treatment in prison. Journal of Clinical Psychology, 61(6), 713–724. https://doi.org/10.1002/jclp. 20105.