Kita tidak bisa memiliki keabadian. Kita hanya bisa memahami hidup kita—hari ini, bulan ini, tahun ini—relatif dengan apa yang terjadi kemarin dan besok, bukan konsep terlampau abstrak seperti 'keabadian'. Ciri khas intrinsik manusia adalah ia tidak hidup selamanya, dan kebergunaan hidup manusia bergantung dari fakta bahwa kita tidak hidup selamanya.

Frieren, di dalam manga Sousou no Frieren karya Kanehito Yamada dan Tsukasa Abe, memahami ini. Ia seorang elf yang hidup ratusan, jika tidak ribuan tahun. Sousou no Frieren membawa tema 'umur' dan 'kematian' sebagai tema utama: sedangkan Frieren adalah seorang elf, banyak tokoh lain (Stark, Himmel, Fern, Heiter) adalah seorang manusia. Seribu tahun bagi umat manusia adalah sejarah yang panjang—seribu tahun adalah jarak bagi awal dari Kerajaan Inggris, Kemaharajaan Inggris Raya, sampai keruntuhannya sebagai imperium dunia. Seribu tahun, bagi Frieren, adalah satu kehidupan. Frieren memahami seribu tahun sebagaimana kita memahami 80 tahun, dan sebagai konsekuensinya, memahami tiga bulan seperti tiga hari, seminggu seperti semenit.

Tetapi sebelum tulisan ini berusaha mengeksplor lebih lanjut bagaimana waktu, kematian, dan keabadian dijelaskan dalam Sousou no Frieren, mungkin saya perlu menjelaskan terlebih dahulu apa yang berusaha diceritakan oleh manga ini tanpa spoiler. Tulisan ini berfungsi ganda: untuk menginvestigasi tema-tema di dalamnya bagi mereka yang telah mengikutinya, dan mengajak mereka yang belum agar turut serta membaca. Oleh karena itu, anda dapat membaca artikel ini sebagai introduksi sebelum membaca Sousou no Frieren.

Demon King sudah tidak ada di awal cerita, bukan di akhir, dikalahkan oleh party milik Frieren. Sebab manusia bergerak dengan cara yang berbeda, teman-teman Frieren melanjutkan hidup sebermanfaat dan berguna mungkin sebelum kematian mereka, sedangkan Frieren menganggap perjalanan sepuluh tahun mengalahkan Demon King hanya satu masa kecil dalam hidupnya yang panjang. Ia melanjutkan hidup melakukan hal-hal biasa yang dilakukan sebelum perjalanan, sebagaimana kita melanjutkan hidup seperti biasa setelah libur akhir pekan.

Pada akhirnya, Frieren akan melihat teman-temannya meninggalkannya (Himmel, Heiter, Eisen), dan sebagai gantinya teman-teman baru akan mendampinginya (Fern, Stark). Pada gantinya, perjalanan baru juga akan berlangsung menggantikan perjalanannya mengalahkan Demon King, melewati berbagai kota dan warga, masalah-masalah baru dan tantangan baru. Ia membawa Fern, seorang mage muda, dan Stark, seorang ksatria muda. Maka perjalanan dimulai.

Party baru Frieren.

I. Waktu

Bagaimana kita memahami waktu? Manusia memahami waktu relatif dengan posisi lain, dengan kata lain, kita memahami 'sekarang' relatif dengan 'masa lalu' dan 'masa depan'. Hanya dari sana kita bisa memahami waktu. Dengan kata lain, kita hanya bisa memahami dan menghargai kita yang hari ini, misal, mendapatkan kenaikan gaji, dengan membandingkannya baik itu ke masa lalu (lebih tinggi) atau masa depan (kurang).

Maka memahami waktu serta menghargai kehidupan di dalamnya menjadi relatif terhadap sejauh mana kita hidup. Jika kita hidup selama sepuluh tahun, maka wajib belajar sembilan tahun tentu tidak masuk akal: hanya pada tahun terakhir hidup kita akan 'siap' untuk menjalani 'kehidupan' yang tinggal sepersepuluh itu. Sebaliknya, bekerja selama tiga puluh tahun (20-50) cukup normal bagi manusia yang berekspektasi akan hidup selama 80 tahun. 20 tahun pertama habis untuk masa pertumbuhan dan pendidikan, 30 terakhir digunakan untuk menikmati dan menjaga diri. Namun jika kita hidup selama 500 tahun, 30 tahun bekerja tidak lebih dari suatu magang—setelah masa itu berakhir, kita tidak dihadapkan dengan pensiun, melainkan kerja-kerja lain.

Frieren memahami ini, dengan dua cara yang berbeda.

Pertama, ia memahami waktu dengan menyadari bahwa orang-orang di sekelilingnya akan hilang dan muncul, maka ia tidak perlu repot-repot menganggap apa yang ia lakukan sebagai sangat berguna atau memiliki makna agung. Masa sepuluh tahun baginya diisi sebagaimana kita mengisi waktu satu bulan: mungkin cukup untuk mempelajari kemampuan baru, namun tidak lebih. Oleh karena itu, ia tidak ambil pusing bahwa teman-temannya—Himmel, Heiter, Eisen—akan mendahuluinya. Toh dalam mayoritas hidupnya ia sendiri, dan kecuali jeda sepuluh tahun tersebut, akan sendiri lagi.

Kedua, ia memahami waktu dengan menyadari bahwa orang-orang di sekelilingnya akan hilang dan muncul, maka ia perlu menghargai hidup sepenuhnya dan memahami orang-orang di sekitarnya. Ketika Frieren menyampaikan bahwa perjalanan baru mereka akan memakan waktu puluhan tahun, ia menyampaikan bahwa waktu itu cukup singkat—bagi Fern, 'setengah hidupnya'; Ketika Stark mengatakan ia sudah tinggal selama tiga tahun di suatu desa, baginya itu sama saja 'selamanya'—bagi Frieren, 'sementara'.

Ia lebih memaknai bagaimana dirinya sendiri seharusnya menghargai waktu—sebab Fern dan Stark akan meninggalkannya seperti Himmel dan Heiter. Ada suatu penyesalan di dalam Frieren yang selama ini tidak menganggap apa yang dilakukan oleh manusia merupakan hal yang signifikan, bahwa apa yang menjadi motivasi Himmel atau Heiter merupakan hal yang perlu dipikirkan lebih lanjut. Sousou no Frieren, pada esensinya, adalah kisah seorang elf yang berusaha menebus penyesalan tersebut—dengan mengulang kisahnya, namun kini membawa masa lalunya bersama Himmel dan Heiter untuk hadir di hari ini.

Elf dan Manusia.

Meskipun begitu, 'masa lalu' mudah dilupakan dalam manga ini. Begitu pula 'masa depan'—seringkali kita lupa sebenarnya apa tujuan akhir dari Frieren, Fern, dan Stark untuk berkelana. Kealpaan ini disengaja: Frieren ingin mengajak kita untuk memahami hari ini dengan tidak membandingkannya dengan masa lalu atau masa depan, melainkan dengan apa yang kita rasakan hari ini. Apakah mencari sihir untuk menyuci piring secara otomatis membantu Frieren dalam skenario yang lebih luas? Belum tentu, tapi tidak berarti bahwa sihir kecil-kecilan itu berguna dan menyenangkan untuk dieksplor.

Frieren selalu menekankan bahwa kegunaan sihir adalah seringkali bukan untuk mengejar pasangan, atau untuk mendapatkan kekuasaan, atau untuk mengejar keagungan, tetapi kegunaan sihir begitu praktis tentang hari ini, saat ini, apa yang bisa kita lakukan dengannya sekarang. Oleh karena itu, apa yang menyenangkan dari sihir bukanlah bahwa ia bisa mengantar penggunanya ke pasangan, kekuasaan, atau keagungan—melainkan saat sihir itu ditemukan dan digunakan, saat itu juga.

Dengan pola pikir seperti itu, kematian tidak sepele maupun agung: kematian adalah biasa.

II. Kematian

Mungkin apa yang dirasakan oleh Frieren adalah sebaiknya kita kita tidak usah dan tidak boleh membandingkan hidup ini dengan keabadian, baik itu dalam bentuk umur alam semesta atau skema kosmos tertentu. Relatif dengan keabadian, tidak ada kegiatan yang berguna. Dua ribu, seribu, lima ratus, apalagi hanya lima puluh tahun merupakan periode yang tidak akan berguna, seperti sepuluh detik yang dihabiskan untuk berjalan lima langkah di pinggiran jalan.

Dari sini muncul banyak kecemasan kontemporer: kalau ternyata alam semesta berumur milyaran tahun, kalau ternyata kehidupan manusia hanyalah suatu kebetulan yang hampir-hampir tidak mungkin, kalau ternyata kita dapat dengan mudah menghilang semudah kita hadir, maka dari mana kita bisa mendapatkan 'makna' untuk hidup? Bukankah pada akhirnya, relatif dengan skema lebih besar, apapun yang kita lakukan di muka bumi tidak memiliki 'arti'? Bukankah kita semua akan meninggal dunia?

Frieren menolak ini kencang-kencang, begitu juga hampir semua tokoh di dalam semesta tempat Frieren berada. Bagi Frieren dan koleganya, dan setiap orang yang mereka lewati, hidup sebaiknya dimaknai dengan menjalankan hari ini, bukan dengan membayangkan kematian.

Tidak ada ilustrasi yang lebih gamblang menjelaskan hal ini alih-alih bagaimana seorang 'pahlawan' yang sudah dilupakan semua orang—sebab ia hidup ribuan tahun yang lalu—dan hanya bertahan lewat memorabilia dan patung-patung, ternyata masih hidup. Tidak ada yang tahu siapa ia. Semua orang telah melupakannya, bukan sengaja, tapi karena jarak antargenerasi mereka terlampau jauh.

Apakah ia cemas mengetahui tidak ada yang mengingat aksi heroiknya? Apakah ia mengalami krisis eksistensial? Tidak, ia menjalani hidup seperti biasa, apa yang bermakna baginya, mengunjungi satu tempat ke tempat lainnya. Ia tidak hidup di masa lalu, atau kematian di masa depan, tetapi sekarang, yang tidak pernah tunggal, yang selalu berubah.

Maka Frieren dan party-nya sebelumnya akan dilupakan juga. Himmel tahu ini, ketika ia mengkomisikan pembuatan patung tentangnya untuk merayakan aksi heroiknya. Mereka tidak ambil pusing, apalagi Frieren—sebab kini ia tahu bagaimana merayakan hidup dengan penuh dan menyenangkan. Untuk apa Frieren membayangkan kapan ia mati dan kapan Fern mati, jika hari ini ia dan Fern sedang bersenang-senang mencari grimoire baru untuk mengeksplor jenis-jenis sihir baru?

Dahulu dan esok akan ada kematian yang berulang-ulang dan berlipat ganda. Hari ini, saat ini, sekarang, Frieren hidup. Kita hidup.

III. Kehidupan

Sousou no Frieren, oleh karena itu, adalah manga yang mengajak pembacanya untuk berhadapan dengan beban-beban masa lalu sekaligus kekhawatiran-kekhawatiran masa depan dengan cara tidak menyingkirkannya atau melupakannya, melainkan mengakuinya dan tidak memberikannya tempat selain hanya sekadar pembimbing untuk hal-hal menyenangkan yang kita lakukan hari ini.

Perspektif umur elf yang dimiliki Frieren memperbolehkan kita melihat manusia dan sejarahnya dalam cakupan yang lebih luas. Bahwa dengan memahami waktu, dengan menghargai waktu, dan memaknai apa yang kita lakukan di dalam waktu tersebut, kita perlu melepaskan tautan yang berjangkar pada kematian, pada masa lalu dan masa depan, pada hidup orang lain, pada keabadian. Mereka yang memahami ini, seperti Frieren, akan melihat hidup modern dengan cara yang lebih sehat, sekaligus kemampuan untuk mendeteksi praktik-praktik yang membuat hidup modern menjadi tidak sehat—praktik yang menempatkan apa yang kita lakukan hari ini dengan tuntutan masa lalu dan masa depan, tradisi dan cita-cita, kematian-kematian.

Frieren, Himmel, Eisen, Heiter

Sumber akademik:

Alweiss, L. (2002). Heidegger and `the concept of time'. History of the Human Sciences, 15(3), 117–132. https://doi.org/10.1177/0952695102015003928