Sebuah katastrofi ditandai dengan ledakan yang begitu hebat, teriakan yang memekakkan telinga, padang pasir yang tandus, tumpukan badan yang terbakar hangus, kekacauan dimana-mana, dan segala macam bencana alam terjadi dalam satu waktu. Anak-anak menangis dan tiba-tiba mati sia-sia, orang dewasa kehilangan moralnya, para pemimpin dunia kabur dari muka bumi, dan mereka yang selamat adalah mereka yang telah mempersiapkan diri untuk menjadi orang yang bermental baja, begitu keras dan kasar.

Atau setidaknya, begitulah kita biasanya mendapatkan gambaran fiksi dari apokalips, ketika dunia 'berakhir', ketika manusia dibabat sampai habis atau hampir habis. Setiap harinya hidup berlangsung biasa saja, lalu tiba-tiba suatu hari, bam! Seluruh dunia meledakkan diri, semesta tiba-tiba melawan bumi, dan dalam waktu kurang dari 24 jam semuanya berubah dari biasa-biasa saja menuju kehancuran. Infrastruktur runtuh, racun bertebaran dimana-mana, makanan perlu didapatkan dengan membunuh orang. Tambahkan unsur robot atau alien, dan gambaran yang kita dapatkan lengkap: dunia telah selesai.

Dari mulai film yang begitu, sayangnya, populer, 2012, sampai berbagai judul dari semua bentuk popkultur yang ada memiliki format seperti ini. Genre-nya selalu sama: drama, horor, aksi, petualangan.

Melelahkan. Mungkinkah kita semua akan dihadapkan dengan skenario yang mustahil itu? Saya rasa begitu banyak pengandaian yang belum tentu terjadi di sana, mulai dari kehancuran yang tiba-tiba sampai potensi semua orang akan menjadi bajingan.

Tetapi mengapa setiap kali kita membayangkan katastrofi, setiap kali kita membayangkan apokalips, kita terus-menerus mengajukan premis yang sama, cerita yang sama, alur yang sama? Tidak bisakah kita melihat dunia runtuh dan umat manusia mengalami penurunannya sebari minum kopi di dekat garis pantai, sesekali memakan semangka yang dibagikan gratis oleh tetangga yang panennya terlalu banyak?

Suatu Hari di Yokohama

Enter: Alpha Hatsuseno. Seorang 'robot' (secara mekanis, sisanya sama saja seperti manusia) yang mengurus Cafe Alpha, sebuah kafe di antah-berantah di Semenanjung Miura, dekat Yokohama. Dalam Cafe Alpha, tiap harinya mungkin diisi hanya oleh satu-dua pelanggan, dan Alpha memang mengurus kafe itu sekadar untuk mengisi waktu, sebab ia tidak butuh sumber daya apapun untuk bertahan hidup.

Di daerah yang sangat sepi itu hanya ada dia, Ojisan, Takahiro, Makki, dan beberapa orang yang lalu lalang untuk memancing atau datang ke pinggir pantai untuk urusan lain. Tidak ada apa-apa, hanya Alpha dan kafenya yang sepi serta skuter-nya yang kadang-kadang dipakai untuk membeli biji kopi baru di Musashino.

Deskripsi ini tentu saja sama sekali tidak menggambarkan bencana, apalagi dalam skala global. Benar saja, di manga tempat Cafe Alpha diceritakan, Yokohama Kaidashi Kikou atau Yokohama Shopping Log, alur cerita lebih mirip seperti manga slice-of-life biasa yang berpusat pada atmosfir, berputar di tempat yang sama dan menceritakan kehidupan sehari-hari di desa. Apa yang membedakan Yokohama Kaidashi Kikou (selanjutnya disebut YKK) dengan manga-manga lain adalah pertama, ia adalah salah satu pionir genre itu sendiri, dan kedua, YKK menceritakan dunia dalam penurunan, menuju masa kehancuran.

Alpha menceritakannya sebagai 'masa senja' dari kemanusiaan. Kita sudah jauh melampaui pagi yang cerah ketika tidak banyak pergerakan yang terjadi, ketika hidup manusia begitu singkat dan begitu sederhana, dan sudah melewati sibuknya siang ketika bumi begitu ramai, begitu sejahtera, begitu sengsara dan begitu menakutkan, begitu riuh dan kacau, begitu cepat berputar.

Dalam YKK, umat manusia memasuki masa senja: tidak banyak yang (dapat) terjadi, dan tidak banyak yang (dapat) dilakukan. Yokohama telah tenggelam, begitu juga mayoritas dari Tokyo.  Gunung Fuji baru saja meletus dan iklim berubah begitu drastis, menghasilkan iklim yang anehnya lebih stabil daripada dulu. Dunia tidak bisa lagi menopang peradaban manusia sebagaimana yang kita ketahui—masa itu telah selesai.

Dalam kerapuhan ini, tidak ada kekacauan, bunuh-membunuh, atau kekejaman. Hanya ada hal-hal kecil, baik atau buruk: panen semangka Ojisan terlalu banyak untuk dijual, skuter milik Alpha mogok di tengah jalan, Hatsuseno yang tersesat di tengah lapangan luas, dan seterusnya. Hanya ada dua perkembangan 'besar' dalam YKK: pertama, ketika Alpha terperosok ke jurang dan harus dirawat inap sekitar satu minggu, dan ketika Cafe Alpha terkena topan badai yang membutuhkan waktu beberapa tahun untuk dibangun kembali seperti semula. Dua peristiwa ini, meskipun penting, tidak mencapai skala katastrofik—kita dapat mendapatinya sehari-hari sekarang, di dunia yang belum selesai yang kita tinggali.

Sebab YKK hanya berisi peristiwa-peristiwa kecil, ia merupakan bacaan sempurna bagi mereka yang tidak sedang ingin membaca krisis mendalam atau konspirasi tragis. Tetapi YKK juga tidak 'sekadar' menceritakan kehidupan sehari-hari seperti para pengikutnya, misal Non Non Biyori—kita bisa selalu mengikuti jejak kehancuran perlahan dalam setiap peristiwa-peristiwa kecil itu.

Suatu hari, Alpha membawa kameranya untuk merekam jalan tol antardaerah yang tadinya penuh dengan kendaraan bermotor, kini ditinggalkan dan sebentar lagi terendam laut. Esoknya, Alpha bisa jadi bertemu Kokone, android lain yang bertugas sebagai pengantar surat, dan menghabiskan waktu di dalam kafe membicarakan hal-hal tidak penting karena memang tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Di hari lain. Alpha bersama Takahiro menonton pertunjukan kembang api bersama (hanya) belasan orang yang tersisa di kawasan yang dulunya kota kecil tersebut...dan masih banyak urusan-urusan mungil lainnya.

Ketika Dunia Berakhir...

Cukup mudah untuk menarik kesimpulan dari gambaran yang telah diberikan sebelumnya: kota-kota pelabuhan di seluruh dunia juga telah tenggelam. Di Indonesia, ini berarti Jakarta telah rata dengan air, begitu juga kota pesisir lain seperti Semarang dan Manado. New York telah menghilang, begitu juga Normandy, apalagi Amsterdam. Jika Gunung Fuji telah meletus, mungkin gunung-gunung yang selama ratusan tahun lamanya beristirahat juga turut erupsi di dunia tempat Alpha tinggal.

Cukup menyeramkan, dan tentu saja YKK secara aktif melalui atmosfir yang digambarkan mengkonfirmasi hal ini, tapi dengan cara yang begitu berbeda. Dunia dalam bencana digambarkan begitu halus, begitu tenang, dan begitu lambat, berikut kegiatan manusia-manusianya.

Dan segalanya di YKK begitu tidak selesai. Bencana apa yang terjadi? Siapa sebenarnya Alpha dan para robot? Siapa sebenarnya 'pemilik' Cafe Alpha, berikut 'pencipta' robot yang berkeliaran di muka bumi? Mengapa turut serta hadir dalam dunia yang akan berakhir ini, unsur-unsur setengah-supernatural dan setengah-sains fiksi, seperti pesawat raksasa yang mengelilingi bumi dalam orbit rendah atau makhluk air yang 'sejak dahulu ada di sini'? Kita tidak tahu. Kita tidak akan pernah tahu, dan kita tidak perlu tahu. Esok cerita dimulai lagi, dan Cafe Alpha dibuka kembali.

Yokohama Kaidashi Kikou adalah campuran dua unsur yang begitu lekat namun begitu sulit dibayangkan oleh manusia modern: teknologi mutakhir dengan peradaban yang semakin mengkerut. Di dunia dimana kamera ajaib dan robot yang mampu bertahan hidup sendiri bermunculan di mana-mana, kita tidak melihat lampu neon yang menggelegar atau ibukota dengan pencakar langit yang penuh dengan iklan elektronik di sudut-sudut jalan.

Kita melihat jalanan seperti masa-masa sebelum adanya internet, dan kota-kota kecil sebelum ia tumbuh menjadi metropolis, dengan hubungan antarmanusia yang tidak dimediasi, dan tumbuh sebagaimana adanya. Pekerjaan adalah sampingan: utamanya, manusia dalam YKK sekadar bertahan hidup, memenuhi tugas sesuai dengan kemampuannya masing-masing, memperbaiki apa yang bisa diperbaiki, dan memanen apa yang bisa dimakan.

Ajaibnya, YKK tidak terjebak dalam romantisme 'masa lalu yang indah' atau bahwa masa modern begitu dekaden dan harus ditolak. Secara eksplisit dunia yang ditinggali Alpha adalah modern, sangat modern, lengkap dengan semua teknologi yang kita ketahui, bahkan lebih canggih. Namun apa yang berusaha digambarkan oleh Alpha dan teman-temannya adalah bahwa tatanan sosial dan kemajuan teknologi adalah kedua hal yang berbeda, meskipun saling berkaitan: dengan tingkat gawai yang sama, kita dapat menempati dua masyarakat yang sama sekali berbeda. YKK sama sekali tidak memberikan pesan 'kembalilah ke kejayaan yang telah hilang', bahkan juga tidak 'masa kini ini merupakan skenario terbaik dalam hidup kita'. Sebagaimana cerita yang akan berakhir, ia seakan-akan sadar bahwa manusia di titik ini mungkin sudah tidak memiliki masa depan lagi. Yang tersisa hanyalah nostalgia, dan setiap harinya melaksanakan apa yang bisa dilakukan.

Sebab dalam setiap jengkal aspal yang ditelan ombak, atau ruang urban yang menyusut oleh hutan alih-alih sebaliknya, mungkin memang dalam YKK tidak ada lagi 'masa depan manusia' yang akan hadir. Mungkin karena sebab itu ia tidak pernah menggambarkan masa depan. Anehnya, tidak seperti doomsday clock—proyek para saintis untuk menggambarkan seberapa dekatnya hari ini dengan kemusnahan umat manusia, dibentuk untuk mendorong perubahan segera—Alpha dan teman-temannya tidak dilanda kepanikan, atau kecemasan, atau krisis eksistensial. Umat manusia mungkin akan segera punah, era baru mungkin akan segera muncul, tapi tidak ada keburu-buruan. Esok pasti akan tetap datang, sampai waktunya tiada lagi hari esok.


Ray Bradbury, dalam cerita pendeknya Last Night of The World, menggambarkan seorang tokoh yang tiba-tiba sadar bahwa malam itu juga, dunia mungkin akan berakhir. Ia bertanya pada istrinya, apa yang akan kau lakukan? Waktu sudah malam. Istrinya bertanya: apakah perang akbar? Atau meletusnya bom hidrogen? Tidak, kata suaminya, namun seperti buku yang selesai dibaca, seperti buku yang ditutup. Meminum kopi sambil berbincang, pasangan tersebut menghabiskan waktu terakhirnya—mungkin—di bumi seperti halnya sepasang mahasiswa menghabiskan malam minggu di salah satu kedai kopi di Bandung Utara. Sampai akhirnya mereka lelah, keran air dimatikan, lampu dipadamkan, dan mereka tertidur, begitu saja.

Apa yang akan kau lakukan jika hari ini adalah hari terakhir bagi dunia yang kita ketahui? Alpha mungkin akan menghubungi Ojisan dan Sensei untuk melihat laut Jepang di pinggir jalan antarprefektur yang telah tenggelam sebagian. Kokone mungkin kebetulan sedang berkunjung, dan ia memutuskan untuk bermalam di Cafe Alpha, sebab jalan menuju kota terlampau jauh dan melelahkan. Setiap hari, menyongsong akhir, mungkin tidak akan pernah datang, mungkin datang tiba-tiba, tapi yang jelas, esok Alpha harus kembali ke Yokohama untuk membeli kembali bungkus-bungkus biji kopi akibat stok kafe yang habis...

Pada panel terakhir manga ini, tidak ada resolusi maupun tragedi: Alpha pulang, menyambut Kokone di kafe-nya, dan memandang langit sebari bergumam: Mudah-mudahan malam hari bagi peradaban manusia adalah masa-masa yang damai sentosa.

This is the way the world ends
This is the way the world ends
This is the way the world ends
Not with a bang but a whimper.

T. S Eliot, The Hollow Men.