Perihal yang memicu munculnya artikel ini adalah seringnya saya melihat halaman-halaman besar di berbagai sosial media 'memberitakan' hal hal seperti: karakter diubah warnanya menjadi kulit hitam, fans mengamuk, atau anime tertentu dimarahi karena menghina janda, atau kritikan feminis terhadap desain karakter suatu gim. Seharusnya hal-hal ini tidak menjadi masalah, toh, kalaupun benar, berarti terdapat permasalahan dalam suatu desain karakter, atau alur cerita, atau dialog, yang menyebabkan pihak-pihak tertentu marah dan bereaksi.

Masalahnya kemudian adalah ketika ditelusuri, tidak jelas siapa sebenarnya yang menyatakan protes, apa posisi mereka, dan mengapa pendapat mereka penting untuk disebarluaskan ke khalayak umum, apalagi untuk memberikan perspektif-perspektif tertentu jika beberapa pihak itu 'lemah' atau 'sensitif'. Misalnya tentang bagaimana Anya 'dikritik' fans karena sok imut, atau bagaimana 'dalam forum populer' Jujutsu Kaisen diberikan tuduhan plagiasi, atau bagaimana seorang ilustrator dikritik karena mengubah warna kulit Anya dalam gambarannya.

Siapa orang-orang ini? Apa kuasa yang mereka miliki sampai-sampai menjadi penting untuk diwartakan oleh para jurnalis warga (citizen journalism) untuk diberitahu ke khalayak ramai otaku Indonesia? Apakah sang feminis yang mengkritik fanservice merupakan profesor di suatu program studi gender, atau apakah orang yang mengkritik ilustrator pembuat gambar Anya berkulit hitam adalah seorang mangaka senior? Apakah dalam berita Jujutsu Kaisen tadi terdapat usaha boikot atau protes yang cukup signifikan sampai-sampai menekan studio terkait?

Jawabannya adalah tidak untuk semuanya. Jika ditelusuri, semua 'berita' ini memiliki 'sumber' berita lain yang sekadar memberikan tautan tuitan dari Twitter atau Tiktok dengan sekadar menambahkan beberapa kalimat pendek. Kita tidak pernah tahu siapa fans yang ditunjuk, dan tuitan sumber bahkan tidak perlu viral, cukup 'ada' saja di dunia maya.

Saya akan mengilustrasikan kekacauan alur pembuatan konten ini dengan cara lain. Misal, saya adalah seseorang yang sangat amat membenci Jujutsu Kaisen sebab tidak sesuai dengan selera saya (ini betulan perumpamaan, karena saya aslinya belum pernah membacanya). Lalu, misal, saya mengirimkan tuitan iseng atau pos Facebook yang saya lupa atur khusus teman atau friends only.

Entah kenapa, cuitan saya ditemukan oleh sorang otaku berbahasa Spanyol yang kemudian membuat 'berita' bahwa seorang fans 'membenci' Jujutsu Kaisen karena karakternya anak SMA yang terlalu semok hanya dengan menambahkan beberapa kalimat. Laman populer di Facebook kemudian membuat post: "Fans menuduh overseksualisasi karakter di Jujutsu Kaisen!" dan kemudian disebarluaskan orang banyak.

Ada banyak kesalahan yang lahir dari alur ini. Pertama, tentu saja ada banyak alasan saya untuk tidak suka dengan anime tertentu. Mungkin selera, mungkin tidak suka dengan gaya gambarannya. Mungkin juga saya sedang bergurau jelek. Apapun itu, dengan berpindah-pindah tangan sekian kali, kini saya menjelma menjadi berbagai identitas: mungkin 'western' atau 'SJW' atau 'feminis'. Seakan-akan, saya adalah seorang influencer dengan ratusan ribu pengikut yang akan setuju dengan saya dan ikut tidak menonton Jujutsu Kaisen—padahal saya hanya seorang, dengan pendapat milik saya sendiri.

Bahkan jika saya seorang influencer atau orang dengan sirkel banyak pun, belum tentu apa yang saya katakan pantas disebarluaskan atau dibentuk sebagai berita. Apakah hal yang saya katakan berbobot? Apakah 'sumber' yang dikutip oleh laman-laman ini, dua contoh terbesar di antaranya Seputar Anime dan Info Jepang, valid? Nilai berita terdapat pada informasi yang disampaikan ke audiensnya, yaitu kita: apa yang kita pelajari dari pendapat asal dari orang asal? Berita tidak berguna tentang selebritas yang memasak mi instan atau ditanyai pendapat soal isu undang-undang seringkali mengundang hujatan dan olok-olokan, mengapa berita-berita seperti ini tidak?

Artikel ini bukan pertama kali yang menunjuk bagaimana perilaku-perilaku seperti ini membahayakan kancah fans. J-List telah membuat catatan serupa tentang penyebarluasan hal-hal seperti bagaimana Anya 'diseksualisasi' atau Fire Force 'fanservice berlebihan'. Apakah hal-hal seperti ini berbobot dan dapat dijadikan berita? Tidak. Namun banyak di antara kita tetap marah, menyebarluaskannya, mungkin dengan interpretasi masing-masing.

Apa bahayanya? Sebab telah terbukti bahwa hal-hal yang membuat marah akan lebih cepat viral, dan membuat semakin banyak orang marah pada gantinya. Entah apa dan siapa yang membuat kita marah, atau kesal, atau berpikir hal aneh-aneh tentang kelompok sosial tertentu, tapi 'berita' seperti apa yang dijelaskan di atas tidak pernah memberikan konteks yang cukup, atau menjelaskan mengapa hal-hal tersebut penting untuk kita ketahui. Mungkin banyak di antara kita yang telah percaya duluan bagaimana umat barat sedang berusaha menghancurkan anime, dan dengan hanya melihat judul dan teks kecil dalam gambar di 'berita' seperti ini kita langsung menyebarluaskannya, memperpanjang kemarahan.

Ada banyak hal yang bisa diberitakan dalam kancah popkultur Jepang. Mungkin tentang adanya manga niche yang anda ingin lebih banyak orang untuk tahu, atau mungkin tentang pameran baru yang diselenggarakan di Jepang. Atau bahkan mungkin konten yang membuat marah tidak apa-apa, dengan sumber yang jelas seperti kerja berlebih yang diderita para punggawa industri kreatif Jepang. Namun bagi saya, semua orang harus memutus konten-konten tanpa kejelasan, dengan bobot berita nol, yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali kemarahan dan kekesalan bagi para penyebarnya dan uang iklan bagi para pembuatnya.