Bertahun-tahun melihat 'drama' cosplay, saya memperhatikan bahwa setiap pembahasan datang dari praktisi (cosplayer, penyewa kostum, pelaku industri, dst) cosplay yang memiliki pandangan tersendiri soal bagaimana cosplay harusnya dilakukan dan apa tindakan yang tidak boleh ada di dunia cosplay. Selalu soal prestise, atau nama baik, atau good practice (tindakan-tindakan wajar) dalam urusan cosplay, mulai dari urusan tata krama peminjaman kostum sampai perilaku di muka umum.

Saya seorang penggemar. Penggemar yang terkadang, di website ini ataupun di kesempatan lain, merasa bahwa ada beberapa hal yang lebih urgen di komunitas kultur jejepangan Indonesia, terutama kasus-kasus kurang ajar seperti mempraktikan fetish di muka umum sampai perilaku kriminal seperti pelecehan seksual. Oleh karena itu, artikel ini didedikasikan untuk sudut pandang penggemar—bukan cosplayer, bukan penyewa kostum, bukan penyelenggara acara, tentang apa yang saya inginkan dan apa yang ideal bagi saya sebagai penggemar: tidak lebih, tidak kurang.

1. Penggemar pada umumnya menyukai cosplay dan ingin ada lebih banyak lagi cosplayer.

Awalnya, saya berencana untuk membuat artikel yang berisi pujian bagi cosplay dan cosplayer, sebab saya mengapresiasi karya (craft) yang mereka tunjukkan dan dampak positifnya bagi hidup saya. Namun artikel itu kini harus menunggu. Meskipun begitu, intinya cosplay dan cosplayer membuat saya bahagia, baik itu dari yang niat maupun low-effort maupun membuat saya tercengang ataupun tertawa. Kalaupun menurut saya cosplay yang saya lihat kurang bagus, toh saya ikut senang karena ia senang melakukan hobinya. Sama rasanya saya selalu senang melihat kawan mengirimkan hasil gambar atau tulisannya, karena terlepas dari bagus atau jelek, yang penting ia menikmati waktu yang ia gunakan untuk berkarya. Ia senang, saya senang. Sebagai penggemar, rasa-rasanya saya tidak pernah ambil pusing soal urusan effort sebagai tolak ukur apakah orang itu boleh cosplay atau tidak.

Tentu saja jumlah cosplayer akan menurun dan begitu pula akan banyak orang yang mengurungkan niatnya untuk cosplay jika mengikuti anggapan beberapa orang yang bersikukuh tentang syarat-syarat cosplay, bahkan mengatakan bahwa orang sebaiknya tidak cosplay kalau tidak memahami apa yang mereka lakukan. Orang-orang yang sebenarnya ingin bersenang-senang dan datang ke event sebagai karakter yang mereka sukai, lalu disambut dengan omongan, "Wah, itu poser tuh, bukan cosplayer, ga effort tuh". Bahkan kemudian mungkin dibicarakan di sirkel-sirkel tertutup, misalnya, soal bagaimana orang-orang ini harusnya nggak usah cosplay sekalian.

Maka kemudian jumlah cosplay akan lebih sedikit, jumlah cosplayer akan lebih sedikit, situasi yang tidak menyenangkan bagi semua orang kecuali segelintir gatekeeper yang senang karena standar 'cosplay bagus' mereka terpenuhi.

2. Penggemar ingin semua orang dapat mengekspresikan diri, meskipun semampunya.

Kalau ada orang yang merekam cover lagu Yoasobi dengan kualitas yang kurang, tentu sah-sah saja dan wajar. Kalau misal kita ditanya bagaimana hasil karyanya, kita akan jujur dan mengatakan kurang, suaranya fals, dan mikrofonnya buruk, lalu memberikan feedback sebisanya. Kalau misalnya ternyata dia tertarik untuk improve, dan memang pernah berniat untuk ikut lomba atau daftar gig konser, baru kita dapat memberikan saran konstruktif.

Namun kita tidak akan mengatakan "Bro, suara lu jelek, mending nggak usah nyanyi deh. Cari hobi lain".

Jadi kenapa kita bisa membiarkan orang-orang yang bisa seenaknya bilang kalau tidak memenuhi syarat A, B, dan C, maka seseorang tidak boleh atau sebaiknya jangan cosplay? Ini bukan urusan jelek atau bagus. Ini urusan apakah hobinya dilakukan atau tidak. Kalau banyak cosplay jelek bertebaran di event atau di jalanan, apa bedanya dengan banyaknya puisi jelek di mading-mading? Saya tidak pernah dengar kasus penulis antologi puisi yang mengatakan bahwa kalau orang yang tidak tahu banyak kosa kata sebaiknya tidak usah menulis puisi. Keberadaan puisi jelek tidak membuat nama literatur menjadi tercoreng atau karya puisi bagus jadi direndahkan. Ya, sudah, puisinya jelek. Cosplaynya jelek. Apa urusannya kita mau meminta orang (meskipun cuma 'sebaiknya') buat berhenti melakukan apa yang bikin mereka bahagia?

Saya tidak tahu dapat dari mana standar orang-orang ini soal cosplay. Harus mendalami karakter, kostum yang pas, dan peragaan yang sesuai itu syarat cosplay bagus, bukan syarat melakukan cosplay. Tidak ada syarat melakukan cosplay. Tidak ada syarat menulis puisi atau menggambar atau membuat gim atau memahat patung, kecuali bahan baku. Hanya ada kriteria karya bagus dan buruk, tidak ada kriteria membuat karya.

Penggemar tidak ambil pusing kalau ada standar tinggi di kalangan cosplayer tertentu yang menganggap karya mereka begitu keren dan hebat sampai-sampai memandang sebelah mata orang-orang yang dari awal tidak punya niatan untuk jadi keren dan hebat. Banyak otaku yang kemudian pakai perlengkapan yang seadanya, datang dengan niat untuk bertemu teman-temannya dan bersenang-senang, tanpa sedikitpun ada niatan untuk 'menjiwai' cosplay-nya.

Seperti orang-orang yang bermain gim kompetitif dan kesal sendiri melihat orang-orang yang rank-nya rendah dan selamanya tidak punya niatan untuk uprank, orang-orang ini menunda dan menghalangi kebahagiaan orang lain hanya untuk memuaskan dirinya sendiri. Lalu memaksa untuk mengajari game sense, mekanik, taktik, strategi. Padahal strategi itu dibutuhkan untuk bermain bagus, dan sama sekali tidak dibutuhkan untuk sekadar bermain. Dikira semua orang punya niatan yang sama melakukan hobi seperti dia.

Apa perlu kita razia? Kita kasih kuis soal karakternya seperti bagaimana orang-orang tua menyebalkan yang merazia anak muda yang pakai kaos band?  Lalu jumlah orang-orang yang cosplay secara sederhana (atau 'jelek') berkurang, menyisakan hanya cosplayer yang serius dan profesional. Padahal salah satu kebahagiaan dalam berkomunitas dan mendatangi event adalah melihat mereka yang baru pertama kali cosplay, atau cosplay dengan perlengkapan terbatas. Mereka yang kesehariannya tidak punya rencana photoshoot atau cosplan.

3. Penggemar ingin kasus kekerasan dan pelecehan fisik maupun verbal berkurang, begitu juga kasus penipuan dan penggelapan.

Tulisan ini dibuat untuk mengarahkan perhatian komunitas ke hal yang lebih penting. Sampai tulisan ini dibuat, masih sering terjadi aksi kekerasan verbal dan fisik, seringkali bersifat seksual, di mana cosplayer menjadi korban di dalamnya. Pelaku tidak membedakan cosplay yang ada di event itu effort atau tidak, hanya nafsu yang tidak terbendung dan tidak adanya rasa hormat terhadap tubuh orang lain.

Maka sebaiknya mereka yang telah bergulat secara serius dan profesional menghabiskan waktunya tidak untuk mempolisikan mana cosplay yang effort dan mana cosplay yang tidak. Alangkah baiknya jika siapapun itu, high effort atau low effort, in-character atau out-of-character, dibimbing dan disiapkan dari bahaya-bahaya dari praktik-praktik buruk di dunia cosplay ini. Saya ingat sering melihat kasus-kasus penyewa kostum bejat, predator yang mengincar orang-orang yang cosplay di event, praktik-praktik penipuan dalam berbisnis dan bertransaksi, dan masalah-masalah serius lainnya yang melanggar hukum pidana ataupun perdata.

Bukankah lebih baik mereka yang baru saja cosplay diingatkan tentang bahaya-bahaya ini, berikut solidaritas dan komunitas untuk menopangnya, alih-alih malah mengkritik jumlah effort dan in-character mereka? Sebab tidak semua orang ingin serius cosplay, tapi semua orang tidak ingin ditipu dan dilecehkan.

Oleh karena itu juga sebaiknya tidak membawa-bawa image atau prestasi ketika terjadi kasus tidak baik seperti menginjak orang di muka publik atau memakai pakaian kurang bahan di acara-acara yang terdapat banyak anak-anak. Melihat konten syur di muka publik masuk ke dalam pelecehan seksual, akibat saya tidak pernah memberi persetujuan (consent) untuk melihat orang yang melancarkan fetish-nya di tempat publik.

Pelecehan adalah urusan pelanggaran hak. Urusan serius, karena bisa memberikan trauma berkepanjangan dan ketidakinginan untuk kembali berurusan dengan popkultur Jepang. Masalah ini krusial karena menyangkut kesehatan mental seseorang dan kenyamanan mereka untuk mengekspresikan diri. Masalah ini tidak krusial jika disambung-sambungkan dengan 'prestise' atau 'image' cosplay di muka publik—sama seperti kasus bullying itu serius karena melibatkan kekerasan fisik dan verbal, bukan serius karena melibatkan nama baik sekolah atau keluarga.

Prioritas ini penting untuk langkah penyelesaian kedepannya. Jika membawa pikiran soal trauma dan pelecehan, maka kita akan membuat guideline soal apa itu pelecehan dan mengapa berbahaya, apa itu trauma, perilaku apa yang terhitung sebagai seksual dan tidak di muka publik, dan lain sebagainya. Jika membawa pikiran soal nama baik dan prestasi maka kita akan sibuk memperbaiki image.

Kesimpulan

Sebagai penggemar saya sungguh tidak ambil pusing tentang cosplay bagus dan cosplay jelek. Semakin banyak orang yang bahagia di acara dan komunitas, semakin banyak orang yang berani mengekspresikan diri meskipun dengan kemampuan yang terbatas, maka saya akan bahagia: begitulah tanda komunitas yang sehat dan berkembang.

Sebagai penggemar, saya ambil pusing soal kasus pelecehan, kasus penipuan, kasus kekerasan. Sebab ini adalah pertanda komunitas yang tidak sehat dan berbahaya, tanda orang-orang tidak bisa mengekspresikan diri secara baik dan dibatasi haknya untuk menikmati kebudayaan populer.

Padahal, dan saya mengikuti kata Venti, umat manusia punya hak untuk berbahagia dari menyanyi dan menari1. Saya membayangkan ini juga termasuk hak untuk menciptakan karya yang dianggap jelek oleh orang lain, dan untuk menciptakan karya tersebut tanpa halangan kekerasan dan pelecehan.


1Juga Persatuan Bangsa-Bangsa di dokumen Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.