Sempatkah terpikir bagi Anda bahwa apakah Jepang yang berubah mengikuti alur waktu dengan komposisi masyarakat yang bersifat homogen akan mengubah kondisinya tersebut secara masif, ataukah hanya berupa fragmen-fragmen akibat homogenitas antaretnis yang kuat sehingga perubahan kondisi sosial malah cenderung minimal?

Lantas, akibat hal ini menyangkut masyarakat yang berarti menyangkut kehidupan interaksi manusia, tidak mungkin terlepas dari kaitannya dengan kebudayaan yang dihasilkan, juga akan ikut terpengaruh seiring perubahan sosial yang timbul, terlebih lagi dengan pandemi yang memainkan peran tinggi dalam kehidupan manusia selama dua tahun terakhir.

Maka, dalam artikel ini kita akan melihat bagaimana konsep masyarakat Jepang kontemporer (masyarakat Jepang masa kini) dan kebudayaannya, serta pengaruh kondisi pandemi terhadap kehidupan masyarakat Jepang.

Masyarakat Kontemporer Jepang, Kayak Apa, Sih? Bagaimana Kebudayaannya?

Masyarakat Jepang kontemporer jelas lebih memilih tinggal di perkotaan seperti masyarakat modern di negara lainnya karena memiliki ketersediaan pemuas kebutuhan yang lebih bagi individu serta pemikiran atas peluang yang diberikan kawasan perkotaan terhadap kemakmuran seseorang lebih tinggi dibanding dari masyarakat non-perkotaan.

Tidak hanya sebagian besar orang Jepang yang tinggal di lingkungan perkotaan dengan jumlah yang besar, tetapi budaya perkotaan ditransmisikan ke seluruh negeri oleh media massa yang sebagian besar terkonsentrasi di kawasan Metropolitan Tokyo dan sekitarnya.

Khususnya, kaum muda urban Jepang telah terkenal karena konsumsi mereka yang mencolok dan kegemaran mereka terhadap tren dan mode yang dengan cepat masuk dan keluar dari toko mode dengan pakaian-pakaian yang mencolok dan terlihat mewah sebagai sesuatu yang dianggap trendy dan cocok bagi orang-orang urban.

Sebagian besar masyarakat Jepang memilih tinggal di kawasan perkotaan sehingga menimbulkan kepadatan yang timpang dengan wilayah lain.

Pascakekalahan Jepang pada Perang Dunia II, kebudayaan modern, biasanya yang berasal dari barat, menjadi populer dan terdapat di mana-mana di Jepang. Jazz, rock, dan blues dinikmati oleh generasi Jepang yang lahir setelah Perang Dunia II, bersama dengan lagu-lagu rakyat dan lagu-lagu populer yang setengah-kebarat-baratan-setengah-Jepang.

Banyak lagu Jepang yang pada dasarnya dinyanyikan dengan iringan alat musik barat, dan banyak subjek yang pada dasarnya adalah kebudayaan barat diperlakukan dalam drama atau lagu gaya Jepang. Salah satu dari efek westernisasi Jepang adalah munculnya karaoke (dalam bahasa Jepang, secara harfiah berarti "orkestra kosong"), yang muncul di Jepang pada awal 1970-an, sebagai bentuk hiburan malam yang populer bagi para pekerja yang penat dari pekerjaannya yang memakan waktu hingga larut.

Simpelnya, banyaknya kelas pekerja pada masyarakat kontemporer Jepang menyebabkan ada dua orbit yang menjadi fokus kehidupan bagi masyarakat - tempat kehidupan keluarga biasanya berputar- yakni tempat kerja dan sekolah.

Spesialisasi peran antara laki-laki dan perempuan secara bertahap telah berubah. Laki-laki secara tradisional adalah pencari nafkah keluarga, sementara perempuan bertanggung jawab atas keuangan rumah, pengasuhan anak, dan perawatan keluarga besar; semakin banyak perempuan yang sebagian besar sudah menikah, bekerja di luar rumah, meskipun sering kali mereka yang bekerja paruh waktu.

Sementara itu, di daerah pertanian dan pedesaan, perempuan memiliki tanggung jawab yang semakin besar dalam menjalankan operasi pertanian karena banyak kepala keluarga laki-laki terlibat dalam pekerjaan penuh waktu di fasilitas manufaktur yang sering kali agak jauh dari pertanian keluarga; salah satu efek urban yang mulai menjalar ke wilayah non-perkotaan.

Terutama di dunia kota yang lebih anonim, perjodohan tradisional (omiai kekkon) digantikan oleh perjodohan menggunakan aplikasi pencari jodoh, sekalipun masih umum bagi seorang teman keluarga, kerabat, atau mentor untuk bertindak sebagai perantara/mak comblang (nakodo). Anonimitas di perkotaan yang tinggi menimbulkan adanya istilah kencan bersama (goukon), bahkan jika pernikahan itu adalah hubungan cinta ke depannya.

Sedangkan, upacara pernikahan itu sendiri sering kali terdiri dari perpaduan antara budaya timur dan barat dengan komposisi dari upacara tradisional Shinto, di mana pengantin mengenakan kimono yang rumit, biasanya diikuti dengan perayaan gaya Kristiani, dengan para peserta dalam pakaian formal berupa jas dan gaun pada pengantin yang berlangsung di aula-aula besar yang dihadiri oleh seluruh sanak saudara, kerabat, maupun teman lainnya, yang merepresentasikan gereja di dunia barat.

Jepang telah melanjutkan transformasinya menjadi masyarakat industri berteknologi tinggi yang berbasis perkotaan dengan mengabaikan peranan pedesaan untuk berkembang lebih jauh. Sebagian besar migrasi dari desa ke kota telah selesai; sekitar empat per lima penduduk Jepang sekarang tinggal di daerah perkotaan, dan hanya sedikit keluarga yang tinggal di pertanian. Urbanisasi telah mengakibatkan perubahan demografi lebih lanjut, termasuk percepatan penurunan angka kelahiran yang kurang daripada tingkat yang dibutuhkan untuk menggantikan populasi atau disebut sebagai bonus demografi.

Masalah ini akhirnya menimbulkan kemacetan perkotaan, ruang perumahan yang terbatas, biaya membesarkan anak, kecenderungan menunda pernikahan, meningkatnya keengganan wanita untuk menikah. Langkah-langkah pengendalian kelahiran yang efektif, semuanya berkontribusi pada fenomena di atas yang diambil oleh Shinzo Abe saat masih menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang dalam menghadapi penurunan jumlah penduduk Jepang modern.

Ketika penyerahan terhadap pengelolaan pertanian dari individu ke kelompok memudar dan ketika korporasi mengambil alih pengelolaan di pedesaan, muncul perbedaan yang lebih besar yang terlihat pada kondisi yang timpang antara kawasan industri pedesaan dengan pemukiman di pedesaan.

Dalam pemasaran, misalnya, ditemukan bahwa kebiasaan konsumen sebelumnya untuk membeli barang-barang bermerek sama dan sudah dikenal tidak dilanjutkan oleh orang Jepang yang mencapai usia dewasa sejak pertengahan 1980-an. Banyak dari orang-orang tersebut menjadi kecewa dengan toko-toko dan barang-barang yang disukai orang tua mereka, mereka lebih memilih keragaman dan harga yang kompetitif yang menjadi persaingan korporasi ketimbang bisnis yang sehat dan alami.

Globalisasi yang Pesat dan Pandemi

Globalisasi telah menjadi tema penting lainnya sejak awal 1970-an, karena sejumlah besar orang Jepang telah bepergian ke luar negeri dan semakin banyak pelajar asing dan pekerja asing yang datang ke Jepang.

Internasionalisasi Jepang inilah yang telah menghasilkan penegasan kembali nasionalisme Jepang, terutama di kalangan anggota masyarakat yang lebih tua yang melihat Jepang kehilangan identitasnya di tengah masuknya budaya asing.

Namun, seperti yang dikonfirmasi oleh kunjungan singkat ke Tokyo, simbol budaya Amerika mulai dari restoran cepat saji hingga jeans biru dan sepeda motor, sekarang banyak digunakan di distrik Harajuku layaknya bak di Pantai Venice di Los Angeles sana.

Sifat dari homogenitas masyarakat Jepang yang bercampur dengan kemajuan teknologi imbas dari globalisasi tersebut menjadikan alasan mengapa Jepang selalu memiliki inovasi yang belum terpikirkan sebelumnya karena rasa yang monoton pada kehidupan sehingga masyarakat Jepang memerlukan sesuatu yang baru, yang bersinggungan dengan pesatnya globalisasi tersebut.

Inovasi kamar kecil transparan di Tokyo.

Sampai sekarang, kita masih dalam pergolakan pandemi yang semakin bertambah parah kondisinya, dan pemakaian masker diperlukan di mana-mana. termasuk Tokyo yang sudah mengeluarkan kondisi darurat ke-4 kalinya akibat terus melonjaknya kasus tambahan dari pandemi COVID-19.

Masyarakat jadi memiliki sebuah prinsip bahwa boleh untuk meninggalkan ponsel dan dompet saat keluar rumah, tetapi memakai masker adalah suatu keharusan. Sementara kondisi urban di Jepang mulai beralih dari mengutamakan konsumerisasi masyarakat dengan istilah trendy yang mulai mengalihkan kebutuhan sehari-harinya dalam memenuhi kebutuhan finansial seiring dengan penetapan kondisi darurat di Jepang yang membatasi ruang gerak industri-industri, terutama restoran dan toko sederhana yang memuat sebagian bisnis masyarakat Jepang.

Selain itu, internet dan TV adalah dua sumber informasi utama. Anehnya, media sosial bukanlah sumber informasi yang signifikan. Informasi terpenting adalah berita terkait pengoperasian supermarket dan apotek selama keadaan darurat di mana sebelumnya TV dan internet merupakan sumber kebutuhan hiburan masyarakat Jepang dibandingkan dengan pengandalan mereka terhadap berita.

Ditambah lagi, terdapat sebuah fenomena yang muncul dalam pop kultur Jepang pada masa pandemi yaitu oshitsukare, fenomena mengenai hilangnya motivasi terhadap hobi dan kegiatan sehari-hari sebagai rasa kelelahan mental seseorang. Jika seseorang dipilih untuk mempertahankan salah satu variabel seperti kebosanan, akan muncul sebuah perubahan perilaku yang berujung kepada kesepian dan lainnya menyebabkan penerapan akan pula semakin terasa sulit.

Sebaliknya, jika kontrol pribadi yang akan dipertahankan, lama-kelamaan perilaku akan berusaha untuk menolak menerapkannya pembatasan sosial yang dinilai sesuatu yang membosankan di mana dapat memutus ketaatan terhadap peraturan pembatasan akibat pandemi. Banyak orang memilih mempertahankan variabel pertama dengan konsekuensinya mengalami kebosanan di mana kondisi yang stagnan yang berlangsung selama pandemi, di mana kegiatan minim interaksi akibat kondisi darurat yang diterapkan tadi.

Selain itu, muncul juga istilah san-mitsu (3密), atau "tiga P" yang harus dihindari selama pandemi COVID-19. Ini adalah mippei (pembatasan ruang dekat dan tertutup), misshu (penghindaran tempat ramai), dan missetsu (pengaturan kontak dekat). Istilah yang juga disebut mittsu no mitsu yang berarti "tiga mitsu yang harus dihindari" ini telah mendapatkan perhatian global dengan diadopsinya oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pedoman anti-infeksi.

Hal yang Terakhir, Tapi Tidak kalah Pentingnya

Latar belakang kemunculan masyarakat Jepang kontemporer memang rumit. Hal ini karena pemikiran dan nilai-nilai Jepang dalam hal bagaimana menjalani hidup mendasari penyebab ini. Tujuan hidup bukan lagi untuk mengejar kesuksesan dalam pekerjaan, sebagian orang hanya menikmati hidup sendiri atau menghabiskan hidup mereka tanpa tujuan apapun setelah kesuksesan materi telah memberikan segalanya.

Beberapa orang kehilangan antusiasme, ambisi, dan motivasi dalam hidup mereka. Yang terpenting adalah memberi mereka arah dan makna baru dalam hidup. Misalnya, apa yang Anda cari dalam hidup Anda? Kemana kamu pergi? Masyarakat Jepang harus mengajukan nilai-nilai baru di era digital bagi mereka yang dibesarkan dengan permainan komputer, anime, manga, internet, dan ponsel; tanpa mengkhawatirkan kebutuhan dasar hidup.

Mereka membutuhkan kepuasan spiritual, bukan material. Sangat mungkin bahwa agama dan kepercayaan dapat membantu mereka dalam masyarakat yang sengaja mengabaikan agama sejak Perang Dunia II karena ingatan menyalahgunakan Shinto untuk Statisme sebelum perang.

Tidak ada mata pelajaran agama yang dapat ditemukan dalam kurikulum sekolah umum baik di pendidikan dasar maupun menengah. Praktik ini sama sekali berbeda dengan yang ada di Indonesia, di mana agama dianggap penting untuk pendidikan karakter bagi anak-anak di Indonesia, sedangkan di Jepang sama sekali tidak digunakan kembali.

Indahnya hidup.

Aspek lain adalah kebutuhan untuk mengglobalkan pikiran dan pemikiran orang Jepang disamping mengglobalkan kebudayaannya semata. Tampaknya mereka masih tetap menjadi bangsa yang terisolasi dalam masyarakat global ini dalam hal pola pikir.

Dengan kata lain, mereka masih memiliki gagasan seolah-olah mereka hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan orang lain di dunia ini di mana setiap negara terhubung satu sama lain yang menjawab masalah mengapa masyarakat Jepang menerima globalisasi, tetapi kental akan anonimitas pada wilayah perkotaan. Masalahnya bukan hanya bahasa, tetapi juga pemikiran dan mentalitas itu sendiri. Misalnya, bisnis Jepang membutuhkan lebih banyak komunikasi dengan orang lain di luar perusahaan mereka sendiri dan mitra bisnis di luar negeri.

Masyarakat Jepang menghadapi tantangan dan berjuang untuk mewujudkan masyarakat yang berkelanjutan untuk tidak pesimis, tetapi beberapa ide dan nilai dalam kehidupan manusia perlu dipikirkan kembali. Manusia membentuk masyarakat kita, tetapi masyarakat juga membentuk manusia, sebagaimana manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan interaksi secara luas, keterbukaan, dan semua dapat dilakukan bila adanya pengendalian sosial antarsesama manusia dalam sebuah kelompok masyarakat itu sendiri.