Tiga tahun lalu, saya pernah menulis pandangan tentang kasus Nafa Urbach. Aktris kondang itu mendapati anaknya dilecehkan di media sosial oleh para lolicon yang tak sedikitpun sadar bahwa tidak semua lelucon pantas diutarakan. Kasus ini menjadi viral, membuat geger masyarakat umum akan tingkah wibu yang bejat ini.

Di sisi lain, kasus ini mendatangkan kekhawatiran massal bagi kaum wibu. Mereka takut hobinya akan dipandang rendah oleh masyarakat luas. Saya adalah salah satu yang khawatir, sembari menggerakkan agar kaum penyuka anime ini lebih menjaga akhlaknya saat berhadapan dengan dunia luar.

Kembali ke masa kini, kasus kriminal yang melibatkan wibu lagi-lagi terulang. Pelakunya, yang kebetulan seorang wibu, membunuh anak berusia 5 tahun. Dalam catatannya, dipenuhi berbagai gambar-gambar dengan gaya anime. Setelah diselidiki, pelaku pembunuhan ternyata dibuat hamil 14 minggu oleh kekasihnya, yang juga seorang wibu.

Namun ada yang beda dari kasus terbaru ini. Alih-alih khawatir akan image wibu, mereka santai-santai saja. Mereka merasa bahwa dunia mereka yang sempit masih aman, tidak akan diganggu, dan tidak tersentuh. Dengan demikian, mereka masih dapat melanjutkan selera humornya yang buruk dan tren-tren kultural yang berbahaya, tanpa tanggung jawab moral atau sosial.

Sayangnya, status quo ini tak akan bertahan selamanya.

Perwibuan yang Tak Relevan (Setidaknya untuk Saat Ini)

Di dalam negeri, sudah ada lima kasus (yang terdengar sampai khalayak ramai) yang melibatkan perwibuan, baik banyak maupun sedikit. Selain dua contoh di atas, ada Lost Life, gim pelecehan seksual anak di bawah umur. Ada pula grup Facebook Loli Candy dan Komunitas Penindas Wanita, di mana sebagian anggotanya adalah wibu. Kelima kasus ini telah mendapat perhatian di media mainstream.

Tak seperti yang ditakutkan, kelima kasus ini gagal merendahkan lebih jauh citra wibu di muka umum. Ya, orang-orang sudah tahu kalau wibu itu aneh dan kekanak-kanakan. Selebihnya, publik cenderung tidak peduli. Tidak ada yang membuat stereotip "wibu adalah pembunuh berdarah dingin" atau "wibu tidak menghormati wanita", setidaknya untuk saat ini. Kasus hanya heboh dalam hitungan hari, kemudian tenggelam kembali.

Kasus Nafa Urbach tempo hari, membuat kepanikan di kalangan wibu.

Ada dua penyebab kenapa hal ini bisa terjadi.

Khalayak ramai, baik media maupun warganet biasa, belum melihat perwibuan sebagai sesuatu yang patut diperhitungkan. Lain dengan gamer yang tersebar jelas di segala penjuru, para wibu cenderung asik di dunianya sendiri, berkumpul bersama teman sehobi di acara yang dibuat untuk mereka. Mereka hanya tahu kalau orang-orang ini jelas aneh dan kekanak-kanakan, tidak kurang dan tidak lebih.

Selain kasus Nafa Urbach, kasus-kasus di atas juga tidak menyudutkan wibu secara gamblang. Warganet cenderung menyoroti cerita-cerita kasus kriminal itu sendiri, atau grup Facebook yang dipermasalahkan, bukan kewibuan pelakunya. Terkadang, para wibu sendiri yang malah sengaja mengaitkannya dengan perwibuan, meskipun hanya untuk lelucon semata.

Citra Wibu yang Rawan Goyah

Perwibuan memang tidak relevan di masyarakat saat ini. Citranya memang tak baik, namun juga tak buruk. Oleh para wibu, kondisi ini menjadi keuntungan mereka. Mereka bisa bertindak semaunya sendiri, dengan inside joke mereka yang terkadang bocor ke luar. Wibu tak akan peduli jika orang di luar hobi menganggap mereka aneh.

Sesungguhnya, jika wibu tidak mau membenahi sifatnya, kondisi saat ini yang aman-aman saja akan menjadi bom waktu di masa depan.

Sama seperti hobi-hobi lainnya, ada banyak aib-aib perwibuan yang saat ini belum tersingkap ke khalayak ramai. Sebagian sudah mulai menampakkan dirinya, tetapi sebagian lagi masih kabar burung belaka. Jika salah satu atau beberapa dari aib yang serius, sengaja atau tidak, bocor ke muka umum oleh wibu yang ceroboh, citra wibu bisa saja terancam.

Tak usah menunggu media massa memberitakan. Satu dua thread di Twitter – atau pos viral di Facebook – yang membahas kecerobohan wibu ini, jika kewibuan pelaku benar-benar disudutkan, wibu akan semakin dipandang hina di masyarakat. Jika hal ini sampai terjadi, orang-orang yang sekadar menyukai anime akan semakin menyembunyikan kewibuannya, agar tak dipukul rata dengan wibu yang tak waras ini. Pembelaan wibu akan terasa percuma kalau sang pelaku sudah jelas-jelas salah.

Perwibuan mungkin masih bisa bertahan, hanya saja tak akan sebesar saat ini. Komunitas yang menyatukan wibu juga akan kehilangan pengaruhnya. Pergaulan wibu akan semakin terisolasi satu sama lain, sama seperti dulu.

Masih Bisa Diobati, tapi Lebih Baik Dicegah

Satu-satunya cara untuk mengobati – atau bahkan mencegah – stereotip buruk wibu, tentu saja dengan perubahan sifat dari wibu itu sendiri.

Kasus Otaku Murderer tahun 1989 silam menorehkan luka dalam bagi citra perwibuan di Jepang. Otaku dianggap sebagai kaum aneh yang cabul dan haus darah. Meskipun demikian, citra otaku berhasil bangkit setelah mereka dapat membuktikan dirinya sebagai kaum yang ramah dan menyenangkan.

Kembali ke kasus Nafa Urbach yang dibahas di awal, nasib perwibuan kembali berada di ujung tanduk saat kasus ini mengemuka. Korbannya – yang masih ada kaitannya dengan artis terkenal di masyarakat – membuat stereotip wibu yang cabul dan suka anak di bawah umur semakin kuat.

FBI, satu dari sekian banyak meme yang menyindir lolicon.

Beruntung, kasus ini tak sampai meruntuhkan citra wibu seutuhnya. Kasus ini menjadi pukulan keras bagi mereka yang terdampak, membuat mereka berusaha memperbaiki citranya. Sekarang, mengakui diri sebagai lolicon dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan tabu, bahkan di kalangan wibu sekalipun. Meme 'FBI' dan 'ciduk' semakin populer di kalangan wibu, untuk mengingatkan para lolicon ini agar tak jatuh ke jurang yang sama.

Entah ke depannya semakin populer atau semakin tenggelam, perwibuan di Indonesia – sekali lagi – masih aman untuk saat ini. Meskipun demikian, kita tak tahu apa yang akan dilakukan oleh wibu di masa mendatang. Citra buruk memang bisa diobati, tapi tetap menyisakan bekas. Ada baiknya kita kembali membenahi perwibuan, mengubah sifat-sifat jelek kita, agar kasus serupa tak lagi terulang.