Peringatan: artikel ini berisi gambaran singkat pengalaman pelecehan verbal.

Jika dalam sekali waktu teman anda yang wibu salah mengira bagaimana perempuan berperilaku, wajar. Ketika terjadi yang kedua kalinya, mungkin sudah waktunya kita bertanya, memangnya perempuan seperti apa yang dia kenal. Jika kemudian terulang lagi ketidaktahuan dia soal perempuan, sudah waktunya kita berpikir: sebenarnya selama ini dia—atau wibu wibu lokal ini—dapat ide soal wanita dari mana?

Kejadian-kejadian inilah yang mengantarkan saya untuk menyusun liputan ini. Sudah sekian kali saya melihat di linimasa banyaknya otaku laki-laki yang memiliki ide aneh-aneh soal otaku perempuan, atau malah menganggap mereka 'gaib'. Dari kabar burung dan info balik layar muncul banyak rumor tentang para fans yang tidak loyal terhadap fandom, sering bergonta-ganti pasangan di dunia nyata, hanya mengikuti anime 'tren', dan masih banyak lainnya.

Namun tentu saja kabar burung bukanlah sumber baik untuk memahami orang lain. Dari kabar-kabar ini muncul pertanyaan: apa sebenarnya posisi otaku perempuan di Indonesia?  Di titik tertentu saya berpikir: mengapa para otaku perempuan ini sendiri cenderung tidak terlalu terlihat di kancah popkultur Jepang di Indonesia? Apakah mereka menyembunyikan diri, atau memang terlalu sedikit sampai tidak terlihat?

Pertanyaan-pertanyaan ini layak untuk dieksplor, mengingat seberapa sedikitnya kita mengetahui otaku perempuan Indonesia dan tendensi laki-lakinya untuk sok tahu soal perempuan. Dalam artikel ini, kami mewawancara sebelas orang perempuan Indonesia yang mengidentifikasikan diri sebagai penggemar popkultur Jepang, sebagian besar mengajukan diri untuk diwawancara dengan dua orang lain dihubungi oleh kedua pewawancara berdasarkan profil mereka. Kemudian kami mengajukan beberapa pertanyaan bagi mereka semua—dengan jawaban yang dapat memberikan gambaran awal tentang apa sebenarnya yang dirasakan oleh otaku perempuan Indonesia, terlepas dari bagaimana laki-laki mempersepsikan mereka.

Bagaimana posisi perempuan dalam kancah popkultur Jepang di Indonesia?

Dominasi Laki-laki dalam Komunitas-komunitas Otaku Indonesia

Setelah menanyakan identitas dan posisi mereka di fandom, dengan rata-rata jawaban yang mengatakan mereka telah mengikuti anime atau manga sejak sekolah dasar dan telah bertahun-tahun aktif di dalam komunitas otaku Indonesia, kami mengeluarkan pertanyaan sederhana: apakah fandom tempat mereka berada didominasi oleh laki-laki.

Penemuan pertama kami memperburuk situasi: otaku perempuan menghindari fandom yang diisi laki-laki, atau malah langsung membentuk kelompok sendiri. "Contohnya kemarin pas SnK (Shingeki no Kyojin) booming banget, aku sama teman-teman yang cewek banyak akhirnya yang keluar dari grup SnK Indo di facebook dan bikin grup...isinya cewek semua karena gak tahan sama konten-konten yang dibuat fans cowok" ujar Rena, yang mulai mengikuti anime sejak tahun 2010-an. Hal yang sama dirasakan Tama, yang merasa komunitasnya di Nijisanji ID didominasi laki-laki dibandingkan komunitasnya yang lebih spesifik seputar satu liver, Bonnivier Pranaja. Katto di komunitas Genshin Impact juga merasakan hal yang sama.

Beberapa narasumber merasa komunitas mereka sangat terasa didominasi laki-laki. "...80% isinya cowok kayaknya", terang Franzeska Edelyn, dikenal di kalangan otaku Indonesia sebagai cosplayer. Di komunitas pun, kepengurusan seringkali diisi banyak pria "...mulai dari ketua komunitas selalu laki-laki, mayoritas member-nya juga laki-laki. Walau mungkin ada beberapa perempuan juga yang terlibat...jumlahnya tidak sampai sepertiga" ujar Zora, narasumber lain yang telah menggeluti popkultur Jepang sejak anime tayang di televisi nasional pada awal dekade 2010an.

Cosplayer lokal lain, Lunar Haruhi, mengatakan bahwa meskipun ia tidak merasa komunitas yang ia ikuti memiliki ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, cosplay merupakan suatu pengecualian. "Karena kan memang cosplay...berkembang jadi sebuah industri...dasarnya dari standar kecantikan otaku laki-laki", ujarnya. Sherry Ashengrotto juga mengatakan hal yang sama, dengan catatan terhadap perilaku kurang baik di tempat umum ataupun sosial media yang membuat perempuan tidak nyaman. "Di beberapa event yang saya kunjungi, sering ada kejadian yang pelakunya laki-laki" ujarnya.

Sedangkan beberapa lain berkecimpung dalam komunitas yang didominasi perempuan. "Jumlah laki-laki di komunitas fanfic lokal yang gue ikuti bisa dihitung pakai sebelah datang dan...tidak ada bedanya sama teman-teman cewek" ujar Narya.

Dengan kata lain, banyak komunitas otaku lokal, terutama fandom-fandom yang lebih besar seperti Genshin Impact dan Shingeki no Kyojin, didominasi oleh kehadiran laki-laki.

Perempuan yang Terpinggirkan dalam Kancah Perwibuan

Tentu saja data di atas hanya menunjukkan 'dominasi' laki-laki saja, namun bagaimana kemudian hal ini berpengaruh pada pengalaman otaku perempuan? Jawaban-jawaban yang kami dapatkan cukup mengkhawatirkan, mulai dari standar kecantikan yang tidak masuk akal, pencibiran, sampai konten-konten yang membuat tidak nyaman.

Salah satu tema utama adalah mengenai konten.  Banyak konten buatan fans yang bersifat maskulin dan agresif. "Misalnya pas posting-an Eren (yang merencanakan) rumbling, banyak cowok yang mengglorifikasi genosida dan perang, pandangan lain cenderung diserang dan diejek terutama dari perempuan". ujar Rena. Ia merasa agresivitas ini lebih cenderung ada di kalangan laki-laki. "Bukan berarti fans cewek gak ada yang agresif, tapi rasanya gak ada fans cewek yang bilang 'woman minta diperkosa' setiap ada clash pendapat" lanjutnya.

Akibatnya, lanjutnya, banyak fans perempuan berganti nama laki-laki untuk menyelamatkan diri. Taktik ini berhasil, sebab mereka langsung menerima perbedaan perilaku dari laki-laki. Ancaman kekerasan yang mereka dapatkan berkurang jika dibandingkan ketika mereka menggunakan identitas perempuan. Beberapa di antara mereka juga tidak menggunakan foto diri dan sering dikira laki-laki, seperti Narya. Aksi ini menguntungkan, sebab, perempuan yang bersifat maskulin lebih didekati daripada perempuan-perempuan lain. "Mereka (laki-laki) lebih memperlakukan aku sebagai teman, sementara ke cewek lebih jaga jarak" ujar Yossy Juwita Sari.

Perilaku laki-laki di acara-acara jejepangan seringkali juga membuat tidak nyaman. Salah satu yang paling sering dikeluhkan adalah memakai hoodie ahegao, begitu juga teriakan seperti "wangi wangi" atau merusuh kegiatan tertentu. "Contoh yang parah seperti pelecehan seksual ke cosplayer...juga ada" ujar Sherry. Kasus-kasus pelecehan ini akan kami bahas di bagian lanjutan.

Kepengurusan acara dan komunitas yang berisi laki-laki juga tidak selalu baik untuk pengambilan keputusan organisasi. Sebab, jika diberikan kesempatan, perempuan juga seringkali bisa menjalankan secara lancar aktivitas komunitas yang dipegang laki-laki. Zora, salah satu narasumber kami, menceritakan bahwa ketika manajemen komunitasnya lepas tangan dalam urusan dance cover, para perempuannya dapat dengan sigap mengurus dan mengkoordinir persiapan sampai rampung. "Bahkan sampai hari-H ketika ada masalah, karena sudah banyak persiapan dari kami, semua masalah teratasi dengan cepat" terangnya. Ia juga menyampaikan bahwa kadang-kadang dominasi laki-laki di komunitas dapat membuat aktivitas mandek. "Bukan berarti semua perempuan mau perubahan...tetapi biasanya kalau ada yang ingin melakukan sesuatu yang berbeda, pencetusnya perempuan" jelasnya.

Apa Stereotipe yang Dihadapi Otaku Perempuan?

Para perempuan yang menjadi tomboi, menyembunyikan identitasnya, atau menyembunyikan diri dari komunitas yang lebih luas menjadi tidak mengherankan lagi jika melihat bagaimana laki-laki melihat mereka. "(Kami) sering dikira poser, tidak dianggap serius...dikira jadi wibu karena cari perhatian ke cowok" ujar Rena. Beberapa narasumber lain, seperti Edelyn, juga mengatakan hal yang sama tentang perempuan yang dianggap 'fans palsu'.

Perempuan juga dianggap (atau diwajibkan untuk menjadi) makhluk halus, lembut, dan tidak memikirkan konten dewasa "Cewe kok suka homo (atau) omong jorok, tidak pantas", ujar Narya, menirukan stereotip yang dimiliki orang-orang ini. Fara juga menceritakan pengalamannya langsung dikirimi pesan pribadi oleh orang yang tidak senang bahwa ia, seorang cosplayer perempuan, berkata kasar di medai sosial. Selain itu, dalam pandangan Tama, kalangan laki-laki sering mengira kalangan komunitas otaku perempuan identik dengan fujoshi, padahal tidak selalu.

Bagaimana laki-laki melihat para cosplayer lokal juga sangat bermasalah. Dalam cosplay, standar kecantikan yang dimiliki oleh otaku laki-laki seringkali menyulitkan. "(Inginnya) putih, langsing, imut...padahal kebanyakan perempuan Indonesia tidak seperti perempuan Asia Timur", ujar Lunar Haruhi, cosplayer asal bekasi. "Tapi kita jadi mati-matian gimana caranya kulit kita jadi putih. Mulai pakai make-up yang tidak cocok malah (bikin kulit) jadi abu-abu, penggunaan filter berlebihan, sampai penggunaan skincare berbahaya. Itu baru warna kulit, belum lagi bentuk badan", terangnya. Keterangan lain serupa juga disampaikan oleh Sherry, "(otaku perempuan) diharapkan agar mulus atau cantik, tapi yang seperti ini biasanya non-cosplayer" terangnya. Bahkan cosplayer bisa dianggap "...pasti cantik wajahnya seperti karakter anime" ujar Zora, narasumber cosplayer lain kami.

Standar ini seringkali merepotkan akibat banyak perempuan yang berkumpul sendiri, sama seperti keterangan narasumber lain, dan tidak mau masuk ke komunitas-komunitas yang didominasi laki-laki. Lebih lanjut juga laki-laki sering menuntut perempuan agar memuaskan pandangan mereka. "Aku pernah dibilang 'gede gendut gini cosplay Ciel (Phantomhive)'" ujar Sherry.

Bahkan beberapa perempuan kemudian menghindar dari acara-acara jejepangan. "Temanku juga banyak yang tidak berani (datang) ke event atau mulai cosplay" lanjutnya. Fara, cosplayer yang kami wawancara juga, menambahkan pengalamannya yang terus-terusan diminta oleh orang-orang tertentu untuk men-cosplay-kan karakter tertentu akibat kecocokan badan. Ia kurang menyukai perilaku ini karena seakan-akan cosplayer perempuan melakukan hobinya untuk memuaskan laki-laki, padahal tidak.

Meskipun laki-laki seringkali menuntut para otaku perempuan agar sesuai dengan standar kecantikan mereka, para cosplayer atau idol dance cover malah seringkali dianggap perempuan murahan yang bisa dibayar untuk melakukan tindakan-tindakan asusila. "Awal mula saya masuk dunia cosplay saya ditentang keras karena (dikira) saya akan melakukan apa saja demi uang dan ketenaran" terang Zora, narasumber cosplayer lain kami. Fara, cosplayer lain, pernah mendapatkan komentar "Oh, kalau cowo lu nggak ngurusin lu, sini gua aja yang gedein tete lu". Ia merasa bahwa komentar-komentar yang ia terima ada hubungannya dengan anggapan bahwa cosplayer perempuan merupkaan orang-orang yang mudah diajak untuk berhubungan seksual. "...Ngajak ngamar, seolah-olah gua tuh 'gampang'", lanjutnya.

Mereka juga sering disebut gampang meraih popularitas melalui tampilan badan. Namun, kontradiksi dengan hal ini, banyak pula terjadi pelecehan jika cosplayer tidak menampilkan karakter favorit laki-laki sesuai standar mereka. Dengan kata lain, perempuan mudah mendapatkan validasi sekaligus invalidasi sosial dari laki-laki. "Kalau misal good looking dapat pujian gampang banget, tapi semua prestasi bakal sering ditempis dengan 'cewe mah enak, modal gini gitu aja", ujar Edelyn.

Semua narasumber yang kami wawancara yang berhubungan dengan dunia cosplayer cenderung menyatakan hal yang sama: terdapat berbagai standar kecantikan yang tidak masuk akal berikut keinginan-keinginan laki-laki tentang bagaimana perempuan seharusnya bertindak dan bagaimana sebaiknya mereka menampilkan fisik mereka. Terdapat juga kontras antara kebutuhan pandangan mereka terhadap perempuan-perempuan yang rupawan sekaligus anggapan bahwa perempuan-perempuan itu hanya mengandalkan fisik untuk meraih ketenaran—hal yang dituntut oleh mereka sendiri.

Sayangnya, ini bukan bagian terburuk dari pengalaman perempuan di komunitas popkultur Jepang di Indonesia.

Apa Bahaya yang Mereka Rasakan Akibat Gender Mereka di Komunitas Ini?

Mungkin ketimpangan antara laki-laki dan perempuan di kalangan otaku Indonesia tidak akan menjadi masalah besar jika permasalahannya terdapat di representasi atau kurangnya keterbukaan. Masalahnya, penjelasan yang kami dapatkan adalah munculnya bahaya-bahaya potensial maupun nyata yang dirasakan oleh otaku perempuan Indonesia, kadang-kadang setiap hari. Mulai dari pelecehan verbal sampai fisik, perundungan, dan ancaman kekerasan, perempuan punya banyak alasan untuk menutup diri dari komunitas yang lebih luas.

Selalu ada potensi bahwa terdapat laki-laki berbahaya yang mendekati otaku perempuan untuk tujuan-tujuan yang tidak baik. "Teman-teman cewek tidak segan share informasi atau cari opini teman cewek ketika interaksi sama wibu cowok, apakah ini memang creepy...kita sebarkan namanya untuk diblokir kalau sudah cukup parah" lanjut Narya. Untungnya, baginya ruang maya cukup luas agar terjadi pemisahan antara ruang aman baginya dan teman-temannya agar tidak tersentuh oleh laki-laki dengan perilaku yang kurang baik. "Kalau ada (yang bermasalah), ya kami saling menguatkan" terangnya.

Cukup banyak juga lelaki kesepian yang meminta aktivitas seksual kepada para otaku perempuan. "Bisa pakai ayat agama di muka umum dan minta foto aurat di personal message" ujar Narya. Ia menyebutkan banyak perilaku seperti ini yang sering diperhatikan oleh perempuan, seperti komentar tidak lazim di foto cosplayer dengan meminta cosplay tidak senonoh untuk fantasi pribadi, atau pelecehan kepada penulis fanfiction smut karena menganggap orang yang menulis konten dewasa dapat digoda dalam konteks pribadi penulis. Terdapat juga laki-laki yang memaksa berkenalan dan kemudian melakukan teror komunikasi karena tidak direspon dengan baik.

Di kalangan cosplayer, mereka yang tidak memiliki fisik seperti perempuan Jepang mendapatkan celaan fisik (bodyshaming). Di sisi lain, mereka yang fisiknya sesuai dengan mata laki-laki justru mendapatkan pelecehan seksual. "Terkadang juga saat sedang di event ada orang yang sengaja menyenggol atau mepet-mepet agar terjadi skinship dengan performer wanita", ujar Zora. Lebih dari itu, terjadi pula kasus penguntit yang mengikuti cosplayer di salah satu acara besar, sampai perlu dikonfrontasi dan dilaporkan ke pihak keamanan.

Kasus lain juga adalah pelecehan dari fotografer dan penjual kostum. "Saya dengar dari teman-teman saja ada yang diajak foto dengan alasan bikin portofolio, yang harusnya dibayar malah hampir diapa-apakan" ujar Zora. "Lalu tawaran menjadi host live dengan kontrak ketat namun bayaran tidak setimpal, dan jarang sekali tawaran ini diberikan ke laki-laki" lanjutnya. Dalam urusan kostum terdapat pula kasus kostum untuk cosplay dipakai untuk pemuasan nafsu pribadi pihak rental. "Sangat mengganggu pemilik kostum yang kebanyakan juga perempuan" lengkapnya.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Untuk membantu situasi yang pelik ini kami mendapatkan satu jawaban jelas: otaku perempuan akan sangat terbantu jika laki-laki di dalam kancah tidak memalingkan muka ketika terjadi kasus yang serius. Pengurus laman atau grup fandom bisa memperhatikan mana laki-laki yang abusif atau creepy agar dapat dikeluarkan dari ruang fandom, dan orang-orang lain dapat membantu menegur. "Terasa terbantu saat ada laki-laki yang menegur...gak bisa kalau diingetin sama cewek, mereka anggap angin lalu saja" ujar Rena.

Tidak semua di antara kita telah tanggap terkait hal-hal seperti ini. "Cosplayer di daerah aku cukup tanggap...tapi untuk rusuh atau "wangi wangi" (dan) semacamnya, sayangnya, masih kurang ada tindakan lanjut" ujar Sherry. Narasumber lain juga menyampaikan bahwa perilaku-perilaku yang merugikan perempuan tidak boleh ditoleransi hanya karena merasa sungkan dengan pelaku. Zora bahkan menghimbau bahwa laki-laki dalam komunitas dapat mengabaikan drama-drama tidak penting dan memastikan terlebih dahulu apakah lingkungannya sudah aman bagi kawan-kawan perempuan.

Bukan berarti bahwa sesama perempuan telah cukup membantu satu sama lain dalam kasus ini. "Gua malah kecewa sama sesama perempuan karena banyak yang saling menjatuhkan" ujar Fara. Ia menceritakan dalam beberapa kasus, ketika terdapat perempuan yang melakukan tindakan bermasalah di fandom, seringkali fokus diarahkan ke fisik atau filter kamera yang ia gunakan, dan justru bukan ke permasalahan aslinya.

Semua narasumber menyampaikan hal serupa: para laki-laki di dalam komunitas harus turut menegur teman-temannya yang mengganggu perempuan atau jelas-jelas bertindak tidak senonoh terhadap mereka. Hal ini dilaporkan masih jarang terjadi akibat rasa pertemanan dengan pihak pelaku. Jika tugas membuat rasa aman dan nyaman diserahkan kepada perempuan, maka mereka akan membentuk kelompok sendiri dan menghindar dari komunitas laki-laki.

Mengapa Kami Menyusun Laporan ini?

Laporan singkat ini, seperti telah dijelaskan di atas, muncul dari berbagai post media sosial aneh yang berisi laki-laki yang menceritakan otaku perempuan secara berantakan dan tidak akurat. Jika tren ini terus berlanjut, saya khawatir para perempuan semakin jauh dari kenyataan komunitas jejepangan Indonesia dan hanya muncul sebagai bayangan dan anggapan dari laki-laki yang tidak tahu apa-apa soal perempuan. Tentu saja, kami akan bahagia kalau ternyata tren media sosial ini sekadar fenomena daring saja yang tidak perlu ditelusuri lebih lanjut. Namun, seperti apa yang telah anda baca, ketidaktahuan kita tentang perempuan-perempuan di kancah kita cukup nyata dan membahayakan mereka.

Mengapa apa yang anda baca kemudian penting? Sebab ternyata komunitas otaku lokal sama sekali masih belum bisa membuat perempuan di dalamnya merasa aman dan nyaman melakukan hobinya. Para cosplayer harus berhati-hati ketika mendatangi event, para ilustrator harus menghadapi 'keinginan pasar' yang sebagian besar berbau laki-laki, dan bahkan sekadar pembaca manga dan penonton anime casual sekalipun harus berhati-hati agar tidak disebut caper dan poser.

Halangan-halangan seperti ini tentu bukan merupakan hal yang diinginkan bagi komunitas penyuka popkultur Jepang di Indonesia. Jika perkumpulan-perkumpulan di sekeliling kita tidak bisa memastikan keamanan dan kenyamanan bagi banyak penggemar di dalamnya untuk beraktivitas, maka akan berkurang pula teman untuk kita ajak membahas judul yang kita sukai dan kawan untuk melakukan fan projects. Bukankah tujuan pertama kita berkumpul dan bercengkerama adalah agar mereka yang menyukai musik, film, dan gim yang sama agar dapat bertemu, berdiskusi, berdebat, dan bahkan menghasilkan hal-hal baru? Bagaimana caranya komunitas otaku Indonesia dapat berjalan secara efektif jika kita masih menutup ruang bagi perempuan untuk bergabung dengan kita secara bahagia?


Tulisan ini merupakan bagian pertama dari proyek rangkaian tulisan yang bertujuan untuk mengangkat kisah-kisah mereka yang terpinggirkan dari fandom jejepangan di Indonesia. Jika anda punya cerita yang ingin anda sampaikan terkait dengan hal ini, silakan menghubungi akun Facebook ini atau kirim surel ke [email protected].