Mengapa Horimiya, anime-adaptasi-manga-adaptasi-web novel ber-genre romance-comedy yang menjelaskan hubungan remaja secara akurat dan mengeksplorasi tema-tema sangat nyata seputar hubungan tersebut, justru banyak tidak disukai oleh otaku Indonesia?

Salah satu post facebook ini, misalnya, yang ditanggapi tidak kurang dari 200 orang dan disebarkan oleh hampir-hampir 700 orang, membandingkan Horimiya dengan Tonari no Kaibutsu-kun, menuduh Horimiya sebagai serial acak-acakan dengan komedi yang kurang mengena dan karakter yang 'belagu'. Post lain dengan jumlah engagement tak jauh beda mempertanyakan konten seks di luar nikah dari episode terbarunya. Page yang sudah beredar sejak lama dan terkenal dengan gaya beropini yang tidak bertanggungjawab, Koran Animu, menganggap Horimiya hanya menunjukkan ketertarikan eksklusif perempuan ke laki-laki rupawan.

Salah satu dari sekian banyak meme 'ngawur' yang beredar tentang Horimiya. (Sumber: Dedy Kizuko)

Sebenarnya memang otaku Indonesia biasa mengeluarkan input ngawur dan berantakan—apalagi page yang terakhir disebut—dan sekadar kengawuran pendapat bukan landasan artikel yang baik. Apa yang disorot disini adalah ketidaksukaan atau kekecewaan mereka yang menonton Horimiya, dan alasan mereka yang ganjil: penyelewengan apa yang mereka tonton dari aspek romcom yang mereka inginkan. Sebab, Horimiya pada perjalanannya merupakan serial yang mendapatkan banyak pujian akibat bagaimana caranya mengeksplorasi tema-tema serius seperti rasa kehilangan diri dalam masyarakat, krisis hubungan keluarga, sifat posesif, imajinasi gelap para remaja, dan kekhawatiran mereka sebelum memasuki dunia dewasa, untuk menyebutkan beberapa.

Jadi, apa aspek romcom yang sebenarnya orang-orang ini inginkan? Kita dapat mengetahuinya melalui dua ekspektasi yang 'dilanggar' Horimiya: romcom itu wholesome, tidak boleh banyak drama, dan karakter yang terlibat harus 'suci'. Dari sini, ada kesimpulan yang perlu diperhatikan: anime sebagai eskapisme dari kehidupan nyata yang begitu pahit.

Satu: Cinta Tak Boleh Drama!

Ekspektasi pertama, romcom itu wholesome, tanpa drama. Ekspektasi orang-orang ini adalah bahwa Horimiya akan serupa dunia di lagu-lagu HoneyWorks: seseorang menyukai lawan jenis, berupaya mendekati, skenario menembak yang mengharukan, lalu bertindak bucin di lingkungan sekolah. Konflik yang dibayangkan juga tidak jauh-jauh dari orang ketiga atau batasan perasaan dari tokoh-tokoh yang terlibat itu sendiri.

Jadi, ketika hubungan Hori dan Miyamura dijelaskan sebagaimana hubungan remaja terjadi di dunia nyata, segala yang pahit dan tidak wholesome ini dianggap sebagai 'pelanggaran'. Hori bukan 'tsundere', ia penuh rasa tidak aman (insecurity) yang hadir dari tiadanya figur panutan akibat orangtuanya yang jarang hadir di rumah dan tidak adanya jaringan pertemanan yang kuat. Miyamura bertindik dan bertato dianggap sebagai 'sok keren' atau 'berandalan' tanpa kemampuan untuk melihat subteks sosok seseorang yang berusaha mengeksplorasi identitas diri waktu remaja—sebagiamana apa yang akan dilakukan remaja pada umumnya. Awal-awal percintaan juga tidak akan berbunga-bunga: seperti pengalaman berpasangan pertama pada umumnya, mereka berdua dipenuhi oleh rasa cemas dan rasa takut kehilangan yang muncul dalam bentuk rasa tidak percaya antara satu sama lain.

Maka konflik orang ketiga dengan cepat menyingkir. Ishikawa cepat mengalah— meskipun dengan cara lebih kasar dalam versi aslinya—dan konflik segera beralih ke masalah internal, sebagaimana konflik biasanya terjadi dalam hubungan antar-remaja. Hori tidak punya figur panutan, dan mereka yang diharapkan hadir dalam hidupnya hanya datang secara terbatas.

Miyamura hadir membuka tangannya, lalu ditanggapi oleh Hori dengan dua sisi: satu sisi, rasa tidak percaya, sisi kedua, keinginan untuk diakui. Di sisi lain, Miyamura punya image yang harus dijaga, rahasia yang disimpan baik-baik sebelum secara tidak sengaja ketahuan oleh seseorang yang sebenarnya ia pun tidak tahu. Dari chapter paling awal, tema utama Horimiya sebenarnya sederhana: rasa tidak aman, rasa tidak nyaman.

Oleh karena itu, skenario yang paling kuat dari Episode 7 adalah skenario yang justru jarang dibahas: bagaimana kakak-beradik Kyoko hanya bisa mengandalkan satu sama lain dan adik Hori bereaksi kepada Miyamura seakan orang asing yang berbahaya bagi keluarganya: apakah orang ini akan 'merebut' kakaknya? Tentang skenario yang lebih ramai, bagaimana mereka pada akhirnya melepaskan rasa tidak percaya antara satu sama lain dan bagaimana Hori akhirnya kembali ke perasaan itu dengan menancapkan kukunya dalam-dalam ke punggung Miyamura dan 'menandai' lehernya—tanda rasa tak ingin kehilangan—sepertinya luput dari pembahasan.

Dua: Karakter Romcom Harus Suci!

Di sini ekspektasi kedua dilanggar: karakter-karakter yang terlibat tidak lagi 'suci'. Suci dari hubungan seks bebas? Saya curiga tidak. Beberapa trope paling sering dari anime adalah skenario pantai, pemandian air panas, dan desain kostum yang serampangan. Mereka yang menonton Horimiya sepertinya bukan puritan seks, tetapi puritan akan hal lain: menginginkan serial yang mereka tonton suci dari permasalahan-permasalahan nyata yang mengingatkan penontonnya akan kehidupan mereka sendiri.

Salah satu cuplikan manga Horimiya.

Bagaimana unsur seksualitas yang biasanya digunakan secara murahan sebagai fanservice di dalam anime tidak ditunjukkan di sini. Untuk pertama kalinya, mereka yang menonton anime dihadapi—dan kemudian menghindar dari—tema seks yang digunakan tidak untuk seks itu sendiri, tetapi sebagai plot device untuk menggambarkan isi kepala karakternya secara intens dan jujur. Dalam kekagetan itu, mereka lari ke narasi manapun yang memberikan perlindungan, yang menempatkan apa yang mereka tonton sebagai hal yang 'keliru'.

Narasi ini dapat berbentuk anggapan ngawur bahwa perempuan hanya melihat fisik laki-laki, atau amoralitas hubungan seks pranikah. Dua-duanya absurd karena (1) kesukaan Hori, sebagaimana perempuan pada umumnya, jelas lebih besar dari sekadar fisik Miyamura, dan (2) pasangan itu jelas tinggal di dalam norma sosial yang lain, dan melakukan apa yang dilakukan pasangan remaja pada umumnya di dalam masyarakat lain tersebut.

Wibu dan Sifat Eskapisme

Bagaimana narasi-narasi ini dapat ditolak dengan terlalu mudah adalah alasan artikel ini tidak ingin membantah anggapan-anggapan ini, tapi menggunakannya sebagai contoh untuk bahasan yang lebih serius: apa kita semua di sini hanya ingin kabur dari dunia nyata?

Romcom harus wholesome. Bebas drama. Kalau sampai menikah, lebih baik. Tanpa hubungan seks pranikah. Kalau perlu lawakan dengan kualitas komedian profesional. Karakter-karakter tidak boleh 'menyebalkan'. Dirangkai bersama, ekspektasi orang-orang yang kecewa ini adalah bahwa penggambaran hubungan dalam romcom harus fiksi dan jauh dari bagaimana hubungan antarmanusia terjadi di dunia nyata. Fitur-fitur yang mengecewakan dari Horimiya adalah fitur-fitur yang terjadi di dunia nyata, yang dirasakan penontonnya. Dengan kata lain, romcom harus sesuai dengan ekspektasi eskapisme wibu.

Tentu kesimpulan ini tidak dimaksudkan untuk menuduh semua yang tidak suka Horimiya adalah eskapis, orang-orang yang tidak memahami cerita, atau orang-orang berpikiran dangkal. De gustibus non est disputandum: selera tidak bisa diperdebatkan, dan sangat valid mereka yang menganggap Horimiya sangat buruk. Elitis pembaca manga atau web novel harus ditolak jika mereka mencoba menempatkan selera mereka 'lebih baik' di atas para anime-only. Artikel ini hanya mempertanyakan kontradiksi yang ada dan hadir pada kesimpulan bahwa sadar atau tidak, aspek-aspek yang ditolak dari Horimiya adalah aspek-aspek yang begitu nyata.

Sebab Horimiya, pada akhirnya, lebih berupa jurnal harian alih-alih produk murni fiksi. Romcom lain menghibur kita dengan skenario-skenario yang tidak mungkin, seperti Tonikaku Kawaii dan Tsurezure Children, atau entitas yang tidak nyata, seperti Sewayaki Kitsune Senko-san, atau pendekatan perempuan yang nyaris tidak akan terjadi, seperti Yamcha-gal no Anjou-san dan Ijirarenaide Nagatoro-san, atau ending yang begitu sempurna, seperti Kaichou wa Maid-sama. Judul-judul ini, yang merupakan favorit penulis juga, tidak 'lebih buruk' atau 'lebih baik' dibandingkan Horimiya (untuk mengkontraskan upaya delegitimasi Horimiya dengan judul lain yang dianggap 'lebih baik'). Salah satu alasan mengapa romcom begitu menyenangkan untuk ditonton adalah karena ia menyajikan skenario yang tidak akan terjadi dan tokoh-tokoh yang tidak akan pernah ada, dan lari dari dunia nyata adalah alasan yang sangat valid untuk mengonsumsi hiburan.

Anime yang disebutkan di atas juga gak bisa dibilang jelek, sih. Mungkin kita beda selera saja.

Namun bagaimana mereka menghibur pembaca dan penontonnya jelas jauh berbeda dari tema-tema Horimiya. Penyebab Horimiya begitu pahit dan manis adalah hubungan remaja di dunia kita begitu pahit dan manis. Hori yang mempertanyakan loyalitas Miyamura. Miyamura yang dibayang-bayangi ketidakpahaman atas pasangannya sendiri. Keluarga baik hati yang tidak selalu hadir dalam kehidupan Hori. Miyamura yang tidak tahu apa tempatnya di dalam keluarga yang tidak selalu hadir itu. Miyamura yang selalu mengajukan diri sebagai pihak yang bersalah ketika konflik, dan Hori yang kesal melihat Miyamura yang 'menyerahkan diri' ke dirinya. Remi yang sudah berdamai dengan kenyataan bahwa ia pada umumnya tidak serupa apa yang dibayangkan atas dirinya. Sengoku yang tidak selalu paham kesulitan apa yang sedang dialami kawannya. Ishikawa yang cemburu. Yuki yang kebingungan menghadapi tema-tema yang begitu serius dan 'dewasa'.

Serial ini tidak menawarkan dunia lain, ia menawarkan dunia milik kita sendiri, dengan segala rasa tidak aman, rasa tidak nyaman, rasa kebingungan, rasa posesif, dan rasa-rasa lain yang dihayati remaja pada umumnya. Tetapi ia juga tidak ngotot menjadi 'realistis' sepenuhnya: ia menawarkan bahwa dengan segala ketidakpastian yang mengelilingi suatu hubungan yang rapuh, masa depan yang bahagia masih dimungkinkan, dan tidak semua terselip menjadi hubungan penuh racun dan kebencian. Bahwa krisis bisa dilewati dan bahkan dengan puluhan kemungkinan kegagalan, kita bisa melewati setiap dan seluruh kemungkinan tersebut.

Hori dan Miyamura adalah pasangan panutan bukan karena mereka pelukan di sekolah atau kencan setelah kelas selesai, tapi karena komunikasi yang begitu hati-hati dan upaya membuka diri yang pelan tapi kokoh, manajemen emosi diri sendiri sekaligus memahami perasaan orang lain, serta empati dan kasih sayang. Ketidakamanan dan ketidaknyamanan berubah menjadi rasa aman dan nyaman yang berkepanjangan.

Maka, sedikit banyak, selain ditertawakan, reaksi otaku Indonesia terhadap Horimiya ini membuka banyak pertanyaan. Komunitas popkultur yang berkembang merayakan produk-produk yang reflektif dan membebaskan diri dari formula-formula yang sudah ada, sebab formula yang ada mengajak pembacanya untuk melarikan diri dari tema-tema reflektif. Pertanyaannya, hari ini, anime dan manga apa yang kita rayakan, serta mengapa?