21 April merupakan hari yang penting bagi bangsa Indonesia. Hari di mana Raden Ajeng Kartini, pejuang kesetaraan wanita, lahir ke dunia. Bersama dengan tokoh-tokoh perempuan sebelum dan sesudahnya, seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, atau Rasuna Said, mereka membuktikan bahwa perempuan mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, dan juga turut bahu membahu membawa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan.

Di tempat dan waktu yang berbeda, perjuangan yang sama juga dilakukan oleh Arte. Lahir di Florence, Italia zaman Renaissance, ia berjuang untuk mengejar impiannya menjadi seorang seniman, di tengah-tengah masyarakat yang tidak menganggap wanita setara dengan pria. Ia melawan adat, meninggalkan kehidupannya yang layak, untuk membuktikan bahwa kaum hawa juga bisa menjadi sesuatu yang lebih dari urusan dapur dan kasur.

Ya, Arte di sini memang bukanlah tokoh dunia nyata. Ia adalah karakter utama dari anime berjudul sama. Terlepas dari itu, kisah perjuangannya menarik untuk disimak, karena inilah hal dasar yang diperjuangkan oleh kaum feminis di seluruh dunia: kesetaraan hak pria dan wanita.

Arte, Anak Bangsawan yang Melawan Takdir

Arte adalah anak seorang bangsawan yang hidup di Florence, Italia zaman Renaissance (sekitar abad ke-16). Ia menyukai seni, tetapi ibunya menolak keras dan menyuruhnya untuk segera menikah.

Arte saat masih tinggal di rumah mewahnya.

Banyak wanita di masa itu memilih untuk membuang jauh-jauh impiannya ketika dihadapkan pada kondisi yang sama — lagipula, tidak baik melawan tradisi dan orang tua. Lain dengan Arte. Ia rela meninggalkan masa depan yang nyaman dengan suami bangsawan terpandang dan memilih untuk mengejar impian yang penuh dengan ketidakpastian.

Kesulitan segera mendatangi Arte, tantangan demi tantangan. Saat ia mencari guru untuk meningkatkan kemampuan seninya, banyak seniman yang langsung menolaknya mentah-mentah, hanya karena Arte seorang wanita. Kesal akan penolakan itu, ia sampai memotong rambut panjangnya. Ia mungkin akan melukai dirinya sendiri jika tak dicegat oleh Leo, yang kemudian menerima Arte sebagai muridnya.

Pria atau Wanita, yang Penting Kemampuan dan Tekadnya

Leo adalah masyarakat kelas bawah. Ini berarti, ia akan lebih sulit menggapai cita-citanya, sebab 'semua hal akan berhasil jika kamu bekerja keras' adalah omong-kosong. Seniman di kotanya juga tak mau menerima Leo karena cap proletar yang dibawanya. Leo akhirnya diterima di salah satu atelier (studio seni), di mana gurunya mendidiknya dengan keras. Awalnya ia merasa diperlakukan tidak adil, namun, hal itu malah membuatnya rajin dan berkembang cepat. Cara yang sama juga digunakan saat Leo mendidik Arte.

Arte dan gurunya, Leo.

Bagai mahasiswi yang baru saja memulai perkuliahan di jurusan DKV, Arte datang mencari guru lukis semata-mata karena ia suka menggambar. Untuk guru yang akhirnya ia temui, Leo, niat saja tidak cukup. Mereka yang datang kepadanya harus bisa membuktikan kemampuannya. Leo lantas memberikan Arte tugas yang sulit dilakukan oleh gender manapun: menyiapkan 20 panel kanvas dalam waktu semalam. Dengan ketekunan yang gigih, Arte berhasil melakukannya.

Spoiler! Mulai dari baris ini, artikel akan menjabarkan hal-hal yang belum diceritakan di anime (saat artikel ini ditulis). Harap baca dengan penuh kesadaran.

Tak hanya itu, nasib Arte semakin diuji ketika atelier saingan di Florence berusaha menjatuhkannya. Kasta rendahan Leo dan sikap diskriminatif terhadap gender Arte menjadi sasaran empuknya. Mereka lantas dijatuhkan tugas yang hampir mustahil untuk diselesaikan, yaitu menyelesaikan fresco di kota tersebut. Beruntung, Leo, Arte, dan sejumlah artists lainnya berhasil menyelesaikan fresco tersebut dengan baik. Dengan kata lain, Arte telah mendapat kehormatannya di kota itu, tetapi mungkin dengan jalur yang lebih mudah seandainya ia laki-laki.

Lusanna yang Tertindas, Catalina yang Ingin Bebas

Pada suatu hari, Leo kedatangan seorang tamu. Ia adalah Lusanna, anak dari gurunya dulu yang dinikahkan oleh anak keluarga pedagang dengan mahar besar. Sayangnya, sang suami meninggal saat Lusanna hamil tua. Ia mencoba untuk mendapatkan kembali maharnya, namun ditolak mentah-mentah oleh mertuanya yang serakah.

Berkat hubungan baiknya dengan orang-orang berpengaruh di kota itu, seperti Veronica dan Ubertino, ia menyadari bahwa skill dan attitude baik saja tak cukup. Menjalin hubungan baik dengan orang berpengaruh – atau bahasa kekiniannya koneksi – juga tak kalah penting.

Atas dasar inilah, Yuri Faliero, seorang pedagang kaya dari Venice, bersedia untuk membantu Arte agar Lusanna mendapatkan kembali maharnya, dengan satu syarat. Arte harus pergi ke Venice untuk menjadi tutor dari Catalina, keponakannya.

(dari kiri ke kanan) Catalina, Arte, dan Yuri di Venice

Catalina adalah anak yang pembangkang dan suka bertindak semaunya sendiri. Ia sering tidur saat pelajaran dan tak mau mengikuti gaya hidup ala bangsawan Venice. Banyak tutor yang sudah didatangkan dan semuanya tak tahan dengan kelakuan Catalina. Datanglah Arte yang mendidiknya dengan keras, tetapi tetap meluangkan waktu untuk bersenang-senang bagi Catalina sampai suatu hari Arte tak sengaja menemukan kegemaran Catalina yang terpendam.

Catalina suka memasak, keahlian yang ia dapatkan dari masa hidupnya di desa. Pada saat itu, bayi bangsawan yang baru lahir dititipkan di desa oleh orang tuanya untuk kemudian dijemput saat usianya sudah tiga tahun. Di desa inilah Catalina menikmati harinya. Ia membersihkan rumah, mencuci baju, hingga memasak, sesuatu yang oleh masyarakat saat itu dipandang hanya dilakukan oleh pembantu. Di masa ini juga, Yuri sang paman hadir di dalam kehidupannya. Yuri sering berkunjung ke desa, mengajak Catalina dan anak-anak lainnya bermain bersama.

Lewat usia tiga tahun, Catalina belum dijemput juga. Rupanya  ayahnya lebih mengharapkan anak laki-laki, sehingga ia tetap tinggal di desa sampai usianya enam tahun. Pada saat Catalina dijemput, ibu angkatnya sudah meninggal dan ayah angkatnya mundur dan membawa anaknya pergi. Ibu kandung Catalina telah melahirkan anak laki-laki — sesuatu yang lama diidamkan orang tuanya.

Benar saja, di rumah orang tua kandungnya yang bergelimang harta, Catalina tidak bahagia. Orang-orang di rumahnya tak peduli dengannya, menganggapnya hanya masalah semata. Semua pekerjaan rendahan yang ia sukai di desa tidak boleh lagi dilakukan. Ia terpaksa bersikap layaknya orang terpandang — sesuatu yang ia tak mau lakukan. Kebahagiaan Catalina hanya didapat ketika ia berkunjung ke rumah pamannya. Di sana, ia memasak dan makan bersama Yuri dan pelayannya, suatu acara di mana Arte adalah satu-satunya tutor yang diundang.

Lebih-lebih, Catalina merindukan Gimo, saudara angkatnya yang kini bekerja di seberang pulau. Ia mengira Gimo tak mau lagi menemuinya. Namun, sesungguhnya hal itu Gimo lakukan karena ia percaya masa depan Catalina lebih cerah ketika ia merelakannya, persis seperti Leo saat melepas kepergian Arte ke Venice.

Semenjak saat itu, Catalina bangkit dari masa lalunya, dan mulai menerima hidup barunya. Yuri ingin Arte bertahan lebih lama di Venice, tapi tekad Arte sudah bulat. Ia akan kembali ke Florence untuk mengejar impiannya yang lebih besar.

Saat artikel ini ditulis, anime Arte baru berjalan tiga episode. Manganya juga masih berlanjut. Kita tak tahu apa yang akan terjadi pada akhirnya. Satu hal yang jelas, akan ada lebih banyak tantangan yang akan dihadapi Arte, sesuatu yang harus dapat ia tuntaskan.

Dan Perjuangan Masih Berlanjut

Lewat seabad setelah Kartini, dan empat abad setelah Arte, kita merasa perjuangan tersebut sudah selesai, padahal nyatanya tidak. Masih banyak bentuk pelecehan dan penindasan terhadap wanita yang jarang terendus pemberitaan massa, baik di rumah tangga maupun tempat kerja. Di sisi lain, ada pula wanita yang memanfaatkan kebebasan ini untuk memuaskan egonya, terkadang merendahkan laki-laki dalam prosesnya.

Arte memang hanya karakter fiksi. Namun, perjuangan yang ia bawa nyata adanya. Ketidakadilan dalam serial Arte jugalah ketidakadilan di dunia kita. Dunia memang kejam, tapi bukan berarti kita membiarkan ketidakadilan merajalela begitu saja. Semua orang berhak untuk hidup bebas dan bahagia.