Comic Frontier Virtual pertama telah berhasil diselenggarakan atas dorongan kebutuhan paling mendasar komunitas penggemar popkultur Jepang di Indonesia: bercengkerama dan bersosialisasi, sebanyak apapun becandaan 'wibu ansos' yang dilontarkan. Ini bukan event virtual pertama yang diselenggarakan: Quarantune Fest dan AFA Online merupakan dua contoh prototype usaha membangun komunitas di masa pagebluk ini.

Telah dijelaskan di artikel lain fenomena ini, ketika pagebluk menutup ruang-ruang untuk berinteraksi dan berkomunitas, pertemuan langsung dengan cosplayer kesayangan, atau bertatap muka antara komikus dan penggemarnya. Usaha-usaha ini, didukung oleh komunitas pada umumnya dan VTuber yang masuk ke dalam skema event seperti ini secara mulus, patut diacungi jempol sebagai bagian dari usaha lebih besar untuk mempertahankan hubungan sosial di masa hubungan sosial menjadi hal yang tidak boleh dilakukan.

Namun, lebih dari setahun setelah pagebluk ini dimulai, beberapa pihak berusaha untuk menyelenggarakan event secara luring atau offline. Saya tidak perlu menyebutkan nama-namanya di sini, namun salah satu di antaranya sempat bermasalah dengan masyarakat setempat dan aparat kepolisian. Beberapa acara lain, meskipun tetap diselenggarakan secara offline, tidak tertangkap radar publik.

Saya kira saya tidak perlu menjelaskan terlalu panjang alasan mengapa anda tidak perlu menyelenggarakan event wibu di hari-hari ini. Untuk ada yang belum yakin, silakan membuka situs berita nasional selama cukup tiga puluh detik — Anda akan mendapatkan jawaban dari sana.

Toh, mereka yang melanggar aturan dilarang berkumpul atau bahwa kita harus saling berjarak satu sama lain tahu betul bahwa kegiatan-kegiatan itu membantu penyebaran virus sialan ini, dengan pandeminya yang tidak selesai-selesai. Masalahnya tidak di situ. Mereka, juga para penyelenggara event wibu di kala pandemi ini, mengakali norma tersebut dengan satu dan lain alasan. Alasan-alasan inilah yang akan secara singkat dijabarkan di sini.

"Event Online Terasa Kurang!"

Pertama, kebutuhan bersosialisasi. Sudah terlalu lama sejak kita berkumpul, dalam skala besar, secara tatap muka dan sepenuhnya berkomunikasi dan berinteraksi dengan satu sama lain. Secanggih apapun event virtual memang selalu hanya mereproduksi event 'asli', seakan-akan 'Tier 2' dari acara yang benar-benar bersifat 'sosial' dan 'hangat'.

Dari kesimpulan ini, beberapa orang nekat untuk menyelenggarakan event tatap muka, dan lebih banyak lagi nekat untuk mengikutinya. Alasan ini langsung patah mengingat bahwa argumen yang sama yang mengedepankan event offline adalah argumen yang turut menaikkan posisi event virtual. Iya, acara-acara virtual bersifat 'Tier 2', tapi ia bukan reproduksi yang buruk, atau barang kualitas KW, dibandingkan acara luring. Ia dapat tetap membangkitkan rasa komunitas dan menjalin simpul-simpul yang sebelumnya hilang ditengah krisis.

Kata terakhir adalah kunci: kita hidup dalam masa krisis. Dalam masa krisis, tidak ada pangan kelas-pertama, acara sosial kelas-pertama, dan layanan publik kelas-pertama: hanya ada replikasi-replikasi, usaha-usaha tambahan, reproduksi-reproduksi. Maka alasan ini langsung gugur dihadapkan dengan situasi riil: kita sedang berada di masa krisis dan kita tidak bisa mengharapkan akan mendapatkan acara sosial dengan standar non-krisis.

Kedua, profit. Tidak ada masalah untuk mematahkan alasan ini: jarang sekali acara jejepangan yang menghasilkan profit, kecil atau besar, ramai atau sepi, online atau offline. Keterangan dari beberapa teman redaksi maupun salah satu pelaku sirkel yang mengikuti secara dekat acara-acara jejepangan beberapa tahun terakhir telah mengkonfirmasi tipisnya atau tiadanya profit di acara jejepangan manapun yang diselenggarakan sejak dahulu.

Ketiga, yang penting sudah taat prokes. Ini adalah 'kartu as' bagi mereka yang menyusun, menyelenggarakan, atau mengikuti kegiatan tatap muka di masa-masa ini, jejepangan atau tidak. Selama semua peserta dan panitia telah dites negatif, memakai masker, mencuci tangan, dan tidak sakit waktu hari H, maka semuanya akan baik-baik saja—sebagaimana di skenario lain, 'prokes' menjadi mantra yang dapat mengabaikan kondisi riil, bahwa segala hal dapat dilakukan seperti biasa asal ada 'prokes'.

Sudah 100 tahun, Indonesia tidak pernah berubah.

Padahal, protokol-protokol ini adalah 'pengaman' bagi kegiatan-kegiatan yang terpaksa harus ada, seperti urusan kesehatan, pekerjaan lapangan, atau membeli kebutuhan sehari-hari. Protokol pertama dari wabah sejak ratusan tahun silam tetap sama: hindari kerumunan yang tidak perlu dan kontak fisik langsung. Usaha-usaha lain, seperti masker dan cuci tangan, justru adalah usaha 'tambahan' yang terpaksa dilakukan. Dengan tidak masuknya penyelenggaraan acara jejepangan (atapun acara-acara publik lainnya) ke dalam kategori esensial atau perlu dilakukan, maka alasan terakhir ini bangkrut secara logis: ia berusaha untuk memberikan alasan pada kegiatan yang sudah salah dari awal.

Sederhananya: event wibu offline bisa anda selenggarakan di lain hari. Untuk tidak memperpanjang krisis, segala pertemuan dapat dilakukan secara daring sampai pagebluk ini selesai. Jika anda tetap ingin mengunjungi atau menyusun acara luring, perlu diketahui bahwa satu-satunya cara adalah dengan berharap krisis ini cepat selesai, alih-alih menjelma menjadi mimpi buruk yang berkepanjangan.

Otsukare!