Baru-baru ini lagi ramai di media sosial karena ada kejadian gundam seorang laki-laki diambil oleh saudaranya untuk mainan si keponakan dengan dalih “oleh-oleh”. Kali ini penulis akan menuliskan ulasan kejadian ini dari perspektif psikologi perkembangan. Semoga kalian semua berkenan membacanya ya!

“Gundam seharga 1 Hp redmi Mid-range di ambil keponakan Tante saya.. dibilang mainan harga 50 ribu 🤣 lawak banget nih

Nyicil barang buat Studio saya nanti.. dari Gundam + Figure anime + Figure Godzilla sampai hal yg dulu saya ngak punya.. niat nya mau di taruh lemari kaca dan di pajang di samping meja PC.. niat hati abis kerja/desain/pulang sekolah/main game/ di PC bisa rehat sambil liat meja yg penuh impian (semua barang masih segel dan masih di kamar saya.. saya belum punya foto nya malah 🤣 dengan niat mau roomtour dan review aja saat semua udah jadi dan tersusun)

Sekarang 2 robot kesayangan saya hilang.. Gundam Barbatos harga 750 K sama Gundam bekas tipe war GP - 03 harga 1,800..

Udah lah ngak bilang-bilang.. dikatain harga murah.. di katain

"SEKOLAH DI PIKIR JANGAN BISNIS MULU.. NGAK BELAJAR SOPAN SANTUN ?!"

*Hati-hati yg punya saudara begini.. keren sih salut.. di paksa Ikhlas

**penjelasan lebih di komen berisi unek-unek..

**Pemilik post depresi berat.. sholat gak tenang..makan ngak enak.. itikad baik cuma berharap sama suami yg lagi nyetir mobil.. Semoga Paham dan di uangkan”

"Mainan 50 ribu aja gak ikhlas?!"

Tertulis seperti demikian di postingan sumber. Bagi kalian yang sudah baca postingan tersebut... Bagaimana rasanya? Nyesek gak sih? Karena penulis yakin banyak dari kalian yang bisa mengerti penderitaan dan perjuangan dia dari postingan tersebut.

Nah sekarang kita ulas, yuk!

Harga gundam itu memang tidak murah untuk seharga “mainan”, apa lagi bagi mereka yang sudah dari dulu sangat hobi menonton film Gundam sampai jadi penggemar beratnya. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, memang Gundam itu hanyalah “robot-robotan biasa”, tapi bagi mereka yang sangat kagum dengannya menganggap itu adalah “robot pahlawan super yang sangat keren!”.

Kebanyakan yang menggemari Gundam ini kelahiran tahun 1980-1990an, bahkan dari kelahiran 2000an juga banyak yang menggemari Gundam, loh! Sayangnya mereka yang menggemari Gundam sedari zamannya Gundam masih tayang di televisi di setiap Minggu pagi cukup sulit untuk mengekspresikan kekagumannya melalui merchandise. Selain karena kondisi keuangan saat itu sangat krisis, banyak orang tua yang memandang Gundam hanya sebatas “robot biasa” untuk anaknya.

Itu sebabnya anak-anak yang dulu hanya bisa mengagumi Gundam dari tayangan televisi, kini mulai merealisasikan hobinya melalui Gunpla (Gundam plastic) yang harganya tidak murah, dari ratusan ribu hingga jutaan!

“Masa kamu tega marahin 2 keponakan kamu?”

Iya! Harus tega!

Anak itu harus diajarkan disipilin sedari kecil, bahkan saat ia berumur tiga tahun pertamanya. Disiplin merujuk pada metode pengajaran anak tentang karakter, kontrol diri, nilai moral, dan perilaku.

Disiplin dengan teknik behavioris “penguatan dan hukuman” penting bagi anak. Anak memang harus diberi pujian saat mencapai sesuatu atau melakukan hal baik, apresiasi sangat penting untuk manusia supaya mereka merasa dihargai. Tetapi anak juga perlu diberi hukuman agar anak dapat mengenal yang namanya kesalahan. Sayangnya, kebanyakan hukuman berupa hukuman fisik dapat berdampak pada trauma anak yang serius. Itu sebabnya, sebaiknya hukuman fisik harus dihindari atau dikurangi.

Menurut Grusec dan Goodnow, pilihan dan keefektivitasan strategi disipliner tergantung pada kepribadian orang tua, kepribadian dan usia anak, dan kualitas hubungan keduanya, juga harapan kultur.

Kalau hanya fokus pada hukuman saja mungkin tidak cukup untuk memengaruhi perilaku anak. Padahal masih ada cara disiplin lainnya, loh! Seperti kekuatan ketegasan (power assertion) yang melemahkan prilaku anak  yang tidak diinginkan melalui kontrol orang tua secara fisik dan verbal, teknik induksi yang mendorong prilaku anak dengan berbicara memengaruhi rasa kelogisan dan keadilan anak, atau withdrawal of love yang mendisiplinkan anak dengan cara pengacuhan, pengisolasian, atau menunjukkan ketidaksenangan kepada anak.

Sesekali kasih contoh yang baik juga.

Kalau dihubungkan dengan kasus “mainan harga lima puluh ribu” di atas, sepertinya si ‘Bunda’ sangat sayang dan menganakemaskan mereka sampai-sampai tidak tega untuk menolak keinginan sang anak.

Padahal bisa, loh, si Bunda mendisiplinkan anak dengan teknik induksi jika memang benar-benar tidak tega memberi hukuman pada anak, memberi tahu anak bahwa masuk ke kamar orang lain perlu izin karena itu berisfat ‘privasi’, menanyakan izin untuk meminta Gundam kepada pemiliknya karena itu bersifat ‘milik orang lain’, serta mengalihkan ke pilihan lain agar anak dapat belajar membuat pilihan.

Coba kalian bayangkan, jika orang tuanya saja sudah mengajarkan si anak untuk bersikap egois sampai merugikan orang lain, bagaimana untuk menumbuhkan sikap prososial ke anaknya?

Menurut Eisenberg dan Fabes, keluarga memiliki arti penting sebagai model dan sumber standar perilaku eksplisit, juga menurut Singer bahwa orang tua dari anak yang prososial biasanya juga prososial. Prososial adalah aktivitas sukarela yang bertujuan memberikan keuntungan kepada orang lain. Dari prososial ini bisa tumbuh perilaku altruisme yang mana menolong orang lain dari batin tanpa mengharapkan imbalan apa pun.

“Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya”, begitu kata pepatah. Karena memang biasanya sikap anak mencerminkan sikap orang tuanya.

Penulis tetap berharap semoga orang tua yang bersangkutan dapat tersadar bahwa yang ia lakukan adalah toxic parenting. Semoga anak-anaknya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan menjadi manfaat tanpa merugikan orang lain, serta kepada korban “mainan harga lima puluh ribu” itu mendapatkan balasan yang jauh lebih baik dan kejadian ini membuatnya semakin kuat.

Kepada para pembaca artikel ini, jangan malu dan malas belajar mendidik anak ya! Selalu semangat belajar karena tidak ada kata batasan untuk belajar menjadi lebih baik.

Artikel oleh Aisyah Muza.