Tidak disadari, bahwa kucing bukan hanya hewan domestik yang terdapat di Jepang saja, melainkan seluruh dunia pun akan menemui hewan felis catus yang kental dengan "sembilan nyawa"-nya menghadapi berbagai kondisi dari cuaca, tempat, bahkan ketinggian.

Namun, pernahkah sesekali menjumpai suatu rumah atau mungkin toko yang memajang patung maki-neko (招き猫) berciri khas berdiri dengan salah satu kaki yang diibaratkan tangan melambai-lambai seperti artinya yaitu 'kucing yang memanggil' atau secara pemahamannya memanggil keberuntungan dan keberkahan untuk datang ke tempat itu.

Maneki-neko, pertama kali muncul pada akhir periode Edo di Jepang. Catatan paling awal tentang maneki-neko muncul dalam Buko-nenpyo (Kronik Zaman Edo) tertanggal 1852 Masehi. Ukiyo-e atau lukisan cukil kayu Jepang "Joruri-machi Hanka no zu" milik Utagawa Hiroshige yang dilukis juga pada tahun 1852, menggambarkan marushime-neko, variasi dari maneki-neko, dijual di Kuil Senso, Tokyo.

Pada tahun 1876, selama era Meiji, hal itu disebutkan dalam artikel surat kabar, dan terdapat bukti bahwa maneki-neko berpakaian kimono didistribusikan di sebuah kuil di Osaka pada masa itu.

Lantas, terdapat sesuatu yang melatarbelakangi sosok kucing yang mewarnai kebudayaan maupun sejarah Jepang dari berbagai sumber-sumber, salah satunya adalah buku karya Iwazaki Eiji berjudul Waneko no Ashiato (Jejak Kucing Jepang) yang berfokus kepada alasan khusus masuknya kucing kepada kebudayaan Jepang hingga ke kuil-kuil.

Peran Kucing pada Masa Jepang Kuno

Nenek moyang kucing rumahan di Jepang, atau ieneko, pernah dianggap datang melalui jalur sutra pada suatu waktu selama periode Nara sekitar tahun 710-794 M hingga awal periode Heian 794–1185 M. Mereka dibawa ke kapal untuk melindungi gulungan Buddha dari tikus. Namun, pada tahun 2011, ditemukan tulang-belulang yang diidentifikasi sebagai milik kucing domestik, tertua di Jepang periode Yayoi 300 SM – 300 M reruntuhan Karakami di pulau Iki, Prefektur Nagasaki. Tampaknya kucing dipelihara sebagai hewan peliharaan di sana sejak 2000 tahun yang lalu.

Kucing rumahan dijadikan sebagai hewan peliharaan masih terbilang langka di zaman Heian, dan sebagian besar merupakan hewan peliharaan berharga bagi kaisar dan bangsawan. Iwazaki juga menjelaskan bahwa keluarga kekaisaran Jepang memiliki sejarah kerajaan terpanjang tak terputus di dunia, dan juga sejarah terpanjang dengan kucing. Kaisar sendiri memiliki hubungan yang sangat dalam yang tercantum dalam buku harian Kaisar Uda 887–931 M menyertakan catatan rinci tentang kucing.

Dalam catatannya, kaisar berbicara tentang menerima kucing hitam pada usia 17 tahun dari ayahnya, Kaisar Koko, dan tulisannya tampaknya mengungkapkan kasih sayang yang mendalam untuk itu. Kaisar Ichijo 980–1011 M juga dikenal karena kecintaannya pada kucing, bahkan menggambarkan bagaimana kaisar begitu menyayangi hewan peliharaannya hingga memberinya peringkat pengadilan khusus.

Kucing dan Kebudayaan Jepang

Di dalam bukunya, Iwazaki mulai mengunjungi situs bersejarah yang berhubungan dengan kucing segera setelah mendapatkan gelar doktor dengan menghabiskan seminggu berkeliling kuil dan kuil yang berhubungan dengan pengetahuan kucing yang ditemukan di internet atau di buku panduan. Sejak itu, Iwazaki telah mengunjungi 100 situs serupa di seluruh Jepang dalam meneliti kaitan kucing dengan kuil-kuil di Jepang.

Iwazaki menemukan bahwa dalam kunjungannya ke Prefektur Niigata khususnya, yang memiliki kuil paling banyak di Jepang, memiliki banyak cerita rakyat tentang kucing. Niigata juga merupakan sektor penanam padi terbesar di Jepang, sehingga bahaya tikus mungkin ada hubungannya dengan banyaknya kucing di sana.

Sebagai contoh, kuil Nanbu Jinja di Nagaoka juga dikenal sebagai Nekomata Gon'gen, dengan nama neko yang mengacu pada hewan tersebut yaitu kucing domestik. Sebuah patung batu kucing menyambut para pengunjung, dan ketika pertanian ulat sutra lebih umum, orang-orang datang ke sana untuk berdoa memohon perlindungan ulat sutra dan tanaman padi mereka dari tikus.

Nanbu Jinja di Distrik Nagaoka, Prefektur Niigata

Salah satu legenda paling umum di wilayah Tohoku sekitar utara Jepang yaitu tentang Neko Danka, atau kucing kuil yang bercerita suatu ketika, seorang biksu di kuil yang sangat miskin memiliki seekor kucing.

Suatu hari, kucing itu menghilang. Kemudian, biksu itu didatangi kucing itu dalam mimpi dan berkata, 'Tidak jauh dari sana, ada pemakaman di rumah orang kaya. Aku akan membuat masalah di sana. Ucapkan mantra ini, dan aku akan berhenti. Bila kau melakukannya, keluarga orang kaya akan membayarmu dengan mahal, dan kuil akan makmur."

Dan, seperti yang dijanjikan kucing itu, kekuatan spiritual biksu itu menjadi terkenal, dan kuil menjadi makmur. Kehadiran kucing yang membantu manusia dalam kesehariannya menjadi tema umum dalam mitologi kebudayaan Jepang.

Di sisi lain, terdapat pula legenda kucing iblis yang muncul. Karena kucing adalah karnivora alami, mereka tidak terlalu menyukai karbohidrat seperti nasi, makanan tradisional yang menjadi andalan pada hari-hari ketika makan daging tidak disukai karena alasan agama.

Pada zaman Edo, orang menggunakan minyak ikan di lentera, dan pemandangan kucing berdiri dengan kaki belakang dalam kegelapan menjilati minyak dari lentera kemungkinan besar juga menimbulkan ketakutan. Ada juga masa di zaman Edo ketika kucing menjadi sangat berharga. Di daerah dengan peternakan sutra yang berkembang pesat, kucing diperdagangkan sebagai alat berharga untuk menjaga keamanan ulat sutra dari tikus.

Ada catatan yang menunjukkan seekor kuda bernilai satu ryo, koin emas standar, sementara kucing terkadang berharga lima ryo.

Kuil Gotokuji, sebuah kuil di Setagaya, Tokyo yang terkenal karena hubungannya dengan tradisi maneki-neko. Dahulu kala, kucing kepala biksu memanggil Ii Naotaka, seorang daimyo penting dari Keshogunan Tokugawa, menariknya dan rombongan menjajakannya ke dalam kuil. Segera setelah itu, badai petir dahsyat melanda.

Ii senang karena terhindar dari bencana, dan juga terinspirasi oleh ceramah biksu itu tentang dharma yang perlu diberikan. Seketika pula kuil itu menjadi makmur di bawah perlindungan Ii. Saat ini, kuil tersebut memiliki aula bernama Shofukuden di mana para pemujanya mempersembahkan patung maneki-neko yang tersenyum, yang dapat dilihat di sana dalam jumlah besar.

Ada satu teori yang mengatakan maneki-neko berasal dari Usugumo Dayu, pemeran oiran dari Yoshiwara Kuno di Edo, yang kucing kesayangannya melindunginya dari ular raksasa.

Konklusi

Munculnya mite-mite Jepang yang menjelaskan tentang kucing hingga kaitannya dengan kecintaan Jepang terhadap kucing tidak terlepas dari unsur keagamaan maupun kekuasaan yang berlaku sejak lama. Para kaisar-kaisar dari zaman Heian hingga Meiji menjadikan kucing domestik sebagai peliharaannya dan tidak jarang bahkan menunjukkan kecintaannya dengan penempatan kucing ke dalam jenjang tertentu.

Selain itu, dalam sisi keagamaan bahwa kucing selalu membantu manusia dalam kehidupan sehari-hari terutama melawan tikus yang merepresentasikan keburukan dan gangguan yang muncul akibat kerugian yang dialami pada kenyataan masyarakat Jepang. Karena kucing sering membantu manusia, maka muncul mitologi-mitologi Jepang di mana kucing membawa kebaikan dan keberuntungan bagi tokoh yang diceritakan sebagai dharma yang dapat membuang keburukan.

Hal-hal ini maka kucing sejak dulu telah dianggap sebagai hewan yang spesial di mana pada periode Heian, kucing adalah makhluk berharga yang hanya bisa dipelihara oleh bangsawan, sehingga mereka sering diikat untuk mencegah mereka melarikan diri. Praktik memelihara kucing diikat dipertahankan oleh pecinta kucing hingga zaman Edo.

Ketika Heian-kyo atau Kyoto tumbuh menjadi kota yang lebih besar, tikus menjadi bahaya yang semakin besar, dan keputusan melepas kucing secara bebas dilakukan dengan hal itu dimaksudkan untuk membantu mengurangi kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus, terlepas kecintaan Jepang pada kucing masih ditampakkan dengan sesekali mengurung kucing di rumah dan sesekali dibebaskan.

Bahkan, di Pulau Aoshima yang berada di Prefektur Ehime yang terkenal dengan pulau kucingnya, dibentuk sebagai pengganti penduduk pulau yang terus berkurang dikarenakan migrasi ke kota-kota sekitar. Selain agar menjaga kucing menjadi kucing liar, Pulau Aoshima menjadi tempat atraksi kunjungan turis karena keunikannya ini.