Judul artikel ini sudah cukup jelas. Menyebarkan informasi pribadi seseorang, baik itu seorang random di Facebook yang membuat anda kesal, tokoh publik, atau Moona Hoshinova sekalipun, adalah tindakan yang tidak etis, melanggar hukum, dan utamanya hanya dilakukan oleh orang-orang yang kurang memiliki akal sehat.

Pertama, kalau misalnya Anda berniat untuk mendoxxing wibu lain atau non-wibu yang mengesalkan bagi anda, mudah-mudahan anda sudah memahami dampaknya. Tentu saja doxxing—menyebarkan informasi tentang data pribadi seseorang tanpa izin—jarang sekali dapat dibenarkan. Bahkan kegiatan doxxing di Amerika Serikat melawan Neo-Nazi sekalipun dipertanyakan secara etis, bagaimana jika keliru? Apakah cara tersebut merupakan cara terbaik? Ini adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan atas nama gerakan tertentu, tentu sedikit pertanyaan etis ini menjadi tidak perlu dipertanyakan lagi jika doxxing dilakukan untuk bersenang-senang, bermain-main, dan secara sengaja membuat keributan, dengan hanya beralasan korban 'memancing' dan 'mengundang'.

Tindakan doxxing, apapun alasannya, kurang memiliki validasi yang baik, apalagi jika motivasinya hanyalah iseng-iseng belaka. Istilahnya tidak berbeda seperti anda bekerja dan makan dari penghasilan itu, lalu anda dipecat karena ada orang yang hanya iseng-iseng saja ingin mencemarkan/melakukan teror terhadap Anda di luar konteks pekerjaan. Tidak hanya dipecat, Anda juga tentu akan kesulitan dalam menjalani hidup seterusnya karena tekanan norma susila dan sosial.

Sebab, meskipun etika doxxing masih kabur dan kalau dilakukan untuk bersenang-senang jelas tidak etis, dampaknya jelas. Dalam perkembangannya, orang dapat dirundung di dunia nyata (atau di AS, dikepung unit khusus kepolisian), kehilangan pekerjaan, kesulitan mencari pekerjaan baru, dan masih banyak lagi. Identitas paling pribadi dari seseorang menjadi publik sepenuhnya, dapat dilihat siapapun, dan dapat dimainkan serta dimanfaatkan oleh siapapun.

Senang saat Orang Lain Susah

Dampak ini bukan efek samping. Pelaku doxxing seringkali melakukan tindakan brengseknya persis karena mereka tahu apa yang akan membuat mereka senang akan membuat sengsara sang korban. Wibu-wibu tidak bertanggungjawab yang selama beberapa bulan terakhir menyusun proyek untuk menemukan dan menyebarkan identitas Vtuber HololiveID, Moona Hoshinova, misalnya, tahu dan memang ingin jika pihak yang bersangkutan menerima konsekuensi. Bisa berupa wisuda dini, dan kalau perlu kehidupannya di dunia nyata juga sengsara dan susah dalam jangka waktu lama.

Schadenfreude, atau rasa bahagia melihat orang lain yang kesusahan—dalam kata lain, rasa dengki—adalah motif yang kuat dalam aktivitas vigilantisme daring yang seringkali dilakukan oleh wibu-wibu Indonesia. Dengan rasa memiliki kekebalan dan keinginan untuk memaksimalkan rasa bersenang-senang tanpa konsekuensi apapun, ranah etis memang seringkali tidak dipikirkan oleh kita. Artikel ini, sedikit banyak, merupakan suatu peringatan bagi mereka yang masih mau mendengarkan.

Rencananya, etika di dunia digital yang selalu gagal dijalankan oleh komunitas penggemar popkultur Jejepangan di Indonesia akan saya bahas secara panjang dan cukup komprehensif di artikel lain. Namun, dengan perasaan akan terjadinya konflik dalam waktu dekat, terpaksa artikel ini ditulis sebagai panduan sekaligus pernyataan sikap.

Tapi, tentu saja, saya tidak terlalu banyak berharap bahwa kumpulan penggemar yang sudah bisa melakukan hal-hal ngawur tiap hari, seperti pelecehan seksual, perundungan, dan ujaran-ujaran bigot, untuk dapat insaf hanya sekadar penuturan dari dampak etika atas suatu tindakan. Sisa artikel ini akan membahas legalitas dari membongkar informasi pribadi seseorang di ranah digital.

Sudah Diatur dalam Undang-Undang

Undang-undang ITE tahun 2008 (perubahan 2016) adalah produk hukum yang memberi jalan pada segala mancam manipulasi, digunakan sebagai alat menghukum suara-suara sumbang alih-alih untuk melindungi hak-hak digital masyarakat Indonesia. Tetapi kasus tersebut adalah hal lain—bagaimanapun juga, jika tidak disalahgunakan, UU ITE dapat berguna untuk mencegah tindakan-tindakan tidak bertanggungjawab seperti, misal, doxxing Vtuber.

Pasal 26 (1) cukup jelas menyatakan hal ini: secara perdata,

(1) Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundangundangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.

Bab VII tentang perbuatan yang dilarang juga mencantumkan salah satunya adalah,

Pasal 32

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.

Jika misal lebih jauh lagi, dan data yang dibongkar adalah data kependudukan, larangannya lebih jelas lagi. Di dalam pasal 95A UU Adminduk dinyatakan bahwa,

Setiap orang yang tanpa hak menyebarluaskan Data Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3) dan Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1a) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp25.000.000,00- (dua puluh lima juta rupiah).

Tentu saja kita tidak perlu membawa ke ranah hukum hal-hal yang berurusan receh seperti hubungan penggemar dan Vtuber. Tetapi akhir-akhir ini, akibat segala hal terkait hubungan penggemar-idol dianggap 'receh', maka bermunculan sikap-sikap yang sangat tidak bertanggungjawab dan merusak dari penggemar akibat rasa kebal terhadap konsekuensi sosial.

Semoga setiap konflik, drama, dan permasalahan—serius, tidak serius, atau seharusnya setidak serius tapi malah dibuat serius—di lingkungan perwibuan Indonesia ini dapat terselesaikan dengan diskusi dan debat, pembahasan dan tukar pikiran. Usaha doxxing atau menyebarkan informasi pribadi seseorang tanpa izin hampir pasti bukan merupakan opsi yang baik atas landasan perbuatan apapun.


Catatan sangat penting: Penulis tidak memiliki spesialisasi khusus di ranah hukum dan artikel ini bukan panduan untuk tindakan legal apapun. Penulisan produk hukum di sini adalah produk jurnalistik yang didasari oleh liputan-liputan lain tentang kasus-kasus penyebaran data pribadi sebelumnya yang pernah terjadi di Indonesia, seperti kasus Ulin Yusron, Kemendagri, negara-negara tetangga, dan aktivisme vigilan di Amerika Serikat. Studi mengenai hubungan anonimitas dan agresi daring dapat di lihat di sini.

Untuk topik perlindungan data pribadi, privasi data, dan UU ITE, anda dapat merujuk pada lembaga kajian dan advokasi hak sipil ELSAM sebagai salah satu pemerhati dan pendorong lembaga legislatif untuk perlindungan privasi data masyarakat yang lebih baik. Topik ini dapat anda eksplor di sini.

Dokumen Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat diunduh di sini dengan perubahan tahun 2016 dapat diunduh di sini.