Hari-hari ini, saya menyadari beberapa hal penting. Tak terasa, umur sudah memasuki masa kuliah. Generasi setara diri ini, kelahiran 2000an awal, baru saja memasuki fase kedewasaan diri dan mulai beradaptasi. Di sini lah masa-masa ketika beban pikiran mulai menjadi momok tersendiri. Sementara itu, angkatan di atas saya tengah bersiap untuk memikirkan masa depannya nanti dengan bekerja untuk menafkahi diri sendiri dan tabungan masa depan.

Hanya ada tugas kuliah, beban pekerjaan dan beban pikiran yang menjadi teman diri sekarang ini. Waktu untuk menikmati hiburan pun hampir menipis atau malah tidak ada sama sekali tapi demi mendapatkan masa depan yang cerah, hal ini patut direlakan. Seolah tak cukup dengan semua itu, seperti 'monster' yang datang tanpa diundang untuk menghancurkan umat manusia, sebuah virus merebak keseluruh dunia hingga menyebabkan pandemi dan mengacaukan segalanya. Rasa stress dan menurunnya optimisme melanda.

Melihat semua ini, sering terbesit dalam pikiran, apakah bisa kembali memutar waktu kembali pada masa yang lebih mudah? Di mana hal paling menyenangkan adalah saat kita bisa menyaksikan aksi heroik pahlawan kita di televisi? Apakah bisa kembali ke masa itu? Dengan datangnya kembali serial Ultraman di RTV, jawabannya: bisa.

Kembalinya Sang Pahlawan Cahaya

Masih segar di ingatan saya saat masih duduk di bangku sekolah dasar: hiburan paling utama saat itu hanya datang dari televisi. Jika hari ini internet dianggap menjadi pemakan waktu yang tidak bisa dilepaskan, pada saat itu hiburan seperti itu hanya bisa ditemukan di layar kaca. Saat itu, tontonan kita memang hanya berupa kartun, tetapi terdapat satu tayangan yang selalu menarik perhatian hingga hari ini: Tokusatsu yang sering menemani di pagi hari, terutama seri yang paling berkesan bagi setiap generasi yang menyaksikannya, yaitu seri Ultraman.

Ultraman sendiri termasuk seri Tokusatsu yang paling tua. di setiap generasi, selalu ada serial ultraman yang menemani masa kecil anak-anak kala itu. Dengan berbekal hal itu, setidaknya ada karakter dalam cerita yang mengakui dirinya pernah melihat Ultraman atau mengetahui tentang raksasa cahaya ini seolah mengisyaratkan Ultraman memang ada di dunia nyata dan pernah menyelamatkan bumi ini dari gangguan mosnter. Tidaklah heran, mengapa Ultraman jauh lebih melekat di hati setiap generasi karena, saya juga merasakan hal serupa.

Serial Ultraman favorit saya sendiri: Ultraman Gaia dan Ultraman Mebius. Meski tahun penayangan mereka berbeda dan ada banyak seri Ultraman lain selama jangka waktu yang cukup lama, kedua seri ini memiliki kesan tersendiri bagi saya. Ultraman Gaia adalah awal saat saya berkenalan dengan raksasa merah dengan motif perak di sekujur tubuhnya ini. Sementara, Ultaman Mebius termasuk yang paling melekat dan berkesan karena karakternya dan menjadi Ultraman terakhir yang tayang di masa-masa kejayaan kartu hari Minggu.

Meski sesama Ultraman, Gaia dan Ultraman memiliki latar belakang yang berbeda. Gaia berasal dari bumi dan merupakan penjaganya dan Mebius adalah prajurit muda dari Planet asal Ultraman, Nebula M78 atau Negeri Cahaya.

Sayangnya, saat saya ingin menonton Ultraman Gaia untuk pertama kali di Global TV (atau sekarang adalah GTV), saya terpaksa melewatkan menit-menit awal karena waktu penayangannya saat itu sekitar pukul 18.00, waktunya untuk ibadah Maghrib. Mungkin karena waktunya yang agak mepet dengan waktu ibadah, pihak televisis memindahkan waktu penayangannya menjadi pagi hari sekitar jam 8 atau 9. Syukurnya saat itu, saya mendapatkan jadwal masuk siang sehingga tidak melewatkan satupun detik-detik menegangkan Gamu Takayama sang Ultraman Gaia, mengalahkan monster dan bertemu dengan rival serta sahabatnya, Hiroya Fujimiya sang Ultraman Agul.

Hassei Takano (Kiri), pemeran Hiroya Fujimiya sang Ultraman Agul dan Takeshi Yoshioka (kanan), pemeran Gamu Takayama sang Ultraman Gaia.

Sementara yang paling saya ingat, bahkan setiap adegannya, adalah seri Mebius. Kisahnya tentang prajurit muda bernama Mebius yang diutus ke bumi untuk belajar dan berlatih bersama manusia demi menjadi Ultraman seperti pendahulunya.

Apa yang membuat Mebius melekat adalah karakternya. Masing-masing memiliki ciri khas tersendiri dan latar belakang yang berbeda tidak seperti seri pendahulunya. Hubungan yang terjalin antara Mebius bersama dengan kru GUYS (nama pasukan udara di seri ini) lainnya menjadi salah satu hal paling menarik buat saya ikuti. Jika memakai perumpaan, serial Mebius di antara yang lain merupakan serial yang paling shonen dan memiliki nakama power di ceritanya. Barangkali alasan lainnya kenapa ini menjadi seri yang melekat untuk saya karena saat itu mulai mengenal anime terutama anime Shounen.

Waktu penayangan Mebius pun konsisten, pada minggu pagi, sehingga saya memiliki motivasi untuk beranjak lebih cepat dari tempat tidur demi tidak ketinggalan momen di kala Mirai Hibino atau bentuk manusia Ultraman Mebius mengeluarkan alat perubahnya dan meneriaki namanya saat melawan monster yang membahayakan kota.

Tapi dalam pertemuan, selalu ada perpisahan. Setelah berhasil menyelesaikan misinya di bumi dan mencapai apa yang diperlukan untuk menjadi Ultraman, Mebius kembali ke planet asalnya dan menandakan berakhirnya seri ini dan terakhir kalinya seri Ultraman tayang, setidaknya tidak sampai 10 tahun kedepan. Jujur, saya merasakan kesedihan saat Mirai Hibino berubah dan terbang menjauh, meninggalkan teman-teman seperjuangannya. Ikatan yang mereka jalin berhasil membuat saya sempat tidak berani menonton seri ini karena hanya akan sakit hati melihat akhirnya. Tapi, hal itu terbukti salah.

Foto kebersamaan Mirai Hibino (barisan tengah, urutan kedua dari kiri) bersama dengan Kru GUYS

Beberapa bulan lalu, saya mendapati kabar mengejutkan bahwa Ultraman Mebius akan kembali tayang di televisi, tepatnya di RTV. Awalnya, ini seperti membuka luka lama kembali setelah sekitar 10 tahun karena saya masih tak mampu move on dari rasa sedih itu, tetapi akhirnya saya mencoba tegar demi mengecap sekali lagi masa kecil yang indah.

Benar saja, saat intro Mebius berdegung dari televisi, rasanya tombol pengeras suara rusak karena saya menekannya hingga batas maksimal dan berteriak seiringan dengan lirik lagu tersebut tanpa mempedulikan leher saya yang menjadi serek karena terlalu keras berteriak.

Seolah menjawab pertanyaan yang saya lontarkan di atas, Ultraman Mebius sekali lagi menapaki bumi ini. Tak bisa digambarkan bagaimana perasaan yang tercipta saat melihat Mebius, kembali dengan wujud manusianya, muncul setelah sekian tahun terlupakan karena terlalu memikirkan beban di dunia nyata. Saat akhirnya waktu tayang Ultraman selesai, saya menangis. Bukan sedih karena sudah selesai, tapi senang karena memiliki kesempatan untuk melihat lagi pahlawan yang pernah menemani masa kecil saya. Sungguh pengalaman yang mengesankan. Saya menantikan seluruh ultraman klasik di awal masa Heisei bisa kembali ke pertelevisian demi mengobati rasa rindu dan stress yang terjadi pada pandemi ini. Tentu tidak hanya untuk saya, tapi bagi kita semua yang pernah ditemani oleh raksasa cahaya ini.

Di masa-masa buruk bagi mayoritas di antara kita ini, kita seringkali hanya dapat menemukan harapan dengan merujuk masa depan yang tidak tentu atau masa lalu yang lebih baik. Tayangan ulang Ultraman di RTV akhir-akhir ini, setidaknya, mengingatkan saya pada masa lalu yang jauh, yang lebih baik—ketika semuanya begitu sederhana dan tidak serumit hari ini.