Penafian: Tidak, saya bukan ahli musik. Lirik akan muncul dalam bahasa Inggris atau Indonesia, tergantung apakah penerjemahan secara efektif memungkinkan, juga urusan hak cipta.

Film yang terakhir saya tonton di bioskop adalah Her Blue Sky, sekitar satu setengah bulan lalu. Saya menangis dan tenggelam dalam cerita film itu, sebelum keluar dari bioskop dan menemukan berita bahwa jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia meningkat drastis.

Dua hari setelah itu, saya tidak meninggalkan rumah sama sekali sampai sekarang, memasuki masa karantina sosial yang tidak menyenangkan bagi semua orang.

Hari-hari pertama mengurungkan diri di kamar sendiri itu diiringi hanya dua lagu: Sora no Aosa wo Shiru Hito yo dan Aoi, masing-masing lagu pengiring dan penutup dari film tadi.

Sora no Aosa wo Shiru Hito yo adalah narasi Shinnosuke ke Akane, diambil dari quote yang dimunculkan Akane di buku tahunan SMA-nya. Hari-hari sebelum Shinno beranjak ke kota untuk menggapai cita-citanya sebagai musisi, ia mencoba untuk mendapatkan Akane—hanya untuk diberikan penolakan halus—, sebelum benar-benar hilang selama belasan tahun.

Shinno adalah stereotip anak muda yang terlalu idealis dan 'tidak paham kenyataan' dengan terlalu yakin bahwa ia akan menjadi rock star. Lagu itu adalah satu-satunya single yang ia keluarkan, indie, mentah, dan hanya didengarkan segelintir orang.

Ia akhirnya jadi pemain gitar cadangan untuk bintang Enka terkenal, Dankichi Nitobe, meninggalkan mimpinya, perlahan kehilangan harapan dari matanya. Kehidupan Shinnosuke pemain band cadangan Dankichi bukan kehidupan di Gandhara—lagu rock yang populer di SMA-nya saat ia bermain band di sana—ia tak lagi seorang pemuda dengan jiwa yang membara, melainkan orang yang terlalu cepat tua, kasar, keras, dan putus asa.

Sora no Aosa adalah masa lalu. Shinno bertanya-tanya di dalamnya: mengapa ia begitu merasa kehilangan? Mengapa ia begitu ingin merasakan kembali saat-saat SMA-nya, masa muda tanpa tanggung jawab? Tapi ia tak bisa kembali. "Langit menggelap memerah dan mulai turun hujan," pekiknya, "ia menghujam aku dan bayanganku, paling lemah adanya".

Namun, berbeda dari lagu-lagu edgy yang biasa saya dengarkan, Neru atau Mafumafu, misalnya, Aimyon dalam liriknya menceritakan kemungkinan masa depan. Film itu juga berakhir bahagia: Shinnosuke dan Akane akhirnya bersatu, meskipun dengan efek samping: Shinnosuke yang bebas berarti roh Shinno muda terbebas dari dunia nyata, tempat Aoi yang mencintainya, berada.  Lagu penutupnya, Aoi, jelas soal ini: "Selamat tinggal untuk bayangan bocah ini, sampai kita bertemu lagi!", ia berteriak.

Masa depan mungkin cerah, tapi siapa juga yang tahu. Shinnosuke akhirnya berdamai dengan diri sendiri dan bersatu dengan Akane, tapi tak ada penjelasan meyakinkan bahwa masa depan yang tak terlihat akan selalu seperti itu.

Ia bisa saja tenggelam dalam alkohol dan dalam denial tidak pernah melupakan mimpinya, atau benar-benar menjadi "pengecut yang mengkhianati mimpinya" kata Shinno, roh dirinya sendiri belasan tahun lebih muda. Atau, Akane bisa saja menolaknya setelah semua ini. Banyak cara masa depan bisa berakhir dengan kacau balau—tidak ada alasan untuk meyakini bahwa esok akan lebih cerah dibandingkan hari ini.

Masa depan, dalam lagu-lagu Aimyon, adalah suatu ketidakpastian, kemungkinan pahit. Perihal hari-hari ini hanya bisa dijalankan dengan berteriak sekencang-kencangnya, semaunya.

Bunuh Diri, Musik Rock, dan Ketidakteraturan

Hari itu bukan pertama kali saya mendengarkan Aimyon. Saya sudah mendengar Sora no Aosa berulang-ulang sebelum mengenalinya ketika ia muncul di layar lebar. Lagu pertama yang saya dengar adalah Kimi wa Rock wo Kikanai, dan segera keseluruhan albumnya, pada perjalanan Bandung-Yogyakarta beberapa bulan yang lalu.

Ia, dalam lagu-lagunya, bercerita, kisah-kisah yang begitu dekat dan nyata bagi mereka yang belum beranjak tua: bunuh diri, romansa yang gagal, romansa yang pernah berhasil namun gagal, usaha mendekati seseorang yang tak pernah jelas ujungnya, menangis seorang diri di pojokan kamar, atau berteriak dalam keputusasaan di kamar yang sama.

Dalam Ikiteitandayona ia mengeluhkan respon kepada bunuh diri seorang gadis yang berubah dari tragedi menjadi sebuah spectacle, sebuah tontonan: spekulasi mengenai hidupnya, omongan-omongan tentang betapa tragik hidupnya, betapa menyedihkan.  Aimyon menolak kesimpulan itu. "Tapi ia hidup!" teriaknya. "Ia hidup, berkali-kali, lagi dan lagi, menghidupi hidupnya sepenuhnya, sebelum memutuskan untuk meninggalkan dunia. Tapi ia hidup!" Ia mencibir orang-orang yang hanya bisa berkumpul setelah kematiannya, post-mortem, dan membicarakannya, dalam gosip, dalam koran-koran.

Pesannya jelas: kemana orang-orang ini saat ia masih hidup, mengapa mereka baru membicarakan hidupnya ketika ia sudah tidak ada?

Lain lagi, dalam Kimi wa Rock wo Kikanai, usaha untuk mendekati orang lain dengan berantakan dan tidak teratur, tetapi disengajakan, didasarkan keinginan untuk dapat lebih dekat dengan orang lain sekaligus melakukan apa pun yang ia mau, apa pun hasilnya.

Lirik di dalamnya serupa monolog dari seorang yang tahu betapa pahitnya usaha yang ia lakukan. "Kupikir kau tidak mendengarkan musik rock," katanya, "tapi aku ingin lebih dekat denganmu, sedikitpun, terserah—tapi kupikir-pikir, kau tidak mendengarkan musik rock".

Dengan musik yang keras dan bertempo cepat, aktor lagu itu berteriak untuk didengarkan, dan untuk tertawa bersama, seseorang yang akhirnya ia sukai juga. Tentang apakah jalan itu yang terbaik bagi keberhasilannya tidak terlalu penting, meskipun dengan lagu-lagu yang ia nyanyikan, ia tahu keinginannya besar sekali untuk mendekatinya.

Lagu itu berakhir dengan upaya berdamai dengan diri sendiri yang tidak selesai: "Through songs like this and that, I have moved past love..."

Kedua lagu itu ada di album itu berjudul Excitement of Youth. Selalu menyenangkan untuk sesekali mendengar Aimyon, mengingat bahwa masa muda memang sebaiknya dihabiskan dengan tidak mendengarkan para tua bangka yang terlalu sibuk menceritakan kepada kita betapa buruk dan kerasnya dunia orang dewasa. Masa muda tak seharusnya hanya memikirkan betapa hidup anak muda begitu tanpa tanggungjawab dan lebih inferior dari kehidupan yang 'serius' dan 'penuh resiko' di masa depan.

Sebab memang menjadi anak muda adalah menghidupi lagu-lagu Aimyon: menanyakan mental massa yang pasif seperti dalam Ikiteitandayona, menenggelamkan diri dalam spirit yang tak pernah habis seperti dalam Kimi wa Rock wo Kikanai, dan pada umumnya menolak apa yang tak bisa ditolak seperti dalam I Don't Want to Turn 19, sebelum pada akhirnya menyerah sementara akibat hal-hal yang tidak bisa dinego seperti dalam On This Day We Say Goodbye dan Harunohi.

Masa muda, dalam lagu-lagu Aimyon, adalah rangkaian ketidakteraturan dan ketidakpastian. Kita pada akhirnya hanya bisa berkata "Yah, begitulah yang sudah lewat" sebari dengan naif memikirkan masa depan mungkin bisa lebih baik.

Kepahitan, Keputusasaan, dan Hal-hal Lainnya

Pernahkah hidup serasa pahit dan kepahitan itu dirasakan sendirian, sampai putus asa mencoba untuk mencari 'obat'nya, biasanya dalam bentuk orang lain yang siapa tahu mau menghibur kita? Pernahkah membayangkan orang lain dengan tulus mendengarkan segala keluh kesah yang kita miliki dan ternyata ia benar-benar memahami kita dan memberikan segala ketenangan—juga solusi—yang kita butuhkan?

Kita sendiri jelas seringkali tidak bisa membantu diri sendiri, dan lebih memilih berkhayal perihal tentang suatu hari dimana kita bertemu dengan orang-orang penyelamat ini. Menyenangkan sekali membayangkan tentang kemungkinan di hari esok betapa bahagianya berteman atau berhubungan dengan orang-orang itu, sambil sesekali dengan menggerutu kembali harus mengerjakan rutinitas sehari-hari.

Di hitungan sekian puluh hari setelah karantina sosial pertama dimulai, saya sedikit banyak menemukan bahwa perasaan-perasaan seperti itu dapat secara maksimal didampingi dengan Dream Chaser Bengal dan Ai wo Tsutaetaidatoka. Tidak semua lagu Aimyon bernada lirih atau tenang—dua lagu ini cocok dinyanyikan sambil melompat-lompat di kamar sendiri.

Dream Chaser Bengal memulai dengan lantang dan dengan cepat meledak-ledak. Apa pun yang terjadi, kita sebaiknya melepaskan diri dan sekali-kali berlarian tanpa arah, mengabaikan beban yang ada di kepala kita "Run and run - throwing my whole body far across the distance, Round and round - peace or despair, let it fall by the wayside for now."

Lalu, bagaimana dengan segala kesulitan yang kita hadapi dan ketidakmampuan kita untuk menghadapinya? Gampang, pikirkan nanti: "When tomorrow morning comes, I will worry about it then. I have all the free time in the world, so let me sleep for 5 more minutes" Memang, kita sebaiknya tidak tiba-tiba sinting dan melakukan segala hal dengan kebebasan penuh dengan menyeramkan.

Kita perlu introspeksi kecil-kecilan di tengahnya, seperti Aimyon dalam lagu itu, bertanya-tanya, apa yang salah dengan diri ini? Namun, tak boleh lama-lama. Mari bernyanyi lagi, berpergian ke pinggir kota dan berteriak di pinggir pelabuhan, atau di lapang luas, atau berlarian di pinggir jalan. Urusan lain-lain bisa dipikirkan esok hari, bisa dikhawatirkan esok hari, tidak sekarang!

Ai wo Tsutaetaidatoka memiliki sudut pandang yang agak berbeda. Di lagu itu, kepahitan dimulai saat bangun tidur. "Such a health morning, and I would have to hear you say 'I love you' right now" keluh sang tokoh utama. Hari tetap harus berlanjut meskipun sarapan yang kita buat terbakar atau air di bak kamar mandi keruh lagi, sebelum memulai rutinitas sehari-hari yang penuh kebingungan seperti biasa.

Kita kembali bertanya tentang para penyelamat itu, mereka yang sangat kita inginkan untuk menyayangi kita dan amit-amit tidak berakhir pada kataomoi, perasaan satu arah. Apakah ada kepastian? "Do you really want to be loved by me?" Siapa tahu. Kita tidak pernah benar-benar tahu.

Perasaan seperti ini sial betul dan sifatnya universal. Mau itu tetangga kita, teman masa kecil, artis kampus, atau idol betulan, siapa yang tahu apakah mereka benar-benar peduli dengan kita dan benar-benar mengapresiasi apa yang kita lakukan? Siapa yang benar-benar tahu kalau segala usaha kita untuk menjadi lebih dekat tidak berakhir dengan sia-sia?

Masa depan penuh dengan kesia-siaan, dan kita tidak bisa melakukan apa-apa dihadapannya.

Bagaimana menghadapinya? Pertama tentu saja kesadaran bahwa omongan 'usaha tidak akan mengkhianati hasil' itu omong-kosong. Dalam sejarah manusia anggapan bahwa usaha akan berbanding lurus dengan keberhasilan lebih sering keliru daripada benarnya. Kita perlu memahami betul bahwa apa pun yang kita pikirkan dan rencanakan, masa depan yang kita bentuk di kepala sendiri tak lebih dari sekadar imajinasi dan delusi.

Akhirnya toh tak ada tempat lain untuk berlabuh selain di ranjang yang sudah seminggu seprainya tidak diganti dan kamarnya tidak dibersihkan, meringkuk, menangis sampai tertidur. Suatu bait lirik di Ai wo Tsutaetaidatoka perlu dipegang teguh: "It's impossible to become a better man by tomorrow, so just stop worrying about that now."

Kepahitan dan keputusasaan, dalam lagu-lagu Aimyon, adalah satu-satunya hal yang pasti dalam hidup dan masa depan dari anak muda. Sebaiknya kita sesekali mengingat bahwa sepertinya kita tidak perlu merencanakan hidup jauh-jauh hari, toh hari esok akan datang dengan kegagalannya yang baru lagi, inovatif dan mencenangkan.

Menyimpulkan Harapan

Mari kita sudahi kesedihan yang sendu dan kepahitan yang meledak-ledak. Segala episode masa muda yang baik selalu diakhiri dengan refleksi yang hening dan tenang. Kita diizinkan untuk selalu memikirkan apa yang salah dari diri sendiri: mengapa kita melakukan hal-hal bodoh di masa lalu, mengapa kita ada di sini sekarang, dan mengapa kita begitu buta tentang masa yang akan datang.

"How much longer will it go on like this?" tanya Aimyon di Hadaka no Kokoro, atau Naked Heart. Paling tidak sekali saja, di tengah-tengah mimpi buruk atau kebahagiaan yang tak terkira, kita pernah persis menanyakan hal itu. Seringkali apa yang kita lakukan—pertemanan, hubungan antarjenis, akademik, pencapaian, dan hal-hal lain—berakhir dalam penyesalan. Tentu manusiawi untuk menyesal dan menangisi masa lalu, tetapi kita tidak perlu tenggelam dalam denial tentang hal-hal yang mengelilingi kita.

Mimpi idealis yang tak tercapai, cita-cita yang tak teraih, beban hidup diri sendiri, beban hidup orang lain, usaha yang tak menghasilkan apa-apa, orang lain yang menjengkelkan, dan seterusnya: tidak ada yang perlu kita tolak. Semuanya alamiah saja.

Apa yang perlu dilakukan adalah berdiri dan bergerak maju lagi—seklise apa pun omongan itu, sayangnya, kali ini benar—sendiri maupun bersama orang yang kita harapkan berada di samping kita, menyemangati, memberi harapan. Atau mungkin orang seperti itulah yang sedang anda kejar atau usahakan. Siapa tahu. Aimyon juga tidak.

Satu hal yang pasti, mengutip Albert Camus, untuk menghadapi segala kontradiksi dan keputusasaan dalam hidup, menyerahkan diri pada kondisi-kondisi itu bukanlah pilihan. Satu-satunya pilihan hanya melawan: dengan teguh, sebisa mungkin tertawa, menertawakan diri sendiri, atau menertawakan kehidupan di sekeliling kita.

"I've come to handle whatever future comes,
I've overcome many nights up to now.
And now too, where this love will lead,
I don't know, I don't know."