Meskipun saya mulai mengikuti popkultur Jepang sejak tahun 2012, baru pada Juli 2019 lampau saya mengikuti Ennichisai, dan pada awal tahun ini, Februari 2020, Comic Frontier. Dua acara yang mungkin menjadi tempat berkumpul terbesar bagi penggemar popkultur Jepang dari seluruh Indonesia itu, tentu saja, tidak muncul lagi tahun ini, dan mungkin juga tahun depan.

Tidak hanya Comic Frontier dan Ennichisai. Pagebluk sialan ini menghapus semua rencana untuk berkumpul secara besar-besaran, di kota manapun, di Jakarta, Kuala Lumpur, maupun Los Angeles. Di skala yang lebih kecil, kota-kota non-Jakarta pun juga kehilangan momen berkumpul. Tahun ini, saya tidak lagi mengunjungi acara-acara lokal di Bandung, seperti Genfest dan Nihon no Matsuri, sebab memang sejumlah universitas tempat acara tersebut biasa diselenggarakan juga ditutup dan kita semua mengisolasi diri, mungkin sampai hari ini.

Saya ingat lelucon bahwa wibu akan baik-baik saja akibat kebiasaan mereka yang asosial, jarang berinteraksi dengan orang lain, bahkan mungkin telah latihan isolasi diri dengan pola hidup hikkikomori. Sialnya, lelucon itu sedikit banyak keliru.

Tiada Comifuro dan Ennichisai di Tahun Kedua Reiwa

Suatu grup Facebook—tempat banyak wibu Indonesia berkumpul—berjudul Sebuah Grup FB dimana kita pura-pura berada di event Jejepangan yang sama melesat sejak kemunculannya pada tanggal 20 April 2020 dan terhitung telah memiliki lebih dari 17.000 anggota. Di dalam bulan-bulan terakhir ini, ribuan anggota tersebut berkelakar dengan membayangkan skenario-skenario yang sering terjadi saat acara jejepangan, baik itu bertemu dengan cosplayer, menanyakan jadwal cosplay, atau merencanakan meet-up.

Sebuah Grup FB dimana kita pura-pura berada di event Jejepangan yang sama
Selamat datang di Facebook Aniimanga Party (FAP)! Sebuah grup dimana kita berpura-pura berada di event jejepangan. Ada stand makanan, ada cosplayer, pentas, dan lain-lainnya yang kalian temukan di...
Toilet di mana, bang?

Apa yang meyakinkan saya bahwa kita tidak bahagia-bahagia saja terisolasi dengan satu sama lain adalah ketika grup tersebut mulai menyelenggarakan acara virtual betulan, lebih dari sekali, dengan format yang dinamis, untuk memberikan wadah daring ketika wadah bertemu secara fisik tidak memungkinkan.

Inisiatif ini tidak sendirian. Acara lain, misalnya, seperti Quarantune Fest milik Vibetronic dan AFA Online milik AFA, meskipun yang terakhir ini kemungkinan besar bermotivasikan profit alih-alih sense of community. Dari sini, kita mengetahui bahwa kita juga makhluk sosial, dengan kebutuhan untuk saling berhubungan dengan satu sama lain, betapapun popkultur ini memfasilitasi gaya hidup yang soliter, asosial, dan menyimpang dari makhluk sosial sewajarnya.

Pada saat artikel ini ditulis (20/12), seorang komikus Malaysia, Vulpineninja, menggambarkan kejadian ketika teman-temannya, sama seperti kita, juga berpura pura menghadiri dan bercengkerama di dalam Comic Fiesta, salah satu acara jejepangan terbesar di Kuala Lumpur. "Kamu booth nomor berapa?" atau "Debut cosplay hari pertama CF!" bermunculan di linimasanya.

I saw some friends role playing attending #CF2020 last night. it was wholesome and heartbreaking at the same time...

Posted by Vulpineninja on Saturday, 19 December 2020

Dari sini, setidaknya cukup aman untuk menyimpulkan bahwa perasaan saling terputus antara satu sama lain, terlepas bahwa 'kehidupan normal baru' sudah berarti sebagian besar dari kita telah berkumpul dengan satu sama lain sejak beberapa bulan yang lalu. Tidak luput di antara kelompok penggemar yang seringkali digambarkan sebagai eskapis, asosial, tidak punya teman, dan jarang keluar rumah—dan perasaan ini konstan di berbagai negara, setidaknya di Indonesia dan Malaysia.

Berpura-pura di Tahun Kedua Reiwa

Belasan jam kemudian, saya mengecek lagu baru amazarashi, berjudul Tahun Kedua Reiwa. Amazarashi terkenal dengan lirik yang dalam, menyentuh kondisi-kondisi manusia yang paling mendasar, seperti dalam karya-karyanya yang paling terkenal seperti Mengapa Saya Ingin Mati dan Kepantasan untuk Hidup.

Meskipun, jujur saja, di titik ini saya dan mungkin anda semua sudah bosan dengan kronik yang menceritakan apa saja yang tidak terjadi akibat pandemi, apa yang akan kita lakukan setelah pandemi, dan fantasi-fantasi lain di tengah krisis ini, amazarashi tidak muluk-muluk dalam menggambarkan keadaan suram ini. Tidak seperti lagu-lagunya lain yang lebih mencemaskan, lagu ini cenderung lebih 'santai' dan lebih banyak bercerita alih-alih mempertanyakan hal-hal besar.

Ia menceritakan kegiatan rutin yang paling sederhana—seperti secara rutin mengunjungi event jejepangan—yang terlewat dari bencana besar ini.

Tayang perdana film, tur untuk rilis baru, upacara pembukaan yang dibatalkan—di tahun kedua Reiwa.

Mereka juga, sebagaimana lagu-lagunya yang lain, mengingatkan kecemasan yang mendasar di antara kita semua, yang diperburuk oleh situasi ini.

Aku heran kenapa kau ragu-ragu untuk menutup gorden, punggungmu dibalik matahari tenggelam, di tahun kedua Reiwa.

Lagu ini memang tidak hanya berisi curahan hati amazarashi saja. Mereka mengumpulkan sejumlah pesan dari Twitter bertema 'hal-hal yang tidak bisa kamu lakukan di tahun kedua Reiwa' yang kemudian mereka gambarkan dalam sejumlah lentera festival. Bagian ini, muncul dua kali dalam klip video musiknya, sungguh krusial dalam lagu tersebut dan dalam menjelaskan perasaan kolektif banyak orang tahun ini. Begitu sederhana—begitu sedih:

Tur dibatalkan dan aku ingin melihat kembali orang-orang yang kucintai.
Aku belum melihat (gedung) kampus universitas.
Aku tidak bisa menyelenggarakan rangkaian pernikahanku.
Aku tidak bisa mengunjungi ayahku yang terkena dementia. Aku takut aku akan hilang dari ingatannya.

Amazarashi juga dengan pahit menunjukkan bahwa kita tidak perlu berpura-pura kalau sekali-kali kita memang merasa sedih dengan kesempatan yang terlewat ini, dan hal ini tidak 'tidak apa-apa'. Sialnya, rasa pahit ini juga bisa berubah menjadi suatu hal mengerikan yang kita sadari—

Aku dengki dengan kebahagiaan orang lain.
Ternyata, aku adalah seorang yang egois.
Kerjasama dan kasih sayang berubah menjadi rasa keadilan dan penindasan yang penuh bias.

—atau dalam kata-kata amazarashi, tanpa pekerjaan, dengan publik yang diabaikan, dan masa depan yang tak pasti, kita sering kali mengucapkan 'namun, semuanya tidak apa-apa'. Konsekuensinya menjadi jelas:

Tahun kedua Reiwa membuatku menjadi pembohong.

Kebohongan, tentu saja, tidak setara. Ada yang merusak dan membahayakan. Tapi ia juga bisa jadi mekanisme mengamankan diri sendiri dari ketidaknyamanan, dan bisa berbentuk hal-hal paling sederhana, seperti, misalnya, menganggap komunitas popkultur jejepangan ini akan baik-baik saja terisolasi dari satu sama lain.

Tentu saja poin dari artikel ini bukan untuk membantah lelucon yang saya dengar sekilas beberapa bulan lalu. Jika kita menelusuri kondisi ini—bagaimana para otaku mengejar rasa pertemuan di dunia nyata ketika hal tersebut tak mungkin—menggunakan narasi amazarashi tadi, kita dihadapkan pada pertanyaan besar.

Komunitas besar dan lepas ini seringkali berperilaku dengan penuh masalah di dunia maya, utamanya juga karena banyak dari kita gagal melihat lawan bicara sebagai manusia seutuhnya. Bahwa otaku sendiri telah memiliki stigma kuat sebagai sekumpulan orang yang terpisah dari orang-orang normal 'normies' dan ditandai oleh ketertarikannya kepada unsur-unsur popkultur yang bisa jadi digunakan sebgai sarana untuk melarikan diri dari kehidupan sehari-hari merupakan hal yang sulit dibantah. Bahwa bagaimana kita paling tidak dianggap aneh, berbeda, atau mungkin freak di mata orang lain sepertinya tidak perlu dibuktikan di sini, selain bahwa pengalaman tersebut dialami banyak orang.

Cukup tidak membantu juga bahwa dalam beberapa kali pertemuan dengan 'dunia luar', kita pernah berhadapan dengan ibu yang marah akibat anaknya disebut 'loli' atau bahwa kita sendiri yang seringkali bersikukuh memisahkan anime otaku dan anime normies, suatu tradisi elitis yang tidak selesai-selesai.

Dari penggambaran kondisi ini, apa yang kita lihat beberapa bulan terakhir tentu menimbulkan pertanyaan: mengapa sekumpulan orang yang dianggap tidak bisa berfungsi sosial dengan baik ini, justru sangat getol untuk membangun koneksi alternatif untuk menjalankan fungsi-fungsi sosial? Mengapa orang yang jarang berpartisipasi di dalam ruang publik ini susah payah mencoba membayangkan atau malah menyusun ruang publiknya sendiri?

Untuk menghindari over-analisis, artikel ini tidak akan berusaha secara sistematis untuk menjawab pertanyaan ini. Toh, alasan artikel ini ditulis juga berasal dari satu dua keping fenomena yang tidak mewakilkan wibu manapun secara keseluruhan. Cuma, kalau saya boleh menyarankan, coba cek teman wibu anda yang sebelum pandemi punya sedikit teman di sekolah, kampus, atau tempat kerjanya, dan akibat dari penutupan tempat-tempat tersebut, jadi semakin terputus dengan dunia luar. Coba caritahu apakah kawan-kawan sirkel anda masih baik-baik saja di tengah pagebluk yang semakin melelahkan ini.

Terakhir, tentu saja, jangan lupa mengecek diri sendiri: apakah anda telah melakukan aktivitas sosial yang cukup akhir-akhir ini, suatu yang tidak akan bisa didapatkan dengan cukup dari ASMR Shirogane Noel?