Kita sudah membahas panjang lebar dan secara melelahkan (setidaknya bagi saya) tentang mengapa wibu Indonesia, maupun luar, dapat berperilaku begitu merusak bagi satu sama lain. Artikel ini akan didedikasikan untuk dua jenis solusi yang bisa kita lakukan untuk mulai mengatasi masalah sistemik ini.

Asumsi saya, jika Anda telah mencapai titik ini, anda setidaknya setuju ada masalah yang perlu diselesaikan di fandom popkultur jejepangan ini. Sebelumnya juga saya telah menjelaskan mengapa berkata 'yah, manusia kan memang pada dasarnya jahat, jadi apa boleh buat' adalah salah satu anggapan paling destruktif dan tidak bermanfaat dalam topik ini.

Ada dua alternatif yang dapat kita lakukan: pertama, mengubah peraturan dan sistem yang ada, kedua, menjadi orang yang lebih baik.

Berikut Daftar Peraturan jika Anda Ingin Mengikuti Grup Ini

Ada banyak teknik yang telah dilakukan untuk mengontrol agresi daring. Moderasi adalah salah satunya. Teknik ini cenderung mudah dilakukan dan telah terbukti mengurangi kadar orang bodoh di suatu komunitas. Di dalam kancah media sosial yang dari sananya tidak ada aturan, menentukan sendiri aturan dengan pihak yang memantau pelaksanaan aturan tersebut dapat sedikit banyak mengendalikan perilaku kita. Hal ini banyak bentuknya: admin grup atau Discord, moderator Reddit, peraturan grup Facebook, dan moderator livechat Youtube/Twitch, untuk menyebutkan beberapa di antaranya.

Sialnya, kita sering kali tidak menyukai bentuk kontrol ini, dan dengan alasan yang baik. Kita memberikan kekuasaan pada orang yang seringkali bukan siapa-siapa di dunia nyata, lalu kekuasaan sedikit yang mereka miliki itu dimainkan dan disalahgunakan sebisa mungkin. Pengaplikasian aturan yang terlalu ketat/longgar atau pilih-pilih serta pembuatan peraturan baru yang tidak masuk akal adalah beberapa kekhawatiran serius dari cara moderasi ini.

Meskipun tidak benar-benar menyelesaikan masalah, adanya aturan membuat komunitas menjadi lebih terarah.

Tetapi, pada umumnya, kita bisa melihat bagaimana cara ini dapat membantu menyelesaikan masalah kita. Rata-rata grup pemain mobage melarang keributan, mulai dari spam sampai adu waifu, dengan alasan yang baik: tidak ada orang yang suka dengan tukang spam atau tukang adu waifu. Dengan pengawasan admin, orang-orang menyebalkan ini hanya punya pilihan: cabut atau dikeluarkan, keduanya sama-sama win-win solution. Rata-rata livestream VTuber juga secara eksplisit melarang livechat untuk berdebat, karena konsekuensinya bisa panjang dan tidak akan mengenakkan bagi semua pihak yang terlibat.

Moderasi tidak hanya dapat berupa peraturan juga. Apa yang dilakukan beberapa cosplayer Indonesia yang menunjukkan pelaku pelecehan berikut akun media sosialnya langsung di hadapan ribuan penggemar juga salah satu bentuk moderasi: mereka yang selama ini terlalu santai menyampaikan keinginan seksualnya dapat menahan diri daripada tidak nyaman sendiri aibnya diumbar ke ribuan orang.

Oke, jadi, secara singkat, kita tahu bahwa moderasi akan mengendalikan agresi daring. Masalah selesai? Tentu tidak. Perjalanan singkat di grup Facebook, subreddit populer, maupun channel Discord yang ramai akan memberikan satu pelajaran solid: orang akan mencari cara untuk menjadi brengsek. Memakai akun baru, mengajak pasukan teman sesama orang tidak bertanggungjawab, dan membuat grup alternatif adalah beberapa cara untuk menghindar dari moderasi yang sudah dibuat.

Kita tidak bisa menyelesaikan permasalahan tidak adanya 'kehadiran' orang lain dengan memberikan hierarki di antara orang-orang yang saling tidak menghargai satu sama lain. Ketika sekumpulan orang hanya bisa melihat orang lain sebagai objek seksual, badut sirkus, atau pengganggu yang menghalanginya bersenang-senang dengan objek-objek itu, menaikkan posisi salah satu di antaranya untuk mengatur yang lain belum tentu menyelesaikan masalah—bisa jadi akan mengintensifkan kebencian, lalu tindakan kekerasan, di antara pihak-pihak tersebut.

Melihat Orang Lain

Pada akhirnya, kita perlu melihat diri sendiri sebagai calon pelaku dan orang lain sebagai calon korban. Saya perlu menyadari bahwa saya punya kekuatan untuk menyulitkan Anda, dan Anda juga punya kekuatan serupa bagi saya.

Ketika kita melihat seorang otaku menyuruh salah satu aktris atau ilustrator agar membunuh dirinya sendiri, mereka juga sama manusianya dengan kita, hanya, seorang manusia yang tidak sadar atas kehadiran 'wajah' aktris yang ia suruh bunuh diri itu. Ketika Iwazaki menusuk leher dan dada Mayu Tomita 27-kali akibat merasa perasaannya 'ditolak' idol tersebut ketika hadiahnya dikembalikan, ia jelas memikirkan idolanya hanya sekadar objek hasrat.

Ini lebih dari urusan tanggung jawab pribadi dan aksi/reaksi. Ada alasan mengapa artikel ini menghindari kalimat golden rule 'lakukan terhadap orang lain bagaimana Anda ingin diperlakukan'. Kita, pertama dan utama, perlu memahami dulu orang lain sebagaimana kita ingin ia memahami kita, baru kita bisa melakukan golden rule tersebut. Kalau tidak, aturan tersebut hanya akan digunakan sebagai justifikasi yang telah dibahas kecacatannya di atas: 'salah sendiri menolak hadiah dari penggemarnya', misalnya.

Kontrol diri kita sebagai penggemar juga tak kalah penting dalam kasus ini.

'Menghindari keributan' dan 'mengkonfrontasi pelaku' juga, meskipun sama-sama berguna, sama-sama kurang memuaskan. Ketika anda tidak mau pusing dan tidak mau mendengarkan 'drama' yang terjadi seputar, misal, pelecehan seksual, apakah berarti pelaku akan berhenti dan korban akan selamat?

Tentu saja hal-hal buruk akan selalu terjadi jika kita secara kolektif mempunyai pola pikir 'biarkan saja, jangan cari ribut'. Anda sedang meninggalkan korban dan berpura-pura tidak melihat kehadirannya pada saat itu. Di sisi lain, ketika Anda memutuskan untuk melawan langsung ujaran kebencian di media sosial, bagaimana melawan seseorang yang tidak menganggap keberadaan Anda sepenuhnya?

Sepertinya saya tidak perlu menjelaskan bagaimana perdebatan di media sosial seringnya bukan di antara manusia, tapi di antara kategori-kategori: 'edgy', 'SJW', 'simp' 'whiteknight' 'buzzer' dan istilah-istilah lainnya lah yang bertarung di kolom komentar, bukan dua orang yang saling melihat wajah satu sama lain. Kita lama-lama juga lelah dan menyadari bahwa konfrontrasi seringkali tidak berguna untuk mengatasi pihak-pihak agresif.

Saya cenderung memilih apa yang menjadi kesimpulan artikel Stephen Marche di New York Times yang berpengaruh kuat ke dalam artikel ini: kita harus mulai, terlebih dahulu, memahami satu sama lain secara utuh. Sederhana, namun begitu kuat: "Aturan pertama...adalah mengingat bahwa kita sedang berbicara kepada manusia lain: 'Jangan mengatakan apapun di dunia daring apa yang tidak akan kita sampaikan di depan muka orang lain', sekaligus, 'Jangan mendengarkan apa yang dikatakan orang lain ketika mereka tidak akan menyampaikannya di depan muka anda'".

Praktik ini, ujarnya, membutuhkan disiplin, juga imajinasi. Wajah orang lain tidak selalu disediakan di depan kita, namun kita tetap harus menghormati mereka sebagaimana semestinya manusia. Kita harus belajar memisahkan karakter dan identitas seseorang dari dirinya sebagai manusia. Orang-orang di sekitar kita, di kancah penggemar popkultur ini, bukan sekadar 'wibu' 'cosplayer' 'ilustrator' 'VTuber' 'animator' 'artist' 'meme terkenal' 'pembuat podcast' 'penulis', dan lain sebagainya: mereka, pertama dan utama, manusia seutuhnya.

Jika anda mencapai paragraf terakhir dari artikel ini, saya harap saya tidak perlu lagi menjelaskan bahwa pada titik ini, anggapan bahwa pada dasarnya manusia itu jahat dan susah diatur digunakan lagi sebagai alasan untuk tidak berbuat apa-apa. Setiap saat yang kita habiskan dengan pura-pura tidak tahu tentang masalah-masalah yang ada di kancah ini adalah setiap saat yang digunakan untuk menunggu kancah ini menghancurkan dirinya sendiri.

Gambar keluku oleh asp-ian.