Valentine adalah kultur yang dikelilingi oleh keinginan korporat untuk menaikkan konsumsi masyarakat, juga di Jepang. Di negeri itu, bahkan, tradisi yang kita kenal sekarang dalam anime-anime rom-com dan lagu-lagu Honeyworks diciptakan oleh perusahaan-perusahaan yang mendapatkan untung dari pembelian kado untuk orang lain.

Sederhana: perempuan memberikan cokelat bagi orang yang ia sayang (honmei) atau kolega-kolega sekolah, kuliah, maupun kerja (giri), dan laki-laki akan memberikan balik saat White Day. Giri, atau obligatory-chocolate, akhir-akhir ini ditinggalkan dengan alasan mengurangi beban perempuan Jepang yang merasa ditekan untuk membelikan sesuatu untuk temannya saat Valentine, suatu hal yang akan dibahas lebih lanjut di bawah. Pertama: ekonomi yang berkembang, Jepang pasca-PDII, dan kehadiran kultur secara samar-samar.

Valentine: Memberi Hadiah dalam Ekonomi Boom-and-Bust Jepang

Pertama-tama adalah beberapa perusahaan yang berusaha untuk mendorong budaya Valentine pada dekade 60-an: hasilnya buruk. Namun, dekade-dekade setelahnya memberikan hasil yang meningkat secara stabil dan signifikan, mengikuti perkembangan sosial dan ekonomi Jepang.

Perkembangan sosial di negeri itu, seperti di negeri lain dalam kondisi serupa, mengikuti tren emansipasi wanita, menampilkan wanita Jepang yang lebih 'kuat' dan 'membantu pria', dibandingkan norma gender biasa di mana perempuan menjadi pihak yang menerima bantuan. Di masa-masa ini pula, kekuatan konsumsi masyarakat Jepang meningkat, dan terdapat sisa upah yang lumayan untuk dibelikan hal-hal sekunder dan tersier.

Setelah itu adalah iklan-iklan yang lebih 'mendorong'. Mendekati dekade 80-an, bertepatan dengan United Nations Decade for Women, posisi perempuan—setidaknya berusaha — diperbaiki dan diberikan tempat yang lebih layak dalam masyarakat Jepang. Nada dalam iklan-iklan Valentine pada tahun-tahun itu juga berubah. Valentine menjadi sebuah strategi. Bagaimana kau akan memberikan coklatmu? Yakin kalau sainganmu belum bergerak duluan? — dan hal-hal seperti itu.

Pada masa ini, barulah memberi hadiah saat Valentine menjadi hal yang normal tak hanya bagi anak muda, tapi juga pasangan yang lebih dewasa. Hadiah yang diberi tak terbatas pada coklat. Iklan-iklan bertebaran dari mulai berlian sampai saham, ya, saham: memberikan saham merupakan bentuk kasih sayang pada masa-masa pertumbuhan ekonomi itu, menggambarkan sumber kekayaan yang akan terus bertumbuh.

Tak apa bersusah payah, semoga kekasih hati menyukainya. (Karya: Niveela)

Hal ini berlanjut pada dekade 80-an sampai awal 90-an. Laki-laki kadang-kadang digambarkan sebagai makhluk pasif yang menunggu. Iklan Parco Co. menggambarkan laki-laki dengan muka malu menyampaikan surat berisi kata-kata seperti "I like women who can talk directly...who aggresively come forward on the coming February 14th". Iklan-iklan seperti ini muncul pada tahun yang sama Undang-Undang Kesetaraan Kesempatan Kerja disahkan di Jepang, suatu hasil dari apa yang berlangsung selama United Nations Decade for Women pada tahun-tahun sebelumnya.

Namun, meskipun stigma dan norma mulai terkikis, dan posisi perempuan di dalam masyarakat Jepang memiliki peran yang lebih tinggi dan tak hanya sekunder di bawah laki-laki, perlu dicatat bahwa dalam satu sisi, perempuan Jepang memiliki ekspektasi tambahan: peran 'keibuan' tak terlepas ketika peran 'jabatan' atau 'kantoran' mulai muncul (Ueno, 2002).

90-an dimulai. Dari mulai dekade ini sampai awal milenia baru, ekonomi Jepang jatuh. Apa yang menjadi pertumbuhan besar-besaran sejak abad 70-an terjun bebas dengan hancurnya bubble ekonomi Jepang — yang sampai hari ini Jepang belum terbebas darinya. Kemampuan konsumsi menurun, dan kartu ucapan menjadi tak berguna.

Dengan situasi ekonomi yang memburuk, Valentine dijalankan para pasangan Jepang dengan keputusasaan. Mereka yang ingin memberi hadiah dihantui oleh perasaan bersalah atas uang yang mereka habiskan. Di masa-masa sulit itu, memberikan nomor lotre justru menjadi tren. Dengan kata lain, memberi hadiah adalah ungkapan harapan di tengah ketidakpastian moneter.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah suatu hal yang tak dapat disebutkan sebagai full recovery dari ekonomi Jepang. Tahun-tahun ini, ia menghadapi masalah-masalah yang tak dapat diselesaikan oleh pemerintahan-pemerintahan Jepang pada beberapa tahun silam, dan tingkat pernikahan dan kelahiran pun menurun. Suatu tren baru muncul: memberikan cokelat untuk diri sendiri.

Dengan individualisme yang muncul di tengah ketidakpastian, posisi gender yang semakin menguat dan setara, dicampurkan dengan tradisi memberi hadiah dan norma gender tradisional yang masih bertahan, memberikan corak tersendiri dalam bagaimana Jepang merayakan Valentine, melahirkan kontradiksi-kontradiksi: merayakan kesendirian dalam hari di mana orang berpasang-pasangan dan memberikan posisi bagi perempuan sekaligus membebaninya dengan ekspektasi tambahan.

Hari Ini: Melawan Kultur dan Ekonomi yang Loyo

Pada 2019, Godiva — merek cokelat internasional dari Belgia — memberikan iklan yang jelas: berhenti memberikan coklat giri! Jangan sampai Valentine, di mana orang menyampaikan dan memberikan perasaannya kepada orang lain, menjadi ajang yang memberatkan bagi para perempuan Jepang untuk menghabiskan uang membeli coklat dalam jumlah banyak untuk dibagikan kepada kolega-koleganya. Singkatnya, berhenti memberikan obligatory choco hanya karena ia obligatory — dirasa wajib. Bagaimanapun juga, ia hanya diwajibkan oleh suatu budaya, dan budaya itu bisa diganti.

Ya udah deh gambar Love Live juga biar adil.

Momennya bertepatan: sejak 30 tahun terakhir, ini adalah masa di mana pekerja Jepang, laki-laki dan perempuan, memiliki sisa gaji paling sedikit untuk dihabiskan. Apa yang dikeluarkan untuk Valentine pun menurun dan diproyeksikan akan menurun untuk tahun ini, diikuti oleh pengeluaran untuk White Day pula.

Tak dapat dipisahkan dari ekonomi, Valentine hadir sebagai trik pemasaran, dan ia pada akhirnya mengikuti kondisi keuangan dari para konsumennya, berikut dengan trik-trik pemasaran yang dikeluarkan dari tahun-ke-tahun beserta perbedaan-perbedaannya.

Seperti hal-hal lain terkait berpasangan dan berpacaran, Valentine di Jepang terikat dengan satu faktor adikuasa: kondisi ekonomi. Selamat merayakan Valentine, atau jangan, tetapi kalaupun anda mau, mari hari ini dirayakan dengan tetap waswas pada prospek yang suram untuk pasangan-pasangan muda di masa depan: mulai dari kesulitan memiliki tempat tinggal karena spekulasi properti, jarak yang semakin melebar antara gaji dan biaya hidup dasar, kualifikasi yang semakin meninggi untuk tingkat gaji yang semakin rendah, jam kerja yang semakin menumpuk, dan hal-hal lainnya.

Valentine tahun ini tak seindah lagu Honeyworks, tapi tak sesuram karya-karya distopia juga. Setidaknya di Jepang, sejarah perayaan Valentine meliputi dua perasaan secara berbarengan: keputusasaan dan harapan. Moga-moga kita bisa saling bertukar harapan hari ini dengan orang-orang yang kita sayangi di tengah ketidakpastian dan keputusasaan masa depan yang menggelayuti setiap orang dengan caranya sendiri-sendiri.

Analisis sejarah dari perayaan Valentine di Jepang diambil dari artikel ilmiah 'Social Change and Gendered Gift-Giving Rituals: A Historical Analysis of Valentine's Day in Japan' oleh Minowa, Khomenko, Belk di Journal of Macromarketing 31, tahun 2010.