Kembali ke tahun 1990-an dan 2000-an awal, di mana tayangan anime digandrungi oleh anak-anak semua kalangan. Namun semua berubah setelah sinetron menyerang. Biaya produksi yang lebih murah, cakupan usia yang lebih luas, dan laba yang lebih menjanjikan, jelas menggusur anime di televisi, perlahan tapi pasti. Masa jaya dan kejatuhan anime di layar kaca telah penulis ulas di Bagian 1.

Sampai di tahap ini, sebagian besar anak-anak dan remaja Indonesia menanggalkan kartun dan anime sepenuhnya, karena dianggap terlalu kekanak-kanakan. Lagu Barat, K-Pop, dan segala hal yang kekinian adalah kegemaran mereka. Sayangnya, tidak semuanya dapat beradaptasi dalam pergaulan yang keras ini. Mereka yang tersingkir kemudian mencari pelampiasan, seperti Internet, media sosial, dan game online.

Game online? Apa hubungannya dengan kebangkitan budaya pop jejepangan? Ternyata ada, dan Risa Media akan menjelaskannya di artikel ini.

2012-2014: Kebangkitan Anime di Ranah Maya

Dari 2006, kita akan maju ke 2012. Layanan Internet telah tersedia di mana-mana, dengan harga yang terjangkau pula. Mereka yang tersisih dari pergaulan di dunia nyata telah menemukan temannya di dunia maya. “Rasanya ingin berlama-lama di dunia maya dibanding dunia nyata”, begitu kata mereka.

Sword Art Online, salah satu pemicu bangkitnya anime di 2012.

Kembali ke topik utama, ada beberapa faktor yang menjadi pemicu bangkitnya budaya pop jejepangan di tanah air. Namun, secara garis besar, sebagian dapat dilimpahkan ke satu judul anime, Sword Art Online, yang selanjutnya kita sebut SAO. Banyak yang mengira judul anime ini adalah game online baru, dikarenakan game lainnya banyak menggunakan embel-embel “online”. Setelah tahu kalau SAO adalah anime, mereka terlanjur menyukainya. Banyak dari mereka yang ingin seperti Kirito. Kuat, jago betarung, dan dapat memikat banyak wanita. Mereka yang menyukainya pun kemudian menyebut dirinya sebagai otaku, sejenis sebutan untuk penikmat anime.

Di tahun yang sama pula, salah satu festival anime berskala besar hadir di ibukota, yakni Anime Festival Asia (AFAID), dan sukses besar. Semenjak saat itu, acara AFAID tidak pernah absen setiap tahunnya, bahkan hingga saat ini, dan menjadi inspirasi penyelenggara acara untuk mengadakan acara serupa, dari tingkat sekolah, kuliah, sampai regional.

Semakin digemarinya anime di masyarakat pun turut membangkitkan budaya pop Jepang lainnya di Indonesia, yaitu idol group. AKB48, salah satu idol group asal negeri sakura, melebarkan sayapnya ke Jakarta, melalui JKT48. Kombinasi dari lagunya yang merdu, dansanya yang unik, dan paras anggotanya yang menarik, membuat penggemarnya rela menghabiskan uangnya demi idola kesayangan. Oleh masyarakat umum, maniak JKT48 ini sering disebut sebagai wota.

Kenal Anime dari Meme

Turut menyebarkan anime melalui meme. (Sumber: Meme Comic Indonesia)

Masih di tahun 2012, Indonesia mulai mengenal meme, sebuah bentuk hiburan yang sudah lama populer di mancanegara. Dimulai oleh 1CUK (sekarang 1CAK) pada Februari 2012, menyusul Meme Comic Indonesia pada Mei 2012, meme semakin tersebar luas. Di saat inilah, sejumlah otaku memasuki jajaran admin (sebutan untuk penyedia konten di laman meme) Meme Comic Indonesia dan laman meme sejenis. Para otaku yang kini merangkap sebagai admin meme menyebarkan hobi animenya di laman tersebut, membuat budaya pop Jepang tersebar lebih luas lagi.

Mereka yang sudah menjadi otaku pun semakin meningkatkan taraf ke-otaku-annya agar semakin dipandang di komunitasnya. Menonton lebih banyak anime, membaca lebih banyak manga, mendengar lebih banyak lagu anime, termasuk Vocaloid (yang kala itu sering disalahartikan sebagai anime), ikut banyak festival jejepangan, dari yang kecil sampai besar. Mereka yang punya dana lebih juga mencoba untuk cosplay. Budaya pop jejepangan berhasil bangkit!

2014-2016: Elitisme Merajalela

Pada awal masa kebangkitan anime di tanah air, kondisi hobi ini masih terbilang damai, setidaknya untuk standar saat ini. Sayangnya, masa damai itu diikuti dengan menurunnya kualitas penggemar anime itu sendiri. Mereka mengasingkan diri dari kehidupan nyata yang pahit, dan lebih memilih untuk menikmati harinya dengan anime dan waifu (perempuan idaman dalam anime) favoritnya. Mereka juga kerap kali mencampurkan kosakata bahasa Jepang dalam percakapannya sehari-hari, seperti watashi, baka, ohayou, konnichiwa, desu, dan masih banyak kosakata lainnya. Para otaku ini juga kerap kali berfantasi yang aneh-aneh terhadap anime, berandai-andai waifunya menjadi nyata, atau menjadi kuat dan disegani seperti Naruto atau Kirito.

Wibu, awalnya sebutan untuk penggemar maniak anime, namun mengalami pergeseran makna.

Kondisi ini dipandang oleh sejumlah orang sebagai sesuatu yang negatif dan merusak citra budaya jejepangan secara perlahan. Sejumlah komunitas pun didirikan untuk menangkal pengaruh buruk anime dan menyadarkan mereka kembali ke jalan yang benar. Sayangnya, aksi ini justru menjadi ajang public shaming, menyebarkan identitas sembari mempermalukan pelaku. Tidak jarang pelaku tidak terima dan protes di kiriman tersebut, berujung dirundung lebih lagi oleh anggota komunitas tersebut. “Seleramu sampah, tingkahmu sampah, kami yang benar”, begitulah prinsip para anggota komunitas tersebut yang kemudian dikenal sebagai kalangan elitis.

Percaya atau tidak, periode elitisme yang marak di tahun 2014-2016 ini masih menyisakan bekas dalam perkembangan budaya Jejepangan di Indonesia. Salah satunya adalah pergeseran makna dari kata wibu dan otaku. Otaku, yang dulu kerap menjadi sebutan untuk para penggemar anime, kini menjadi sebutan yang menjijikan, mengingat di Jepang sendiri otaku sudah dianggap buruk. Sebaliknya, kata wibu, yang merupakan serapan dari istilah weeaboo, malah menjadi sebutan umum untuk penggemar jejepangan secara keseluruhan. Padahal, sebutan wibu dulunya dipakai oleh komunitas elitis sebagai bahan ejekan untuk otaku. Nah, loh!

2015 – sekarang: Masanya Wibu Berkarya

Seiring dengan bangkitnya kembali budaya jejepangan di tanah air, sebagian orang justru menganggapnya dengan skeptis. Berjuta-juta uang yang dihabiskan untuk membeli figur kesayangan, bergiga-giga kuota yang raib untuk menonton seri anime terbaru, dan juga kostum dan riasan cosplay yang tentunya tidak murah. Di pandangan orang lain, hobi jejepangan hanyalah hobi yang menguras uang, padahal tidak selamanya begitu.

Semakin ramainya festival industri kreatif membuktikan penikmat jejepangan bisa berkarya.

Pada fase ini, sebagian dari penikmat jejepangan bosan menjadi konsumen semata. Mereka berusaha keras untuk berkarya dan mendulang uang dari hobi yang kian marak ini. Mereka yang bisa menulis pun membuat novel ringan. Penikmat jejepangan yang bisa menggambar membuat ilustrasi anime favoritnya, kemudian membuatnya menjadi pin, poster, gantungan kunci, atau buku komik, dan kemudian dijual di festival industri kreatif seperti Comifuro. Sebagian melangkah lebih jauh dengan membuat karakter komiknya sendiri. Cosplayer pun juga berusaha menciptakan berbagai peluang baru, mulai dari bersinergi dengan komik lokal hingga meniti karir menjadi cosplayer profesional. Anggapan “hobi jejepangan hanya buang-buang uang” tidak berlaku lagi.

Akhir Kata

Sungguh sebuah perjalanan panjang budaya jejepangan di Indonesia, dari awal tayang Doraemon di televisi hingga beragam jenis anime yang dapat ditonton di Internet. Beberapa kali pula ranah jejepangan diwarnai dengan berbagai kasus yang mencoreng citranya di mata masyarakat, mulai dari kasus pedofilia, pembajakan, penipuan, pelecehan, panjat sosial, dan lain sebagainya.

Terlepas dari itu, sudah sepatutnya kita menjaga agar hobi jejepangan ini kembali pada hakikatnya, yakni sebagai pelepas lelah setelah rutinitas dan pemicu generasi muda untuk berkarya. Marilah kita menjadi wibu yang berkualitas!

Tulisan ini adalah opini pribadi dari penulis, tidak mencerminkan pandangan umum Risa Media. Penulisan oleh Excel Coananda.